cover landing

Married with Mr. CEO

By R.Sheehan


Di dalam kamar hotel dengan cahaya remang-remang, di atas lantai marmer, berserakan pakaian serta dalaman pria dan wanita. Sesekali di ruangan itu terdengar suara rintih dan desah. Di atas tempat tidur, seorang wanita ditindih seorang pria. Keduanya bercinta tanpa kenal lelah.

"Berhenti!" Sang wanita dengan mata diliputi tangis memohon, tapi tak digubris oleh pria yang sedang dibutakan oleh gairahnya.

Pria tersebut menunduk rendah dekat telinga sang wanita. Suara semerdu cello kemudian terdengar berbisik, "Kubilang, senangkan aku sampai aku puas, maka kau akan mendapatkan apa pun yang kau mau. Bukankah kau sudah mendapatkan uang di muka demi tidur denganku malam ini?"

"A-Aku tidak ...."

Wanita bernama Alana itu kemudian merintih tatkala ciuman kembali didapatnya di mulut, menghentikan protesnya lebih lanjut. Tak lama terdengar gelak tawa dari pria itu yang menganggap bahwa pelacur sewaanya begitu lucu.

"Inilah yang selalu kau lakukan, melamun terus." Melani yang baru saja keluar dari kamar mendapati temannya sedang melamun ditemani televisi yang menyala.

Alana tersentak, begitu terkejut dengan tepukan ringan di bahu dan teguran sang teman.

"Apalagi masalahnya sekarang? Dari beberapa hari yang lalu, tingkahmu sangat aneh. Saat kutanya ada apa, kau malah menjawab baik-baik saja. Tetapi, aku perhatikan sepertinya kau tidak sedang baik-baik saja."

Perasaan Alana bergetar dikarenakan gugup. Rasa takut telah menghantui dirinya akhir-akhir ini disebabkan insiden tak terduga yang menimpanya tempo hari.

"A-ku benar-benar baik saja," elaknya lagi, berbohong. Karena tak mau menghadapi banyak pertanyaan curiga dari Melani, dia pun bangun dari duduknya. "Aku ingat ada yang harus kukerjakan sebelum pergi kerja besok. Aku ke kamar dulu, Mel."

Tanpa menunggu jawaban dari temannya, Alana terburu-buru kabur masuk kamar.

Di dalam kamarnya, tubuhnya bersandar di pintu, merosot lemas seolah kehilangan tenaga. Semuanya bermula dari sana, di hari itu. Ketika dia dijebak dengan diberi obat perangsang oleh teman kepercayaannya.

***

Beberapa hari yang lalu.

 

Seorang gadis mendorong troli melintasi lorong hotel menuju ke kamar VIP yang baru saja atasannya beritahukan. Sang atasan memberikan perintah terakhir saat dirinya sudah selesai dengan tugasnya hari itu.

"Alana, kamar suite milik Tuan Stefano tolong cek dan bersihkan. Satu jam lagi akan ditempati." Perintah sang manajer beberapa saat yang lalu.

Alana yang baru saja menyelesaikan shift malamnya dan akan pulang dari bertugas, terpaksa mengiakan perintah mendadak itu. Walaupun dia sangat lelah, dia tidak bisa menolak perintah.

Getar di saku seragamnya membuat Alana berhenti di tengah lorong. Beruntung tempat itu sepi, tak terlihat satu orang pun berjalan atau keluar dari kamar. Ya, hal itu bisa dimaklumi karena memang waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Panggilan itu datang dari Adrian, salah satu temannya yang bekerja di hotel itu juga. Mereka sepakat akan pulang bersama. Sialnya, dia malah mendapatkan panggilan dari manajer yang membuatnya berakhir dengan pekerjaan tambahan yang harus diselesaikan. Padahal, Adrian pasti sudah menunggu dirinya di basemen hotel.

"Halo, Adrian." Suara Alana yang lembut mengalun sepanjang lorong hotel.

“Alana, kau di mana? Aku menunggumu di tempat parkir sejak tadi, tapi tidak melihat kau keluar-keluar juga,” ucap Adrian terdengar setengah panik.

Alana merasa aneh dengan suara Adrian di telepon. Terdengar jelas jika laki-laki itu terdengar tak biasa, seolah cemas akan sesuatu. Tapi, apa? Alana jadi penasaran memikirkannya.

Adrian baik-baik saja, kan?

"Apakah ada masalah? Kau baik-baik saja kan, Adrian?" tanya Alana khawatir. Meskipun dia dan Adrian baru beberapa bulan saling kenal, tapi karena pria itu sangat baik dan perhatian padanya, membuat Alana mempercayai pria itu dan menganggapnya sebagai seorang teman dekat. Apalagi, Adrian merupakan seorang kenalan dari sahabatnya sendiri.

Mendengar nada cemas dari wanita yang dia sukai, suara Adrian berubah lembut. “Tidak apa-apa Alana. Aku baik-baik saja. Aku hanya khawatir karena kau tidak kunjung turun. Kau tidak merasakan sesuatu yang aneh, kan?” tanya Adrian.

"Tidak. Tidak ada yang aneh terjadi padaku. Kenapa?"

“Syukurlah. Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya cemas saja kalau kau kelelahan. Malam ini dingin,” ujar Adrian kemudian mengalihkan pembicaraan.

Alana tersenyum karena merasa terharu. Ternyata Adrian masih ingat jika dirinya tidak tahan dengan cuaca dingin dan dapat dengan mudah jatuh sakit apabila terkena udara dingin.

"Untungnya tidak terlalu dingin sekarang, aku memakai mante. Jadi, tubuhku hangat di sini." Seraya menelepon, Alana kembali mendorong trolinya sambil menjepit ponsel di antara bahu dan pipi.

“K-kau ... minuman yang kubawa untukmu, apakah masih ada?”

Alana kemudian melihat ke arah botol yang dia letakkan di sisi troli. Botol itu menggantung di sana. Isinya perasan sari jeruk hangat. Pemberian Adrian tadi saat pria itu berpamitan sambil menyatakan maksud atas ajakan pulang bersama.

"Sudah aku minum separuh. Kenapa? Apa kau mau minum juga?"

“Tidak. Tidak. Tidak. Aku memberikan itu khusus untukmu,” Adrian tergagap.

Alana mengangkat bahunya tak acuh. "Tenang saja, aku akan meminum habis semuanya. Lagi pula, bukankah kau yang bilang kalau jus itu kau yang buat sendiri? Adrian, aku akan meminumnya tanpa tersisa sedikit pun," lanjutnya kemudian tersenyum.

“Ah ... oke. Ya ... bagus.”

"Aku tutup teleponnya kalau begitu,” izin Alana pada Adrian saat dia sudah sampai di kamar yang akan dibersihkan. Tangannya sudah bersiap mau mematikan sambungan tersebut, saat dia mendengar ucapan Adrian terakhir kali.

“Kau sudah mau turun? Baiklah, aku akan menunggumu di basemen,” ujar Adrian terdengar lebih bersemangat.

Buru-buru Alana menyela ucapan Adrian, "Jangan, tak usah menungguku. Donna baru saja menyuruhku membersihkan kamar tamu, Adrian. Sepertinya kita tidak bisa pulang bersama malam ini. Kau bisa pulang sendirian—“ Sebelum dia dapat menyelesaikan ucapannya, suara Adrian terdengar menyela begitu keras.

“TIDAK!”

Andai saja Alana dapat melihat wajah Adrian yang pucat sekarang, pasti wanita itu akan curiga.

Alana tersentak kaget. Hampir saja dia menjatuhkan ponselnya akibat terlalu terkejut mendengar teriakan Adrian. Sangat nyaring sekali teriakan itu sampai membuat telinganya berdengung.

“Maksudku, aku akan tetap menunggumu. Emm ... sepuluh menit, bisakah kau cepat selesaikan pekerjaanmu dalam waktu sepuluh menit dan cepat turun ke bawah?”

Alana mengernyit, raut bingung menguasai wajahnya. Entah mengapa dia merasa tak suka dengan bentakan Adrian barusan.

Sepuluh menit katanya? batinnya mulai marah. Tidak tahukah dia betapa lelahnya aku malam ini?

Ucapan Adrian barusan hanya membuat dia bertambah kesal. Daripada disuruh cepat-cepat, kenapa laki-laki itu tidak menawarkan bantuan saja? Alana mulai kehilangan kesabaran. Memangnya Adrian pikir membersihkan ruangan tamu VIP bisa dilakukan dengan santai?

Mungkin karena efek dari Alana yang baru saja selesai menstruasi, jadi jejak mood-swing yang biasa perempuan itu alami masih tersisa. Itu sebabnya Alana berubah mood-nya secara drastis.

Perempuan itu menggertakkan giginya, merasa kesal, "Kalau begitu kau bisa pulang sendiri. Tidak usah menungguku. Aku sibuk. Aku matikan teleponnya!"

“Alana...?!” Adrian menjerit panik mendengar ucapan Alana yang tak terduga.

Sebelum panggilan itu terputus, Alana mendengar teriakan frustrasi Adrian. Dia pun mencibir, memangnya pria itu pikir dia siapa bisa seenaknya menyuruhnya supaya cepat-cepat. Memasukkan kembali ponselnya ke saku, Alana pun mendorong kembali troli berisi peralatan kebersihannya masuk ke kamar VIP.

Setelah setengah jam berada di dalam kamar tersebut, Alana mengembuskan napasnya keras saat akhirnya dia selesai dengan pekerjaannya. Beruntung suite ini setiap harinya dibersihkan, jadi ruangan itu tidak terlalu kotor. Alhasil, dia pun tak terlalu dibuat repot meski membersihkan ruangan besar dan luas itu sendirian.

Wanita itu menaruh botol kosong yang isinya sudah habis dia minum kembali ke troli. Tinggal mengecek kamar mandi saja, setelah itu dia bisa pulang dan beristirahat dengan puas sampai dua hari ke depan. Menikmati hari liburnya yang sangat berharga.

Alana mengambil alat kebersihan, lalu berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam presidential suite tersebut. Dia baru saja membuka pintu kamar mandi, lalu keanehan dia rasakan terjadi pada tubuhnya yang berubah panas membakar. Panas ini datang secara mendadak, mendidihkan pikirannya, lalu mengalir ke seluruh tubuh dan berpusat di bawah perutnya.

Bruuuk!

Peralatan kebersihan yang Alana pegang jatuh berserakan di dekat kaki. Tangannya berubah lunglai, bahkan seluruh saraf di kedua kakinya pun berubah lemas tak bertenaga. Wanita itu memegangi dinding agar tubuhnya tidak merosot ke lantai. Alana bisa merasakan kedua kakinya gemetar dan berubah selembut jeli.

A-apa yang terjadi?

Alana mulai kehilangan kesadaran, bahkan suaranya pun mulai berubah serak. Alana mendongak, melihat wajahnya sendiri di cermin besar kamar mandi. Hampir-hampir dia kejang karena ketakutan melihat sosok di cermin itu seperti bukan dirinya saja. Wajah memerah, napas terengah-engah, dan mata itu ... iris hitamnya bersinar karena air mata yang menggantung dan diliputi kabut nafsu.

Pantulan itu ... mustahil jika itu dirinya.

Oh ... Ya Tuhan! Apa yang terjadi padaku?

Alana meremas kuat bagian depan seragamnya. Saat itu juga dia dapat merasakan ada perubahan tak kasatmata di area sensitifnya. Buru-buru wanita itu melepaskan cengkeramannya dari dadanya sendiri.

Gesekan dari kain dengan kulit yang sensitif membuat Alana tanpa sadar mengeluarkan erangan rendah.

Tidak ... suara apa itu? batinnya ngeri. Baru kali ini dia mendengar suara sensual seperti itu seumur hidupnya.

Hanya ada dirinya seorang di dalam ruangan tersebut yang artinya …

Alana mengerjap, menggunakan telapak tangannya, dia menutup mulut, mencegah suara memalukan itu keluar dari sana lagi.

***