cover landing

Mantan Sepelaminan

By KiM Latte


Perempuan bersurai panjang dengan warna kecokelatan sedang berkutat dengan laptop dan tumpukan buku tebal di meja belajarnya. Rambut panjangnya yang tergerai begitu saja menutupi sebagian wajahnya. Kacamata bulat dengan bingkai tipis bertengger di hidung, membantunya lebih fokus pada layar beradius tinggi tersebut. Matanya berkeliaran di antara beberapa buku dan kembali ke laptop. Jemarinya dengan lincah bermain di atas keyboard. Sebagai peneman, sebuah permen bertangkai berdiam di mulutnya. Di samping kakinya terdapat tong sampah yang berisikan puluhan bungkusan permen.

Ia menggaruk kepalanya dan sesekali mengacak rambut saat tidak tahu lagi kalimat apa yang harus dituangkan dalam tulisannya. Kesal dengan situasi, ia mengembuskan rambut bagian depannya, hingga menampakkan wajah cantiknya. Matanya biasa disebut senpaku dengan bulu-bulu lentik meski tidak  terlalu panjang. Hidungnya mancung kecil. Bibirnya mungil dengan deretan gigi yang rapi. 

“Apa kamu nggak lelah dari tadi duduk di depan laptop?” Suara seorang perempuan yang lebih tua di atasnya empat tahun terdengar. Perempuan itu melemparkan tubuh kurusnya di atas ranjang yang sudah terpasang rapi seprai krem bermotifkan koala.

“Akan lebih melelahkan kalau aku nggak menyiapkannya sekarang,” jawabnya yang masih membolak-balikkan buku.

“Udah bab berapa?”

“Bab satu.”

“Lama banget. Perasaan udah dari tiga bulan lalu kamu bab satu terus. Kapan naik step?”

Ia menutup buku tebalnya dengan kasar. “Apa Kakak tahu gimana usahaku sampai bisa di tahap sekarang? Panjang. Aku udah melalui dua puluh kali lebih penolakan judul. Saat judulku diterima, aku harus melalui revisi sampai puluhan kali. Aku sampai bingung apalagi yang harus kutulis agar aku berhenti dari kata revisi. Semestinya Kakak mendukungku dengan menyuguhkan cemilan atau sekedar kata-kata sampah yang seakan memotivasiku. Bukan mempertanyakan hal yang membuatku kesal,” cerocosnya panjang lebar.

“Ya, maaf. Gitu aja bawel. Tapi, aku bingung sama kamu. Kamu, kan, suka nongkrong di perpustakaan, kenapa nggak dapat ide apa-apa untuk mengisi skripsimu itu?”

“Emang siapa yang bilang aku di perpustakaan belajar?”

“Nggak perlu ada yang bilang juga semua orang tahu kalau perpustakaan itu tempat belajar. Emang kalau bukan untuk belajar, kamu ngapain di perpustakaan?”

“Tidur.”

“Grizelle!! Benar-benar keterlaluan, ya, kamu. Kamu buang-buang waktumu selama tiga tahun di perpustakaan cuma untuk tidur? Nggak ada hal yang lebih berfaedah untuk kamu lakukan selain tidur?”

“Kakak Birdella-ku Sayang. Kakak tahu nikmat apa yang paling nggak bisa dihindari? Saat kita bisa tetap bernapas meski mata terpejam. Dan aku mensyukuri hal itu,” ucapnya sambil tersenyum dan kembali membalikkan badan menatap layar berukuran 14 inch itu.

Birdella kehabisan kata menjawab adik semata wayangnya.

“Apa kamu akan melewatkan makan malam kali ini?” tanya Birdella.

“Jika Kakak nggak ingin aku melewatkannya, bukankah Kakak akan mengantarkanku makanan ke kamar ini?” tanyanya yang berbentuk perintah.

“Kebiasaanmu nggak pernah berubah. Beginilah jadinya kalau dari kecil udah dimanja. Makan pun harus diantar ke kamar. Kalau dalam dongeng mungkin kamu akan menganggap dirimu seorang putri. Tapi, nyatanya yang makan di kamar itu adalah orang sakit!”

“Kakak menyumpahiku?”

“Aku nggak menyebut tentang sumpah.”

Grizelle menatap kakaknya menggunakan ujung mata, hingga Birdella hilang setelah menutup pintu.

Mereka adik-kakak yang terpaut usia empat tahun. Birdella seorang penyiar radio di salah satu stasiun penyiaran ternama di daerahnya. Sejak kecil ia memang sangat suka mendengarkan alat komunikasi yang dipakai sejak jaman penjajahan dulu. Ia sudah memiliki tekad kuat, saat besar harus menjadi seorang penyiar, dan suaranya bisa didengar seantero negeri. Mengapa ia harus menjadi seorang penyiar jika ingin suaranya didengar banyak orang? Bukankah penyanyi lebih melesatkan kariernya? Itulah permasalahannya. Dia memiliki suara yang bagus, visual yang cantik, tapi tidak dengan rasa kepercayaan diri yang baik. Ia tidak berani tampil di depan banyak orang; demam panggung kalau bahasa kerennya. Ia hanya berani bersembunyi di balik mikrofon dan memperdengarkan suaranya tanpa menampakkan wajahnya.

Birdella berbanding terbalik dengan sang adik yang berani tampil. Grizelle tipikal yang bodo amat. Dia tidak terlalu memusingkan omongan orang lain. Selama mereka tidak membuat perkara dalam kehidupannya, maka ia tidak akan ambil pusing atas tanggapan orang lain. Ia bukan yang memiliki bakat seperti kakaknya, tapi setidaknya saat ia harus berhadapan dengan khalayak ramai, ia siap.

Saat ini, dirinya sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas Ibu Kota dengan pilihan program studi Sastra Indonesia. Dia ingin menjadi seorang penulis yang terkenal. Dan permasalahannya, dia sangat malas untuk menulis dan revisi. Skripsi saja belum kelar dituntaskan, gimana akan menjadi seorang penulis ternama? Itulah pemikiran-pemikiran orang di sekelilingnya.

“Zeeeeelllll,” teriakan Zephyra—mamanya—memecahkan konsentrasinya yang sedang fokus.

“Apaan, sih, teriak-teriak? Datang ke sini manggil baik-baik, kan, bisa. Ntar kalau aku teriak-teriak gitu pasti dimarahin,” dumel Grizelle seorang diri, sambil mengangkat pantat dan mendatangi orang tuanya di lantai satu.

“Iya, ada apa, Ma?” tanyanya masih berdiri di tangga.

“Turun sini, makan. Kita ngobrol bareng,” ajak Zephyra.

Dengan rasa malas ia menuruni satu per satu anak tangga. Ia duduk berhadapan langsung dengan Birdella yang sedang menyantap makan siangnya.

“Kata orang tua jaman dulu, kalau makan itu nggak boleh ngobrol, Ma,” ujarnya sambil menaruh makanan dalam piring.

“Mama dan Papa udah selesai makan. Kamu aja yang telat turunnya. Kata Bird, kamu sedang rajin buat skripsi ya?” tanya Zafran—papa Grizelle.

“Cuma menyelesaikan revisi,” jawabnya malas.

“Bagus, dong. Itu tandanya kamu sebentar lagi akan selesai sarjana. Bisa ke tahap selanjutnya.” Zafran tampak semangat dengan kalimat yang dilontarkannya.

“Jangan bicarain tahap selanjutnya, deh, Pa. Pusing aku ini kalau mikir kerja,” jawabnya sambil memasukkan nasi ke mulut.

“Memangnya yang bilang tentang kerjaan siapa?” tanya Zafran.

“Tadi Papa yang bilang tentang tahap selanjutnya. Apa lagi kalau bukan kerja?”

“Nikah, dong, Sayang,” balas Zafran lembut.

Mendengar jawaban papanya, nasi yang sedang dikunyah refleks tersembur ke wajah Birdella. Wajah putih mulus itu segera saja memerah karena amarah.

“Zel, kalau makan itu hati-hati. Kotor ini muka aku. Nasinya juga tercampur dengan bau mulutmu, nih,” omel Birdella.

“Salahin Papa, dong, ngomong aneh pas lagi makan. Lagian aroma mulut aku wangi, kok.”

“Wangi apaan? Bau bawang gitu.”

“Berhenti bahas bau mulut di tempat makan. Mama dan Papa lagi serius bahas pernikahan dengan Grizelle,” potong Zephyra, melerai perdebatan mulut kedua anaknya.

“Mama dan Papaku Tersayang, anak kalian ini masih kecil. Masih nggak berdosa. Masih nggak tahu apa-apa. Kenapa harus nikah muda? Aku masih kuliah. Revisi yang aku kerjakan itu bukan bab akhir, tapi masih bab awal. Masih bayi banget aku dalam mengerjakan skripsi. Tolong, jangan paksa aku untuk menikah,” paparnya dengan menekankan kekesalan.

“Kami nggak memaksamu. Kami meminta persetujuanmu,” ungkap Zephyra.

“Aku nggak setuju!”

“Tapi, pihak lelaki sudah setuju,” sahut Zafran.

“Tadi kalian minta persetujuanku, aku nggak setuju. Kenapa kalian berdalih pihak lelaki setuju? Memang siapa, sih, yang ingin kalian nikahkan dengan aku?”

“Pacarmu, dong. Siapa lagi?” jawab Zephyra dengan senyum bahagia.

“Pacar?? Siapa?”

“Zeroun.”

Birdella tertawa besar kala nama itu disebut. Sementara Grizelle tercengang tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa sedang di sudut ruangan dan dikurung dalam kandang yang terbuat dari besi; tidak ada celah untuk keluar.