cover landing

Magic Shop

By S. A. Nadia


Sebuah taksi perlahan menurunkan kecepatannya lalu berhenti setelah mengaspal selama tiga puluh menit. Membayar dengan uang pas pemuda dengan ciri khas mata kecil tanpa lipatan mata turun dari dalam mobil. Tak lebih dari dua koper dan satu tas ransel tersampir di belakang punggung kokohnya. Dia tersenyum semakin lebar, memperjelas lesung pipinya sesaat taksi berlalu, matanya terkunci menatap rumah yang sudah tiga tahun ia tinggalkan. Cat rumah, dekorasi taman, deretan tanaman hias, pohon-pohon yang tingginya tidak seberapa. Hingga gerakan dramatis dedaunan yang meliuk tersentuh angin lalu terkulai di tanah. Semuanya masih sama.

Awalnya, memang terkadang dia membenci kakeknya yang tidak menyenangi perubahan sekecil apa pun. Tapi toh dia tidak bisa bohong, setelah tiga tahun pergi membuatnya kini terserang rindu. Dada bidang Namjoon terkembang sempurna, dengan rakus menghirup udara seolah-olah tak ada hari esok baginya untuk bernapas.

“Kakek, aku pulang!” Namjoon berteriak, kakinya setengah berlari terhambat dua beban koper yang diseretnya.

Beruntung hari sudah beranjak sore, sehingga di kompleks perumahan itu tidak ramai orang berlalu lalang. Jika tidak begitu, mungkin Namjoon sudah ditegur atau dianggap sinting. Ini karena dia ingin memarahi kakeknya habis-habisan. Tega sekali telah membiarkan cucunya sendirian saat wisuda. Padahal ia sudah mengirimkan tiket pesawat. Benar-benar! Kali ini dia berhak memarahi kakeknya.

Sepuluh menit berlalu tak juga ada yang membukakan pintu untuknya. Agak aneh, rumah itu tampak sepi. Selama Namjoon pergi, kakeknya memang tinggal sendirian.

Kakek ke mana ya?

“Mas Namjoon?”

Mendengar namanya disebut ia menoleh, lelaki berseragam satpam menampilkan deretan gigi melihat ke arahnya.

“Bisa ikut saya sebentar, kita ke rumah Pak RT.”

Tanpa menjawab apa pun Namjoon mengikuti ajakannya.

Embusan angin mengiringi langit yang semakin menguning, membawa hawa sendu entah dari mana. Sedangkan hening masih menggelayuti, mengundang awan-awan kelabu di wajah pemuda itu kian pekat. Matanya mendadak perih menatap batu nisan bertuliskan nama kakeknya.

“Maafkan saya, tidak lebih berusaha untuk menghubungi Mas Namjoon. Kematian Kakek Si Hyuk memang tiba-tiba, kita juga tidak bisa menunggu Mas Namjoon dulu untuk melaksanakan upacara pemakamannya. Saya sungguh minta maaf!”

Satu tangan Namjoon terangkat, “Tidak apa-apa! Bukan sepenuhnya salah Bapak juga. Justru saya berterima kasih banyak pada Bapak, sudah mengurus pemakaman Kakek dengan layak, sementara saya tidak ada.” Seulas senyum tampak terbit di wajahnya, meski butuh usaha yang lumayan untuk sekadar menarik sudut-sudut bibirnya agar terangkat di tengah kondisi saat ini. Lagi pula, kematian kakeknya tidak bisa dianggap tiba-tiba, sebab usianya memang sudah sangat tua. Realita itu membuat maut bisa menjemputnya kapan saja.

Lelaki paruh baya di samping Namjoon membalas tersenyum hangat, “Sudah mau gelap, kita pulang?”

Namjoon masih berusaha mempertahankan lengkungan bibirnya, “Bapak boleh duluan, saya ingin di sini sebentar lagi.”

“Baiklah, malam ini saya akan menghubungi pengacara Kakek Si Hyuk. Mungkin besok dia akan datang ke rumah.” Setelah menyelesaikan kalimatnya dia menghela napas panjang seraya menepuk bahu Namjoon, kemudian berlalu.

Suara burung saling bersahutan mengisi langit, tampaknya mereka telah kembali setelah satu hari penuh mencari makan. Berkumpul kembali ke sarang masing-masing bersama keluarga kecil mereka. Biasanya hal kecil ini sering luput dari perhatiannya, namun kini pemandangan itu sungguh membuatnya cemburu.

Kenapa aku ditinggal sendirian sekarang?

“Kakek selalu marah padaku, kan? Karena aku sering ceroboh. Tapi kenapa saat giliranku ingin marah sekarang, Kakek malah pergi seperti ini? Kakek curang! Padahal Kakek sendiri yang menyuruhku cepat lulus. Setidaknya Kakek harus menemaniku wisuda dulu, atau menyambutku pulang. Setidaknya kita harus bertemu dulu! Iya, kan? Aku memang pantas marah! Tidak, aku tidak akan marah, aku janji! Kembalilah, Kek! Pukul aku sekali saja!” Tangannya gemetar menjambak gundukan tanah yang masih belum sepenuhnya kering, air matanya berderai membasahi pipi. Senja yang cerah kala itu ditutup oleh gerimis di wajah Namjoon.

***

Namjoon terbelalak melihat pantulan dirinya di cermin. Mata kecilnya kian terlihat kecil karena bengkak, hidungnya pun merah sangat kentara. Belum lagi suaranya parau seperti terserang flu.

“Ah, sial! Kenapa aku menangis seperti perempuan!” Namjoon mengumpat untuk kesekian kali. Sebelumnya dia tidak pernah menangis sampai begini, bahkan di hari pemakaman ayah dan ibunya sekali pun. Bukan hanya karena ia lebih dekat dengan kakek, tapi karena kakeknya juga lah yang selalu ada buatnya. Tapi saat kakeknya sekarat, jangan kan ada, dia sendiri bahkan tidak tahu.

 “Cucu macam apa aku ini? Dari awal harusnya aku tidak ambil beasiswa itu!” Namjoon meremas rambutnya frustrasi, satu tetes cairan kembali menggurat pipinya. Ia menghela napas panjang, menangis semalaman nyatanya cukup menguras hampir setengah energinya. Ditambah dia juga tidak bisa memejamkan mata barang semenit. Usahanya mengorek isi lemari dapur dan kulkas pun rupanya sia-sia. Sejenak ia sadar, mana mungkin ada makanan setelah satu minggu lalu rumah ini kosong. Masih ada kabar baik dia menemukan teh celup yang belum kedaluwarsa. Sepertinya nanti siang dia perlu belanja.

Aroma teh hangat berhasil membuat Namjoon nyaman. Hingga suara gaduh meluluhlantakkan ketenangannya. Sumber suara mengarah ke teras depan rumah. Segera setelah pintu terbuka, di hadapannya segerombolan anak berseragam sekolah tengah menjahili seekor anjing putih ras campuran atau mongrel. Mereka mengikat leher anjing itu dengan tali seadanya, dan memukuli meski dengan ranting kecil.

Tidak tinggal diam Namjoon segera merangsek melintasi taman tanpa pagar di rumahnya. Serta merta merampas tali dari tangan salah satu anak.

“Eh, Kak Namjoon sudah pulang, kapan?” Satu dari mereka bertanya tiba-tiba.

“Kakak baru kemarin pulang. Tapi itu tidak penting! Kalian kenapa mengganggu Yeoja? Kalian lupa dia siapa?”

Melihat Namjoon berkacak pinggang membuat semua anak terdiam dengan kepala menunduk, saling sikut antar temannya menyalahkan satu sama lain.

“Selama Kakak pergi, Yeoja selalu mangacak-acak sampah. Dia juga pernah dibuang beberapa kali oleh Pak Satpam. Tapi berkali-kali juga kembali!” Anak yang terlihat lebih dewasa angkat bicara, diiringi sahutan pelan anak lain di sampingnya ikut membenarkan.

“Apa?” Namjoon berdecak seraya mengusap mukanya, tidak percaya.

“Kakak juga aneh sih, kenapa pacaran sama anjing?” celetuk anak yang tadi memegang tali.

“Hei!” Namjoon mulai dongkol, urat di dahinya meski samar mulai tampak.

“Kabur!” Salah satu dari mereka berseru mengomando, seketika itu pula anak-anak berlarian saling mendahului.

Namjoon menggelengkan kepala tidak habis pikir. Dia menoleh, menatap Yeoja di sampingnya, anjing betina yang ditemukannya terluka saat dia masih bersekolah menengah atas. Anjing itu kerap terlihat dipermainkan anak-anak. Namjoon merawat luka di kaki Yeoja, namun tak pernah bisa membuatnya diam di rumah, padahal Namjoon berniat untuk mengadopsinya. Yeoja−nama yang diberikan Namjoon−selalu mendadak hilang kemudian kembali, dia sepertinya sudah hafal betul jalan dan akan kembali menemui rumah Namjoon kapan pun ia mau. Meski sudah akrab dengan Yeoja, Namjoon tidak tega untuk mengekangnya. Dengan alasan itu pula ia menyebut Yeoja sebagai pacarnya, agar anak-anak itu berhenti menjaili Yeoja. Namun sepertinya alasan itu tidak manjur.

“Sudah lama ya, Yeoja?” Namjoon menekuk lututnya segera membuka tali di leher Yeoja, “Kenapa kamu masih saja seperti ini? Sudah kubilang harus melawan jika ada yang mengganggumu, atau kamu harus segera lari menyelamatkan diri! Oke?” Lesung pipinya tampak kala tersenyum hangat sambil mengusap pucuk kepala Yeoja. Tanpa ia ketahui, dari balik bulu yang menutupi pipi anjing itu muncul semburat kemerahan.

“Selamat pagi! Apakah Anda Namjoon, cucu tunggal Kakek Si Hyuk?”

Namjoon segera berdiri, “Ya, saya sendiri.”

***

Kakek mewariskan semua harta bendanya pada Namjoon. Sudah tentu. Pemuda itu memiliki garis keturunan tunggal dari buyut ayahnya, dan hal itu pula yang membuatnya sebatang kara ketika satu per satu dari jiwa mereka terjemput maut.

Lalu giliranku kapan? Namjoon menghela napas berat kesekian kalinya, apa gunanya itu semua jika aku hidup sendiri?

Bukan hanya itu, dalam wasiat kakek tertera juga bahwa barang antik koleksinya pantang untuk dijual, harus dirawat dan dijaga sampai nanti jika Namjoon memiliki keturunan. Jangankan merawat, dulu saja ia bahkan dilarang masuk ke ruang koleksi benda antik kakeknya itu. Sekarang malah ia disuruh merawatnya. Namjoon masih ingat pukulan yang dialamatkan padanya karena telah membuat beberapa guci retak. Meski sudah tua tenaga kakek saat marah tidak bisa diremehkan. Satu hal lagi, Namjoon harus meneruskan usaha toko tanaman hias kakeknya.

Yeoja tiba-tiba menyalak membuat Namjoon sedikit terlonjak. Beberapa jeruk dan tomat jatuh dari kantong belanjaannya, “Ada apa, Yeoja?” Selesai memunguti, Namjoon segera mendekati anjing putih yang masih terus menyalak itu.

Mata Namjoon akhirnya mengikuti ke mana arah moncong Yeoja yang berisik. Beberapa meter dari trotoar tempatnya berdiri ada sebuah toko yang asing baginya. Di atas pintu toko itu ada papan tak terlalu besar bertuliskan ‘MG Shop’ serta seorang laki-laki berdiri tegap di samping pintu memandang ke arahnya.

Toko apa itu? Tadi juga jalan lewat sini, kan?Aku baru melihatnya sekarang. Kening Namjoon mengerut. Kematian kakek rupanya membuat dia kehilangan fokus beberapa kali.

Masih tersenyum lelaki itu terlihat membungkukkan tubuhnya, “Silakan mampir, ada yang bisa saya bantu?” Suaranya terdengar sayup.

Seusai menimbang beberapa detik, Namjoon memutuskan untuk berkunjung. Namun baru saja kakinya mulai bergerak, Yeoja yang sejak tadi tak kunjung berhenti menggonggong sekarang tiba-tiba berlari menyeberang jalan. Namjoon terkejut, kemudian segera mengejar Yeoja setelah sebelumnya membungkukkan badan ke arah laki-laki di depan toko yang masih menatapnya.

***

Air putih dari lemari es menggelenyar membasahi kerongkongan Namjoon. Keringat mengembun dari pelipis dan punggung, membuat bajunya agak basah. Lumayan juga usahanya mengejar anjing dengan dua buah kantong penuh belanjaan di tangannya. Meski begitu ia tetap kehilangan jejak Yeoja. Padahal Namjoon sudah janji mau memberinya makanan setelah pulang belanja. Semoga saja ia segera kembali.

Namjoon menghempaskan tubuhnya di atas sofa ruang TV sesudah perutnya terisi, sembari tangannya membuka gawai mengecek beberapa pesan masuk. Kuliah di luar negeri membuatnya terbiasa mengurus diri tanpa bantuan orang lain. Tetapi dia tidak menyangka bahwa keadaan ini akan berlanjut selepas wisuda.

Setelah ini harus membersihkan tempat itu ya?”

Bau debu menyeruak tepat ketika pintu terbuka. Namjoon mengernyitkan dahi sembari mengibaskan tangan di depan hidung. Hari ini dia akan merapikan ruang koleksi kakeknya, sesudah itu mencatat semua barang yang ada di sana untuk memastikan keamanannya.

“Apa untungnya coba mengoleksi barang-barang ini? Mana gak boleh dijual pula.” Mulut Namjoon sibuk menggerutu, sementara tangannya giat bekerja mengelap setiap debu yang terlihat. Sedianya benda koleksi Kakek SiHyuk tidak banyak, masih di bawah angka lima puluh. Namun sayangnya barang-barang itu rentan pecah, membuat Namjoon merasa terbebani.

Tangannya tiba pada sebuah botol kaca berisikan seperempat cairan bening. Sejenak ia mengamati botol tersebut, tampak biasa. Namjoon ragu kalau-kalau benda ini bukan salah satu dari koleksi kakeknya. Bisa saja ini botol bekas minum biasa. Selagi otaknya mempertimbangkan, tangan Namjoon tak urung mengelap botol itu. Hingga dadanya mencelus begitu menyadari botol kaca di tangannya tahu-tahu sudah berserakan di lantai menjadi serpihan.

“Sial! Bagaimana ini? Bisa-bisa arwah Kakek marah bukan main!” Namjoon meremas rambutnya. Frustrasi, dia hanya bisa menggigit bibir bawah, “Eh, tunggu! Botol itu belum tentu juga koleksinya Kakek, kan?” Sesaat hatinya terasa lapang, tapi tak lama dia kembali mengerang, “Tapi Kakek mana mungkin meletakkan benda sembarangan di ruang favoritnya ini! Hah!”

Belum reda kekalutannya, Namjoon kini tercengang melihat asap tipis muncul di atas kepingan kaca tadi. Matanya melihat dengan jelas, air yang turut berceceran itu seolah menguap dan menimbulkan asap tipis yang kini menebal perlahan membentuk siluet seorang manusia. Namjoon hampir saja lupa cara mengedip. Asap itu pelan-pelan menghilang menampakkan seorang lelaki dewasa. Tampangnya terlihat bingung, matanya menyapu sekeliling hingga tatapan mereka bertemu.

“Kok bisa...” Namjoon kehilangan kata-kata, mukanya kusut dengan mulut menganga.

Berbanding terbalik dengan Namjoon, lelaki itu entah sejak kapan mimiknya berubah riang. Mendekat ke arah Namjoon seraya meraih tangannya, “Terima kasih! Terima kasih banyak. Kamu sudah membebaskan saya!” Namjoon sedikit terlonjak berusaha menarik tangannya, tapi percuma jabatan tangan sosok itu amat kuat.

Namjoon belum sempat mengeluarkan kalimatnya, lelaki itu kini beralih memeluknya erat sembari terus berseru terima kasih. Tak cukup sampai sana, dia lalu berlari-lari kecil mengitari ruangan itu bagai melakukan selebrasi. Bosan berlari, sekarang dia menari-nari kecil tidak jelas. Namjoon hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Lelaki itu tiba-tiba berhenti, dalam benaknya seolah menyadari sesuatu, lantas dia berjalan menghampiri Namjoon kembali, “Boleh aku minta tolong?”

“Apa?” Namjoon belum bisa banyak berkata-kata, otaknya masih berantakan.

“Tolong bebaskan adik dan temanku juga, ya? Kumohon!”

“Ap-apa?” Namjoon tergagap, semua ini makin membuat kepalanya pening, “Tunggu sebentar! Kamu ini siapa? Ah, bukan! Kamu ini apa? Bagaimana bisa muncul dari asap? Ini apa-apaan? Jangan bilang ini cuma prank!”

“Oh iya! Aku lupa kita belum kenalan. Aku adalah jin, namaku Seokjin.”

“Hah?” Alis Namjoon terangkat, pandangannya mendadak buram seiring tubuhnya runtuh.

***