cover landing

Man Jadda wa Jodoh

By Agung Pangestu


Apa itu jodoh?

Pertanyaan itu untuk kita semua. Bahkan mungkin Adam juga menyimpan dilema yang sama. Pernahkah Adam bertanya hal yang sama pada Hawa? Mungkin tidak, Adam memilih Hawa karena tidak memiliki pilihan lain. Tuhan bilang bahwa Hawa adalah jodohnya dan Adam mempercayainya. Begitu saja. Kepercayaan yang kemudian membuat Adam mencicipi Buah Khuldi karena permintaan dari Hawa. Buah yang membuat Tuhan murka pada Adam karena melanggar peraturan-Nya. Buah yang menjadikan Adam makhluk hina karena terusir dari surga. Tertatih-tatih menjalani kehidupan bumi yang nelangsa. Beban yang kemudian ditanggung oleh seluruh anak cucunya. Semua karena Adam mengikuti bisikan dari seseorang yang telah ia anggap sebagai jodohnya.

“Rajam dia sampai mati!”

“Biarkan dia hangus di neraka sampai berdaki-daki!”

Suara orang-orang semakin menggelegar seperti petir yang menyambar telingaku. Aku tidak perlu menjadi Adam, untuk tahu rasanya menjadi orang yang terhina. Dari manusia yang dipuja-puja menjadi manusia yang terjerembab di sumur dosa. Semua orang memandangku dengan hina. Dengan langkah tersaruk-saruk, aku terus mengikuti langkah kaki orang-orang yang menyeretku ke tengah lapang. Rasa panas akibat terik matahari dan rasa sakit karena ditarik oleh masa ternyata tidak apa-apanya dibandingkan dengan rasa malu yang mesti kutanggung. Hingga kemudian aku didudukan secara paksa di sebuah kursi. Mataku memincing karena matahari yang tepat berdiri di ujung kepala. Namun, siksa sesungguhnya adalah rasa malu yang harus kutanggung. Ada puluhan atau mungkin ratusan santri yang mengerumuniku. Para santriwan mengelilingiku di tengah lapangan, sedangkan santriwati terus memandangku secara iba dari gedung-gedung di lantai dua. Pada saat itu, rasa maluku sudah berada di titik paling terendahnya.

Astagfirullah, sabar … sabar, ini tidak seperti yang antum pikirkan. Rasya nggak mungkin berbuat hal yang melanggar agama seperti itu!” Aku kenal betul suara itu. Ternyata dugaanku benar, Wicak mendadak keluar dari kerumunan dan berusaha untuk melindungiku.

Bahkan di kondisi seperti ini pun, dia masih rela untuk membelaku. Wicak memang seorang sahabat sejati. Sayangnya, kita baru tahu mana orang yang pantas dilabeli sahabat ketika kondisi paling terburuk. Persis seperti yang kualami siang terik ini. Dibawah sorotan jijik dan hina oleh teman-teman santri yang kukenal sendiri. Dengan hujatan yang berdengung di lapangan, tak ubahnya kawanan lebah yang tengah mengepung mangsanya. Wicak ada di sana, berdiri dengan teguh untuk membelaku.

“Wicak, minggir kau! Tak usah kau bela pendosa ini. Jelas-jelas dia ketahuan sedang berduaan dengan santriwati di ruangan kosong. Itu buktinya kalau dia sedang berzina!” Heru bersuara lantang. Padahal Heru mengenal aku tak ubahnya aku mengenal dia. Kami adalah rekan satu tim sepak bola di asrama yang sama. Bahkan dia menjabat wakil kapten tim yang selalu siaga apabila aku berhalangan untuk menjadi kapten. Membelaku ketika aku sedang tertekan maupun kalah. Namun kali lain, dia berdiri di seberangku untuk menyudutkanku. Namun, aku dapat memaklumi hal tersebut. Untuk itulah aku lebih memilih diam dan menundukan kepala. Lidahku mendadak kelu guna menemukan satu kata supaya bisa melakukan pembelaan. Menyadari bahwa di dasar hatiku, aku sedang dikepung rasa bersalah.

Pada detik itu, pikiranku malah hanya diisi dengan menatap lapangan kosong yang berada di depan pesantren. Masih segar di ingatan ketika bertahun-tahun yang lalu, Bapak dan Ibu turun dari sebuah angkot untuk mengantarkanku di lapangan kosong ini. Aku baru saja lulus SMP waktu itu dan ketika teman sebayaku saling berebut untuk masuk SMA favorit, ternyata aku berada di sini. Di sebuah pondok pesantren cukup terpencil yang bahkan membuat kami sekeluarga harus naik bus seharian penuh dan kemudian dilanjutkan dengan angkot agar bisa sampai di tempat ini. Terlihat bapak yang sibuk mengangkat beberapa tas dan kardus dari dalam angkot. Tas dan kardus itu sendiri berisi pakaian, buku dan masakan Ibu yang sengaja dikeringkan sebagai bekalku masuk ke pesantren ini. Sedangkan Ibu meraih tanganku yang sedari tadi terus bergemetar. Naluri Ibu memang mustahil bisa dibohongi, beliau tahu bahwa anak laki-laki satu-satunya ini tengah gamang menatap gerbang kehidupan baru yang ada di depannya.

Padahal, malam itu anak laki-laki ini dengan segala kepercayaan diri dan kenaifan yang ada mengatakan siap sekaligus berani untuk masuk ke pesantren. Bahkan Ibu sempat terus berulang kali menanyakan apakah aku benar-benar siap untuk masuk ke pesantren?

“Nak, kamu yakin mau masuk ke pesantren?” Teringat Ibu yang terlihat ragu waktu itu.

“Yakin, Bu!” Aku menjawab tegas.

Bapak lantas masuk ke ruang tamu tempat kami berdua sedang berbicara. “Rasya ini sudah yakin, Buk. Malah pertanyaan-pertanyaan sampeyan yang bikin dia jadi ragu,” ucap bapak sambil melipat rapi sajadah yang baru saja beliau gunakan untuk Salat Maghrib.

“Bukan gitu loh, Pak. Maksud ibu, si Rasya ini kan bisa masuk SMA negeri favorit di sini. Nilai rapornya itu masuk tiga besar di kota ini. Pasti dia bisa gampang masuk SMA favorit di sini dan bahkan bisa dapat beasiswa.” Ibu memberikan alasannya.

Bapak kembali memperlihatkan tatapan teduhnya, ia seketika duduk di sampingku. Dengan mengusap pelan rambutku, Bapak lantas berucap, “Buk … apa sampeyan cuma ingin si Rasya ini pinter soal dunia saja? Apa sampeyan ndak ingin Rasya juga pinter soal akhirat? Nanti di pesantren, dia bisa pinter ilmu untuk bumi dan ilmu untuk langit.”

Aku bergidik ngeri mendengar ucapan dari Bapak. Tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa motivasi Bapak memasukanku ke dalam pesantren ternyata setinggi itu. Padahal di dalam benakku, masuk pesantren itu hanya soal mengikuti keinginan Bapak saja. Tidak kurang ataupun lebih.

Namun, sepertinya Bapak dapat melihat dengan jelas wajah Ibu yang masih ragu-ragu. Kini bapak yang mendekat ke arah Ibu, “Udah, Ibu ndak usah bingung lagi. Lagipula Rasya ini akan masuk ke pesantren bapak dulu. Ada Kiai Masruri di sana. Bapak udah sering cerita kan? Kiai Masruri ini ilmu agamanya gimana? Bapak sangat yakin, kalau Rasya berada di tangan yang tepat.”

Wajah ragu-ragu Ibu terlihat mulai meluntur. Samar-samar, aku bisa melihat Ibu yang mengangguk perlahan.

“Kiai Masruri itu siapa, Pak?” Akhirnya, aku tidak tahan untuk menahan rasa penasaran.

Bapak melirik ke arahku sebentar dan kemudian tersenyum kecil, “Kiai Masruri itu pemimpin Pondok Pesantren yang kamu mau ke sana. Beliau itu ilmu agamanya tinggi lho, Nak. Lulusan Kairo dan hafiz Al-Quran. Dulu, beliau pernah gabung organisasi Islam Khusus Pemuda dari seluruh dunia yang ada di Kairo. Sehabis pulang dari Kairo, beliau langsung buka pesantren ini. Sudah banyak anak didiknya yang jadi staf penting di banyak organisasi Islam atau Kementerian Agama,” jawab Bapak dengan menggebu.

Aku dapat melihat dengan jelas binar yang bersinar terang di kedua mata Bapak ketika menyebut nama itu. Walau sebenarnya, aku tidak terlalu paham benar-benar apa yang dimaksud Bapak. Namun, aku mustahil mematikan nyala binar itu dengan ketidaktertarikan. Akhirnya, aku hanya bisa mengangguk untuk menghargai Bapak.

Benar saja, detik pertama menginjak kaki di pesantren ini, binar di mata Bapak semakin bersinar. Ini seperti estafet mimpi yang ia berikan padaku dan diminta untuk dilanjutkan. Beda dengan Bapak, wajah Ibu terlihat masih ragu-ragu. Persis seperti wajah milikku. Sesuatu yang kemudian membuat kami berdua semakin erat menggenggam tangan satu sama lain. Seakan menyadari bahwa ini akan menjadi perpisahan antara aku dengan Ibu. Namun, kami berdua tidak bisa menghikmati momen ini terlalu lama ketika terlihat dari arah pintu masuk pesantren keluar sesosok pria yang terlihat mulai sepuh ditemani beberapa santri di belakangnya seakan sedang menjaganya. Langkahnya yang perlahan, entah kenapa malah membuatku terintimidasi setengah mati. Begitu dia sampai tepat di depan kami, Bapak dengan cepat langsung mencium tangannya.

Assalamualaikum, Kiai.”

Waalaikumsalam, Nak. Gimana kabarmu?” Orang yang bernama Kiai Masruri itu membelai lembut rambut Bapak. Seakan baru saja bertemu dengan anaknya yang baru saja kembali.

Alhamdulillah, Kiai. Semua lancar dan sehat. Berkat doa Kiai juga.”

“Syukur … Syukur.” Kiai Masruri lantas melirik ke arahku, “Jadi ini putramu yang mau masuk pesantren?”

“Betul, Kiai.” Bapak lantas mendorong sedikit punggungku untuk maju ke depan, “Ayo Nak, salim sama Kiai Masruri.”

Dengan ragu-ragu dan juga segan aku mencium tangan itu. Sekilas, aku dapat mencium sesuatu yang sangat wangi dari kulit tangannya. Entah parfum atau memang karena hal lainnya, “Rasya,” ucapku memperkenalkan diri.

“Matamu jernih sejernih bapakmu, Nak Rasya.”

Aku dapat merasakan rambutku yang diusap lembut oleh Kiai Masruri. Usapan yang entah kenapa membuatku bisa merasa tenang. Meskipun pada detik itu, aku menyadari bahwa ini adalah ucapan selamat tinggal pada rumah dan selamat datang untuk lembaran misterius baru bernama pesantren.

***

“Sudah, tunggu apalagi? Cepat hukum pendosa ini!” teriak salah satu santri. Membuat suasana di lapangan tersebut semakin panas. Hal itu diikuti para santri lainnya yang semakin bersemangat untuk menyahuti.

 “Panggil Kiai Masruri! Biar beliau yang menentukan keadilan buat Rasya.” Wicak masih terus berusaha.

Ketika nama Kiai Masruri disebut nyatanya suasana mendadak hening. Hingga kemudian kerumunanan tersebut terbelah dengan perlahan. Nyatanya kerumunan para santri tersebut terurai dengan kehadiran Kiai Masruri. Kiai Masruri datang dengan sorban warna merah yang tidak pernah beliau lepaskan. Meskipun telah termakan usia, tetapi sorot mata Kiai Masruri masih tajam seperti biasa. Cukup untuk membuat jantungku seperti turun ke kaki. Karena aku tahu, sorotan tersebut ditunjukan untuk aku seorang. Hal ini semakin membuatku menyadari kesalahan yang telah aku perbuat, karena sampai membuat Kiai Masruri—pemilik pondok pesantren ini sekaligus orang yang paling dihormati di seluruh pesantren—sampai harus turun tangan.

Sosok yang berhenti tepat di hadapanku itu cukup membuatku semakin menundukan kepalaku ke bawah. Rasa malu tak akan sanggup menjabarkan apa yang kurasakan. Kiai Masruri telah kuanggap sebagai ayahku sendiri. Bahkan Kiai Masruri juga pernah bilang bahwa aku ini telah dianggap sebagai anak laki-laki yang tak pernah ia miliki.

“Nak, tunjukan wajahmu,” ucap Kiai Masruri. Panggilan “Nak” dari Kiai Masruri semakin mengiris-iris hatiku. Bagaimana mungkin aku tega melemparkan aib ke wajah orang yang paling dihormati di seluruh pondok pesantren ini.

Dengan sangat perlahan, aku memperlihatkan wajahku pada Kiai Masruri. Meskipun beliau berusaha untuk menutupinya, dilihat dari raut mukanya tergambar jelas sebuah kekecewaan. Bagaimana mungkin santri paling berprestasi dan paling dielu-elukan berada dalam posisi seperti yang tengah kurasakan. Hatiku semakin terluka.

“Nak, benar apa yang mereka katakan? Kamu berzina?” tanya Kiai Masrui dengan tetap mempertahankan kelembutan suaranya yang tak pernah bisa hilang.

Aku menggeleng.

“Bohong! Dia bohong Kiai! Jelas-jelas kami menangkap dia sedang berduaan dengan santriwati di ruangan olahraga yang tidak terpakai.” Heru terus mendesakku.

“Ada saksi yang melihat dengan mata kepalanya langsung, Rasya berzina dengan santriwati itu?” Kiai Masruri bertanya.

Heru menggeleng pelan.

“Atau kamu sendiri yang melihatnya langsung?”

Dengan terdiam, Heru semakin menggeleng.

“Atau barangkali ada bukti yang menguatkan kalau Rasya berzina dengan santriwati itu?”

Kalimat dari Kiai Masruri semakin mengheningkan suasana di lapangan yang terik tersebut. Dengan mata kepalaku, aku bisa melihat para santri yang hanya bisa saling melemparkan pandangan ke satu sama lain.

Kiai Masruri lantas berbalik menatap tajam ke seluruh santri yang ada di lapangan tersebut, “Perbuatan zina itu memang dosa besar. Tapi kalau kalian menuduh orang lain berzina tanpa ada bukti yang kuat itu fitnah namanya. Dan kalian semua seharusnya tahu betapa besarnya dari dosa sebuah fitnah!”

“Memangnya siapa santriwati itu?” tanya Kiai Masruri.

“Rachel, Kiai,” sahut salah satu santri.

Mendengarnya, Kiai Masruri hanya bisa tercenung lama. Ia menatap jauh, seakan-akan sudah tahu bahwa peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi. Membuatku semakin diliputi rasa bersalah. Dengan menarik nafas dalam, Kiai Masruri balik menatapku.

“Rasya, selama belum ada bukti yang cukup maka kamu tidak pantas untuk mendapatkan hukuman sebagai pezina. Namun, kamu seharusnya yang paling tahu aturan dari pondok pesantren ini. Bahwa santri dan santriwati dilarang untuk saling bertemu. Apalagi di ruangan kosong, tanpa ada siapapun! Itu mengundang maksiat namanya!” jelas Kiai Masruri dengan nada tinggi.

“Karena itulah, kamu harus mendapatkan hukuman berat sesuai dengan aturan pondok pesantren ini.”

 Tolong jangan ….

“Ini semata-mata untuk menegakkan keadilan dan membukakan mata bagi santri lainnya. Bahwa tidak pernah ada santri yang dianakemaskan di sini. Tidak terkecuali kamu, Rasya. Untuk itulah hukuman ini harus diberikan.” Kiai Masruri menatapku iba.

Tolong jangan ….

Jangan hukuman itu ….

“Ambil gunting!” perintah Kiai Masruri.

Hatiku hancur sudah ketika mendengarnya. Meski begitu, sekilas, dapat kulihat raut wajah Kiai Masruri yang tidak rela. Namun bagaimanapun juga peraturan adalah peraturan. Aku harus rela, melihat satu demi satu rambutku dicukur oleh Kiai Masruri. Hal tersebut semakin ditambah tawa cemooh dan juga umpatan seluruh santri yang melihat hukumanku tersebut. Barangkali cuma Wicak yang kulihat hanya bisa melihatku dengan iba. Sedangkan aku hanya bisa melihat pasrah dengan helai demi helai rambut yang terus meninggalkan kepalaku. Seperti merasakan satu demi satu harga diriku yang dicabut dengan paksa.

Reputasi baik dan prestasi yang telah kutorehkan selama bertahun-tahun di sini nyatanya hancur dalam sekejap mata. Sebuah kesalahan yang membawaku jatuh dalam jurang kehinaaan. Seperti Adam yang pernah menjadi makhluk istimewa sekaligus kesayangan Tuhan. Namun, Buah Khuldi membuat Adam terhina dan diturunkan ke bumi dengan menanggung malu dan dosa yang tak tertanggungkan. Siang ini, aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Adam dengan Buah Khuldi milikku sendiri. Buah Khuldi yang kemudian lantas membawaku ke masa lalu tentang bagaimana semua ini bisa terjadi. Buah Khuldi itu bernama Rachel.