cover landing

Majelis Rindu

By Kaf


Prolog

Mataku menatap birunya langit di atas sana. Suara deburan ombak terdengar begitu jelas memeluk waktu. Alunan gemersik dedaunan menciptakan sebuah ritme bernada kematian paling pilu.

Di atas pasir, tubuhku menghadapi kegelapan. Langkah kaki tak dapat digerakkan. Seluruh badanku mati rasa. Bau amis darah yang berasal dari beberapa titik tubuhku menyatu dengan pekatnya garam lautan. Aku di mana? Di dunia bagian mana?

Sesekali ujung kaki merasakan basah dari ombak yang menerpa. Sesekali itu pula perih langsung menjalar ke mana-mana. Dan nahasnya tak ada nama siapa pun yang kuingat. Seperti mendelegasikan diri dalam daftar kematian, padahal aku adalah orang yang paling takut pada hal-hal mengerikan. Namun, nahasnya aku harus mulai menyerahkan nyawaku dan membiarkan diriku menyambut datangnya waktu. Katanya, ini bukanlah akhir ...

Mungkin, aku akan memulai perjalanan baru. Mungkin juga aku akan terlahir kembali menjadi bajingan pengecut di lain waktu. Aku tertawa. Lalu, apa bedanya dengan keadaanku hari ini?

Aku sungguh-sungguh tak bisa berbicara. Apa yang terjadi? Aku bertanya pada logika, tetapi tak bekerja. Perih dari angin lautan menerpa mata. Mungkin aku akan mati di sini, mungkin juga nisanku akan tegak beberapa menit ke depan. Apakah ini kesempatan dari Tuhan agar aku mengucapkan selamat tinggal pada dunia? Baiklah, aku akan melakukannya.

Namun, segera sebuah suara berbisik padaku. “Sesungguhnya Tuhan dan Malaikat-Nya bersalawat pada Nabimu. Maka lakukanlah.

***

1

 

Halo, aku nggak tahu gimana cara kalian bisa temukan draft ini. Aku menulisnya setelah melakukan perjalanan cukup panjang untuk mencari sebuah jawaban. Dan ketika telah terjawab semua pertanyaan, aku memutuskan untuk menuangkannya di sini. Sesungguhnya ini hanya catatan agar aku tak pernah melupakan, tetapi sepertinya catatan ini tak terlalu aman. Itu saja ya untuk muqaddimah-nya, aku minta maaf jika gagal menuliskannya dengan rapi karena aku bukan Naguib Mahfoez yang telah menjadi tuan sastra.

Dari aku,

–Qais Maulana Ats-Tsaqafi.

Lelehan lilin mulai berjatuhan di atas kertas ketika aku semakin tenggelam pada malam yang panjang. Di atas meja, lilin menyala menerangi gelap kamar dengan sengaja. Aku menatap api yang mulai melemah, kubayangkan bahwa dunia yang sekarang mampu menampungku adalah lilin itu, sedangkan masa adalah api yang menyala. Entah kapan waktunya, pada akhirnya Tuhan membuktikan rukun iman kelima. Bahwa saat itu dunia telah terkikis dan hancur berantakan oleh kedatangan makhluk-makhluk yang pernah diceritakan.

Aku meletakkan kepala di atas meja, mendekatkan wajah pada satu-satunya sumber penerang. Telunjuk tangan kananku memainkan lelehan lilin yang terasa panas, lalu bibirku mengembang tipis, tersenyum. Sekarang pukul 01.30. Aku masih memiliki waktu satu jam bercumbu dengan malam, sebelum nanti menyerahkan jiwa pada sepertiga malam.

Setiap malam, aku memang tak pernah benar-benar tertidur karena selalu mengingat seseorang yang kutinggalkan. Ra, sudah berapa lama kita tak saling sapa? Kadang-kadang kita memang harus menciptakan jarak, agar rindu ada gunanya. Rasanya entah sudah berapa lama kita pernah sapa selepas sua sewindu yang telah berjalan cukup lama. Al-Fatihah untuk hati kita. Aku tak benar-benar mampu untuk melepaskan semuanya.

Kuangkat kepalaku. Aku berdiri dan mulai berjalan ke arah jendela menatap taburan gemintang di atas sana. Bulan pertengahan Rajab pun terlihat bulat menyala sempurna. Aku menghirup udara malam, lalu melompat ke arah loteng dan mulai duduk di sana. Demi langit yang terhampar luas tanpa penyangga, demi udara yang dihirup tanpa syarat yang ada dan demi pepohonan yang tumbuh hanya untuk menyembah-Nya, maka, Ra, rindu mana lagi yang lebih mendamaikan selain rindu pada Zat yang telah menciptakanmu? Menciptakan bibirmu untuk tersenyum kepadaku kala itu.

Kedua mataku mengerjap ketika mendapati sesuatu terbang mendekat. Aku berdiri untuk memastikan. Balon biru tampak melayang di awang-awang. Aku memerhatikan hingga balon itu mengarah kemari. Helium-nya belum benar-benar habis, aku segera mengambilnya. Di bagian bawah tali terikat sebuah amplop putih kecil. Sebenarnya, siapa yang menerbangkan balon ini dan untuk siapa surat di dalamnya tertuju? Apakah sang pengirim melakukannya secara acak, barangsiapa menemukan maka seseorang itu bebas membukanya? Aku melepas ikatan tali itu, lalu mencoba mencari nama atau apa pun di bagian amplop tersebut, tetapi kosong. Aku mencoba memperhatikan ke bawah sana, tentu aku tak dapat melihat apa-apa kecuali halaman rumah tetangga dan jalan setapak depan rumah yang sepi. Kubuka amplop itu, di dalamnya ada jingga terlipat. Aku menariknya lalu mulai membaca isi di dalamnya.

Aku ingin bertemu kamu dan mereka, tapi kata guruku perbanyaklah salawat. Apakah aku bisa menemukanmu di antara bait-bait allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad? Atau bagaimana maksudnya? Aku tak paham maksud beliau, tapi aku tetap melakukannya.

Aku membalik kertas itu, tetapi di belakang tak ada tulisan apa pun. Barangkali ini hanya tulisan random saja. Aku kembali melipat kertas, lalu dimasukkan lagi ke amplop. Balon udara itu kembali kuterbangkan, lalu perlahan menjauh bertulang di tengah kegelapan. Seperti tulisan seorang perempuan. Apa dia ingin menjumpai kekasihnya atau entahlah, aku tak ingin melakukan praduga.

"Lana!" Aku menoleh ketika mendengar panggilan dari seseorang yang sangat kukenal. Bibirku tersenyum refleks. Lelaki 40 tahunan berpiama hitam, baru saja melompat melalui jendela kamar dan kemudian melangkah menuju tempatku duduk.

"Bintangnya lagi bagus. Nggak lama lagi kita akan rayakan hari lahir Baginda. Jangan lupa perbanyak zikir dan salawat." Beliau duduk, aku juga ikut serta bergabung di sampingnya. Surat dari balon tadi telah kumasukkan saku, sebab tak ingin Ammi mengetahuinya.

"Daun juga berzikir padanya, kan?" tanyaku.

"Lana, menurutmu makhluk apa yang nggak berzikir kepada-Nya?"

“Manusia yang melupakan-Nya."

"Menurutmu mereka benar-benar melupakan-Nya?”

Aku mengangkat bahu. "Kadang-kadang ketika tengah bahagia."

Dia tersenyum. "Mereka hanya kurang mengenali, Nak."

"Begitukah? Bukannya semua muslim kenal Rasulullah?" Aku bertanya intens.

"Semua kenal, tapi ada yang kurang mengenali. Kau ingat Baba dan Mama setiap hari dan setiap saat?" tanya Paman.

Aku mengangguk.

"Kau ingat semua temanmu setiap hari dan setiap saat?" Ammi kembali bertanya.

"Enggaklah. Apalagi yang nggak deket dan nggak pernah sekelompok," jawabku apa adanya. Jujur saja, memangnya siapa yang selalu teringat kawan sekelasnya setiap saat? Bahkan NIM mereka saja aku tak pernah berminat menghafalnya.

"Itu jawabannya, Lana." Aku mengernyitkan dahi. Mungkin aku sudah mulai memahami tetapi aku butuh penjelasan paman yang ingin kudengar melalui inderaku secara langsung. Aku suka saat orang lain mulai bercerita atau memberi nasihat, aku suka mendengarkan suara-suara mereka walau aku harus pintar-pintar menyaring tentang perkataan apa yang boleh dan tak boleh ditelan mentah-mentah.

"Kalau kita udah kenal banget sama seseorang layaknya kamu mengenali baba dan mamamu, kamu nggak akan bisa melupakannya, Lan. Dalam artian ia abadi di ingatanmu. Tapi berbeda jika kamu hanya kenal seseorang seperti kamu mengenal teman-temanmu yang nggak pernah sekelompok. Hanya sebatas tahu, sehingga kamu nggak selalu menaruh namanya di pikiranmu.

"Kamu hanya akan ingat temanmu bila ada sesuatu terjadi menyangkut mereka. Misal tak sengaja bertemu mereka di jalan, atau mereka ribut di kelas. Berbeda dengan saat pikiranmu mengingat Baba dan Mama, tanpa harus ada penyebab yang mendorong pikiranmu untuk mengingat, mereka pasti akan selalu kamu ingat. Kamu berdoa untuk mereka, sepanjang perjalananmu dari asrama ke sini menghadirkan kedua orang tua di hatimu. Itulah cinta, Lana.”

"Kuncinya ada di perkenalan. Lalu cinta memutuskan untuk tumbuh atau tidak. Kalau cinta berhasil tumbuh setelah kamu mengenali Rasul, maka kamu menjadi orang yang sangat beruntung. Cinta itu bisa dipupuk, Lan. Semua orang bisa menumbuhkan bila dia mau." Paman menjelaskan dengan detail semuanya padaku. Secara pelan-pelan suaranya terdengar sabar menceritakan semua.

Aku mendengarnya takzim. Perkataan kadang bisa bersifat objektif dan subjektif, itulah mengapa kadang-kadang manusia harus memahami apa yang disampaikan oleh lawan bicara.

"Tadi, kenapa kamu berdiri?" tanya pamanku.

Aku mengedikkan kedua bahu, "Entah. Cuma kalau aku berdiri, bintang di atas sana bisa kelihatan lebih jelas, Mi. Rasanya aku pengen kembali bercita-cita kayak dulu pengen mendalami astronomi." Aku tertawa.

"Kenapa pengen mendalami astronomi, Lan?"

"Aku cuma suka aja dengan rahasia antariksa di atas sana. Aku suka waktu bisa lihat galaksi yang jaraknya 2,5 juta tahun cahaya dengan kasat mata atau lihat kawah-kawah bulan dengan teropong. Itu mengasyikkan. Aku selalu lupa dengan segalanya kalau udah di depan teleskop kamar. Dan bisa jadi renungan juga kalau kita sangat kerdil. Ke Mahakuasaannya jauh melampaui apa pun, ke Mahabisaannya jauh tak dapat dijangkau akal."

"Itulah, Nak, hal-hal yang nggak bisa diukur dengan akal. Satu-satunya jalan adalah keimanan dan nggak semua orang memiliki iman itu. Istirahatlah, persiapkan buat perjalananmu besok. Jangan lupa banyak salawat." Paman menepuk pundakku, kemudian beranjak pergi.

Kedua mataku kembali menjelajahi bintang-bintang di atas sana, dan seperti biasa ... ada satu bintang yang selalu mengambil perhatian, Ra. Sirius. Ia selalu percaya diri dengan cahayanya dan aku suka menatapnya berlama-lama. Bintang seolah paling mengerti keadaan. Rasi-rasi bintang seakan refleksi dari perjalanan, begitu terlihat rahasia di atas sana dan indah di saat yang sama.

Ketika waktu menunjuk pukul 02.30, aku masih takzim duduk di loteng. Sesekali tulisan itu kubuka kembali, memastikan lagi dan lagi bahwa di sana barangkali ada petunjuk. Mungkin aku paham maksud sang guru, perbanyaklah salawat. Karena ketika berada di titik paling rendah pun, doa, zikir dan salawat seringkali memiliki efeknya sendiri. Mungkin sang guru meminta pada penulis untuk tak pernah bosan berharap pada Allah. Karena memang berharap pada siapa lagi kecuali Dia pencipta peta dunia dan kompas kehidupan. Namun, aku tak bisa memandangnya dari satu sisi. Kadang-kadang perkataan seseorang memiliki pemahaman ganda. Itu mengapa hermeunetika mesti dipahami kendati ketika menyampaikan agama sekalipun.

Benar kata guruku, afala ta'qilun dan afala tatafakkarun di Al-Qur'an terulang banyak sekali, dan sebab itulah manusia diciptakan include dengan pikiran agar digunakan dengan sebaik-baiknya.

Di tepi ranjang aku tersenyum sendiri, kemudian menaruh lipatan kertas itu di atas meja. Kutatap lilin yang masih menyala. Dari kegelapan ini aku sedikit belajar, bahwa aku harus menghargai meski hanya sedikit cahaya. Aku tak bisa membayangkan bila berada di bawah kegelapan, kadang-kadang manusia memang harus terjun ke paling dasar agar mengetahui betapa menawannya cahaya meski tidak terang.

Ra, di depan perapian aku melihat harapan yang semakin terang. Kamu tahu bukan, bahwa sekalipun aku tak pernah pesimis dengan segala hal yang kulakukan. Bahkan ketika ada satu harapanku yang hingga kini belum terijabah, aku masih berusaha merayu-Nya agar waktu bekerja untuk mengembalikan yang hilang. Aku masih percaya dengan doa, karena ia satu-satunya senjata yang kupunya.

***