cover landing

Mbak Kunti Mencari SIM

By iyoniae


Lelaki itu berjalan dengan cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan bahwa nggak ada orang yang mengikutinya. Dia nggak sepenuhnya salah. Memang, nggak ada orang yang mengikutinya. Yang ada hanya aku.

Sudah seminggu aku mengikutinya, ke mana pun dia pergi. Siang dan malam aku selalu mengawasinya. Mulai dari bangun tidur, mandi, sarapan, pergi bekerja, pulang, hingga tidur lagi, aku selalu membayanginya.

Omong-omong, aku bukanlah mata-mata dan dia bukanlah tentara, politisi, maupun pejabat negara. Aku adalah hantu penasaran dan dia adalah orang yang membuatku menjadi hantu. Ya, dia telah membunuhku.

Nggak hanya aku, eniwei. Dia juga membunuh keluargaku. Satu-satunya yang selamat adalah Om Roni, adik ibuku. Meski dia mengontrak rumah sendiri, tak jarang dia berkunjung ke rumahku, bahkan menginap di sana. Dia satu-satunya kerabatku yang masih hidup sekarang.

Kakekku meninggal dua tahun yang lalu. Enam bulan kemudian, nenekku menyusul. Sedangkan Ayah menjadi yatim piatu sejak lulus kuliah.

Saat kejadian, Om Roni beruntung karena tidak menginap di rumahku. Kalau tidak, dia pasti ikut dibunuh juga.

Apa aku dendam? Demi kerang ajaib, tentu saja aku dendam. Siapa yang nggak dendam tahu-tahu di-jrusss pakai pisau begitu saja oleh orang yang nggak dikenal?

Iya! Kalian nggak salah baca, kok. Aku nggak kenal sama dia, tapi dia membunuhku. Maka dari itu, aku pun ingin dia mati di tanganku. Adil, kan?

Aku sempat mengira dia seorang psikopat. Tetapi, aku keliru. Dia lebih kejam dari itu. Dia adalah pembunuh bayaran. Aku bertanya-tanya, siapa yang menyuruhnya membunuhku dan keluargaku? Tidak mungkin kan, dia iseng-iseng bunuh satu keluarga hanya untuk promo jasanya?

Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Biasanya, orang-orang menyebutku Miss K. Mereka terlalu takut menyebutku dengan nama panjang karena asal tahu saja, namaku di duniaku ini sangat sakral. Kalau kalian nggak mau didatangi olehku, jangan sebut nama panjangku. Tapi, kalian juga nggak boleh menyebut namaku secara bersamaan di tempat berbeda-beda karena aku nanti bingung harus mendatangi yang mana di antara kalian lebih dulu.

Aku bisa saja meminta hantu lain untuk  mendatangi kalian, tapi kan nggak lucu, yang dipanggil si A, yang datang malah si B.  Lagi pula, untuk apa juga kalian memanggilku? Memintaku menerawang siapa jodoh kalian? Itu tugas jelangkung, bukan aku.

Kembali ke pembunuhku. Dia adalah lelaki botak dengan tato berbentuk naga di lengan. Badannya tinggi kekar dengan kulit kecokelatan. Matanya bengis dan nggak menunjukkan ekspresi apa pun saat menusukkan pisau ke perutku hingga aku kehabisan darah dan meninggal.

Namun saat ini, kulihat ketakutan di matanya. Aku tahu persis dia menyembunyikan pistol di belakang jaket kulit yang dikenakannya. But, no worries. Pistol, pisau, parang, celurit, nggak akan mampu lagi melukaiku. Itulah untungnya jadi hantu. Betewe, aku nggak menyarankan kalian buat jadi hantu supaya kebal senjata. Tapi, kalau kalian mau, silakan.

Dia berhenti di depan gang sempit perumahan. Saat ini, hari sudah malam. Lampu-lampu meredup, bahkan sebagian mati saat aku lewat. Aku nggak tersinggung, kok, karena aku yakin jika berjalan di atas karpet merah, mereka juga akan menggulung otomatis.

Dia bersembunyi di ceruk kecil dalam gang, mengintip dan menunggu. Setelah lima menit bergeming, dia menyumpah-nyumpah karena nggak dapat membuktikan ada orang yang mengikutinya.

Waktu sudah menuju tengah malam. Aku dapat merasakan kekuatanku bertambah. Kubisiki telinganya, menghasut agar menyusuri gang sempit itu.

Aku tahu persis di ujung gang sana, belok sedikit ke kiri, ada kuburan. Rencananya akan kutunjukkan sosokku di sana hingga membuatnya ketakutan lalu mati berdiri, menyusulku menjadi hantu, dan setelah dia menjadi hantu, akan ku-bully habis-habisan sampai kiamat. Pokoknya, matinya nggak bakal tenang.

Bulu kuduknya merinding saat kutiup tengkuknya. Aku terkikik dan ketika mendengar suara kikikku sendiri, aku takut.

Seperti apa yang telah kurencanakan, dia melangkah ke dalam gang, menyusuri dan melewati kuburan lama yang dipagar tembok tinggi. Dia bersedekap, menahan hawa dingin yang tiba-tiba datang. Lelaki itu lantas terpaku, badannya menegang, lututnya gemetar. Dia bergumam tetapi yang terdengar hanya kata-kata nggak jelas.

Hm .... Apa mungkin dia berdoa? Kepada siapa doanya dipanjatkan? Tuhan pasti marah atas perbuatannya padaku dan entah berapa korban lain yang sudah dia bunuh.

Aku mengumpulkan kekuatan, mencoba menampakkan diri di depannya. Konsentrasi, dan perlahan-lahan mewujud. Dengan keyakinan penuh, aku mengikik lebih keras. Suaraku menggaung, mataku memelotot hingga copot—secara harfiah—lalu kupasang lagi. Sayangnya, usahaku untuk mewujud ternyata gagal. Dia nggak melihatku. Meski gemetar, dia melangkah pergi dan menembusku. Sial!

“Mau kubantu?” celetuk sebentuk pocong yang mengintip dari balik tembok.

“Astagfirullah!” Aku terpekik.

Pocong itu mengumpat dengan bahasa ... entah, mungkin bahasa perhantuan. “Jangan nyebut, dong! Panas, nih!”

“Eh, sori! Kamu ngagetin aku sih, Cong!” kataku. Melihatnya membuatku merinding. Tapi, masa kunti takut pocong? Jadi, kuberanikan diri untuk bersikap biasa, seolah bertemu kawan lama. “Tadi, kamu bilang apa?”

“Mau kubantu nakut-nakutin dia nggak?”

“Ya ampun, emang harus izin?”

“Jadi hantu itu harus sopan,” hardiknya.

Aku memutar bola mata. “Silakan, Pocong Santun yang Berbudi Luhur.”

Pocong memosisikan dirinya di pinggir jalan, mencegat laju lelaki yang telah membunuhku. Warna hantu itu awalnya transparan, kemudian lama-kelamaan memadat. Wajahnya terlihat jelas. Ada lubang di mata dan pipinya. Beberapa belatung terlihat menggerogoti kulitnya yang sudah kebiruan.

Aku ingin menutup mata, ngeri melihat penampakan sang pocong. Jika aku masih manusia, aku pasti bakal mati ketakutan. Asal kalian tahu saja, saat ini pun, meski aku sudah dinobatkan sebagai Miss K dan melihat penampakan hantu itu, aku mengompol. Tapi tolong, jangan bilang siapa-siapa.

Lelaki itu menjerit menatap penampakan hantu pocong. Matanya terbelalak, mulutnya megap-megap. Dia terjatuh. Dengan sisa tenaga, ia merangkak menjauh dari si Pocong.

“Dikejar, boleh?” tanya si Pocong meminta izin padaku.

Astoge, benar-benar hantu santun. “Boleh. Sampai dia mati ketakutan pun kuizinkan,” jawabku.

“Wokey!”

Ia lantas melompat, melompat, melompat, dan ya amplop, dia terpeleset karena mendarat di sebuah kulit pisang. Tubuhnya terjengkang.

Rupanya, dia bukan pocong profesional. Untungnya,  nggak ada orang yang melihatnya terjengkang, karena kalau ada, harga dirinya pasti hancur. Dia bakal bunuh diri karena malu.

Karena gagal, aku mengumpat, mengutuk, dan menyalahkan siapa pun yang membuang kulit pisang itu sembarangan.

***

Apa hantu bisa encok? Kalau bisa, aku yakin si Pocong sedang mengalami penyakit itu. Dia melompat dengan aneh. Badannya bungkuk dan setiap mendarat, dia meringis. Ingin sekali aku menuntun dan membantunya melompat, tetapi lengannya terikat ke dada dan nggak bisa dikeluarkan. Jadi, demi berterima kasih meski gagal membunuh lelaki incaranku yang sudah kabur, aku menemaninya pulang ke pusara.

“Kamu nggak apa-apa, Cong?” tanyaku khawatir.

“Nggak apa-apa,” jawabnya.

“Omong-omong, bagaimana bisa kau melakukan itu?”

Dia menoleh. “Melakukan apa?”

“Mengubah wajah jadi serem.”

“Oh, itu kemampuan dasar hantu. Tiap hantu punya kemampuan beda-beda, seperti kamu yang bisa melayang. Pocong kan cuma kelihatan wajahnya. Jadi bisa menampilkan ekspresi sesuka hati, bahkan bisa jadi ganteng kalau mau.”

“Masa, sih?” Aku mengernyit, tak percaya pocong yang mengerikan bisa menjadi ganteng.

Seperti bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Setidaknya bisa menampakkan wajah seperti saat terakhir kali hidup. Tergantung suasana hati. Kamu nggak tahu?”

Aku menggeleng. “Aku kan baru mati seminggu yang lalu.”

“Baru aja, dong?”

“Ho’oh.” Aku teringat saat tiba-tiba terbangun di kuburan. Waktu itu, aku menjerit histeris, dan melayang-melayang nggak tentu arah. Setelah cukup tenang serta sadar kalau aku sudah meninggal, aku langsung yakin kalau aku berubah menjadi Miss K. Dilihat dari daster putih yang kukenakan dan rambutku yang jadi gimbal awut-awutan.

Terbangku menjadi terarah selaras dengan kesadaranku sebagai kunti. Aku melayang semudah bernapas ketika hidup. Kusadari manusia-manusia yang kutemui nggak bisa melihatku. Nyatanya, mereka diam saja ketika melewatiku.

Selain itu, aku juga bertemu dengan hantu lain. Akan tetapi, aku nggak berani menyapa. Aku takut kalau nanti dikira SKSD (Sok Kenal Sok Dekat). Sampai akhirnya, aku bertemu dengan pembunuhku. Saat itulah aku mendapat ide brilian untuk mengikutinya, dan mencoba menghantuinya.

“Pantas saja kamu nggak tahu apa-apa,” komentar si Pocong.

“Kalau kamu? Udah berapa lama berprofesi sebagai pocong?”

“Setahun.”

“Wah, senior, nih.”

Nah, sebagai senior, aku mau memberimu nasihat,” kata si Pocong duduk di nisan yang bertuliskan namanya. “Sebagai hantu newbie kamu harus berhati-hati sama Pemburu Hantu.”

“Pemburu Hantu?”

“Dia yang memburu hantu-hantu dan memusnahkannya.”

Aku mengernyit. “Memusnahkan bagaimana?”

Belum sempat menjawab, wajahnya menegang, matanya terbelalak. “Dia datang.”

“Siapa?” Aku menatapnya bingung.

“Pergi! Cepat!” Dia mendorongku dengan bahunya supaya menjauh. Hantu itu lantas melompat ke dalam pusara. Baru setengah melayang, tiba-tiba muncul sebuah tali menjerat badannya, menariknya sepenuhnya keluar dari pusara, dan mengempaskannya ke depan kakiku. Dia mengerang.

Tali itu lantas membara hingga api membakar si Pocong di setiap inci tubuhnya, tanpa menyisakan apa pun. Kejadian itu sangat cepat hingga otakku telat memprosesnya. Ketika sadar, sudah terlambat untukku lari.