cover landing

Luna (The Bride of Alpha)

By LeeIndah7


Namaku Ellena. Namun setelah terjebak di ambang kematian dan kembali membuka mata, aku berubah menjadi Luna.

Brak!

“Selamatkan dirimu, jangan sampai tertangkap!”

Aku menatap kedua bola mata ibu yang tampak ketakutan. Napasnya tak beraturan, seolah menahan sesuatu yang besar dalam dirinya. Keadaan memang sangat genting, tapi aku tak mengerti apa yang terjadi.

“Tidak, Ibu,” tolakku. “Aku tidak mau pergi.”

Ibu menatapku dengan wajah memelas. Tangannya mencengkeram bahuku, menunjukkan seberapa keras ia menahan rasa gelisah. “Kumohon… pergi dari sini secepat yang kau bisa.”

“Bagaimana dengan Ibu?” tanyaku tak kalah panik. Air mata sudah membanjiri pipiku. Meski aku tak tahu apa yang kuhadapi, rasa takut menjalari tubuhku dengan cepat. Pancaran yang tampak dari kedua bola mata ibu, gerak-geriknya, juga getaran dalam nada bicaranya membuatku sesak napas. Takut… tapi tak tahu apa yang harus kutakuti.

“Ibu akan berada di sini dan menghadapi takdir yang semestinya,” sahut Ibu. Entah kenapa dari setiap kata yang diucapkannya seolah terselip makna terpendam. Namun, aku terlalu takut untuk memikirkannya.

Aku menyentuh tangan ibu yang berada di bahuku. Meremasnya pelan, berusaha menyampaikan apa yang tak sanggup kuungkap dengan kata. “Aku menyayangi Ibu lebih dari apa pun.”

“Di dunia ini… satu-satunya harta berharga yang Ibu miliki adalah anak Ibu.” Ibu tersenyum seraya menyentuh pipiku dan mengusap air mataku.

Prang!

Suara pecahan kaca yang diikuti lolongan-lolongan mengerikan memecah suasana. Aku segera mengangkat gaun putihku yang panjang dan berlari secepat yang kubisa menuju tempat aman.

Aku masuk ke dalam perpustakaan, kemudian menarik tuas rahasia yang menyambung dengan lampu gantung. Sebuah jalan terbuka pada lantai. Tangga-tangga batu bermunculan di bawah sana sebagai jalanku untuk kabur ke ruang bawah tanah.

Sekarang aku tahu kenapa rumahku terletak di tengah hutan, sangat kuno, dan memiliki ruangan rahasia. Ibu, mungkin juga ayahku, sudah mengantisipasi hari ini. Mereka mencoba menyelamatkanku dari sesuatu yang sangat berbahaya, sesuatu yang tak kuketahui dengan jelas.

Aku melemparkan sepatuku ke arah jendela. Berharap itu akan mengecoh mereka. Setelahnya, aku turun ke ruang bawah tanah. Jalan kembali tertutup begitu aku sampai. Tangga-tangga menyatu kembali dengan dinding.

Tanpa satu pun pencahayaan aku berlari di lorong. Napasku mulai sekarat setelah cukup lama berlari. Namun aku tak gentar, langkahku terus bergerak mencari tempat yang lebih aman. Dari dalam sini aku tak bisa mendengar suara apa pun selain deruan napas dan juga langkah kakiku sendiri. Aku tak tahu apa yang terjadi di atas sana. Aku tak tahu mereka sudah berhenti atau masih mencariku. Aku juga tak tahu apa yang terjadi pada ibu. Tapi, aku tak bisa kembali. Aku harus menepati janjiku pada ibu, menyelamatkan diri.

Aku menghentikan langkah begitu melihat jalan keluar berupa lubang di atas sana. Aku meraba-raba dinding berlapis lumut di sekitarku. Aku juga menarik beberapa akar pohon. Berharap sesuatu akan turun untuk menyelamatkanku, mungkin tangga yang bisa kunaiki.

Srek!

Sebuah anak panah tiba-tiba melesat di atas kepala dan menancap pada dinding batu di depanku. Jantungku hampir saja berhenti berdetak karena mengira ada ranjau di tempat ini. Namun, panah itu tersambung dengan sebuah tali yang menandakan adanya tujuan. Aku sontak menarik tali itu. Setelah yakin bahwa talinya kuat, aku berusaha memanjat. Sampai pada bibir lubang, aku mengambil napas panjang. Segera saja aku naik dan keluar.

Pepohonan dan langit malam adalah satu-satunya hal yang bisa kulihat di sepanjang mata memandang. Suara lolongan kembali kudengar. Panik, aku mengangkat gaunku dan berlari sekuat tenaga.

“Kumohon… kumohon….”

Aku tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan Ibu.

Lagi-lagi, suara lolongan terdengar. Amat dekat denganku. Kali ini suaranya terdengar banyak, bersahut-sahutan. Aku juga mendengar suara langkah cepat. Seolah segerombolan serigala mengejarku. Aku tak berani melihat ke belakang.

Aku harus menahan perih yang teramat selama berlari. Kakiku yang tak beralas membuat luka dengan mudah menggoresku. Baik karena bebatuan yang kuinjak maupun ranting-ranting pohon yang terjatuh.

Mataku membulat begitu menyadari sebuah jurang menantiku di depan sana. Karena kecepatan lariku, aku tak sempat menghindar. Liontin ungu dari kalung yang kupakai tiba-tiba bersinar sangat terang begitu tubuhku terperosok.

Aku memejamkan mata dan mangatup bibir rapat-rapat. Berusaha bertahan meski tubuhku berguling tak tentu arah. Berbenturan dengan tanah, ranting, dan kerikil. Begitu mendarat, langit malam adalah satu-satunya hal yang bisa kulihat.

Tak ada satu pun rasa sakit yang kurasa. Aku tak bisa bergerak. Tubuhku mati rasa, hanya napas tersengalku yang bisa kurasakan. Suara lolongan kembali terdengar. Begitu agresif dan beringas. Suaranya berasal jauh dari atas sana.

Aku memejamkan mataku dan berusaha menahan napas. Kuharap mereka tidak turun dan menangkapku yang tak berdaya ini. Kuharap mereka mengiraku mati setelah terjun.

Setelah yakin serigala-serigala itu pergi, aku membuang napas panjang. Aku meraup udara dengan rakus. Berusaha membayar saat-saat di mana aku harus menahan napas dan rasa takutku.

Langit malam kembali menjadi pemandangan yang mampu kulihat. Kali ini aku menatap langit dengan benar. Bulan purnama menampakkan dirinya dengan elegan ditemani dengan bintang-bintang kecil yang tersebar di sekitarnya.

Langit tampak cantik dan berbahagia. Berbanding terbalik dengan kondisiku yang berantakan dan ketakutan. “Tidak adil,” gumamku.

Bisa kurasakan setetes air mata turun dari sudut mataku. Kuusahakan untuk menguatkan diri. Aku tak bisa membiarkan pertahananku pecah di sini sementara nasibku masih tak menentu.

“Kumohon… siapa pun, tolong aku.”

Aku memejamkan mata sejenak. Ketika kubuka mata, aku bisa melihat sesuatu bergerak mendekat. Warnanya putih bersih seperti salju yang turun di permulaan musim dingin. Sebisa mungkin kugerakkan kepalaku untuk memeriksa apa yang tengah mendekat.

Serigala?

Pandanganku samar. Aku tak begitu yakin dengan apa yang kulihat. Sepertinya aku berhalusinasi.

Entahlah… karena sekarang yang tampak bukan serigala putih. Melainkan seorang wanita dengan gaun putih mengembang, mirip dengan yang saat ini kukenakan. Ia terus melangkah mendekatiku. Semakin lama sosoknya semakin jelas. Ia mengenakan sesuatu yang berkilauan di atas kepalanya. Entah apa, yang jelas benda itu berpendar biru.

Aku tak sempat melihat rupa dari wanita itu.

Semuanya tiba-tiba menjadi gelap dan aku merasakan sakit tak tertahan di sekujur tubuhku.

 

***

“Ratuku, kumohon… bangunlah.”

Samar, aku mendengar suara rendah yang terdengar amat pedih. Seolah ia telah putus asa dan kepedihan menyiksa batinnya. Entah kenapa kalimat sederhana itu membuatku hancur. Kepedihan si pemilik suara menyayat-nyayat hatiku.

Ketika aku merasakan usapan lembut di pipi, aku berusaha membuka mata. Kepalaku sakit bukan main ketika secercah cahaya menyapa retinaku secara mendadak. Aku kembali memejamkan mata. Kali ini lebih rapat guna menghalau cahaya yang masuk. Namun, gerakan spontan yang kulakukan membuat seluruh tubuhku merasakan sakit.

“Argh, sakit,” ringisku tertahan. Aku berusaha memeluk tubuhku sendiri. Rasa sakit itu tak tertahankan, asalnya dari dalam tubuh. Rasanya seperti tubuhku dicabik-cabik tanpa ampun.

“Ratu! Apa yang terjadi?!” Aku bisa merasakan sepasang tangan kekar memeluk tubuhku. Bak sebuah sihir, pelukan itu membuat pikiranku teralihkan dari rasa sakit pada kehangatan yang tersalur. Napasku mulai teratur, kepanikanku juga meluntur.

Begitu rasa sakit itu tak terasa, aku memundurkan tubuh. Berusaha melihat pemilik tangan yang telah membantuku melawan rasa sakit. Matanya hitam gelap, penuh kekelaman. Tatapannya tajam seperti elang, namun bisa kulihat kelembutan tersembunyi di dalam sana.

Kuperhatikan pria di depanku itu lebih lekat. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan bibir tipis yang pucat. Rambutnya hitam, agak berantakan. Dari sudut ini aku bisa melihat kesempurnaan wajahnya.

“Sudah lebih baik?” Suara beratnya menyapaku. Tangannya terulur, merapikan beberapa helai rambut yang menutupi wajahku. Senyuman tipis tersungging di wajahnya.

Aku mengangguk sebagai balasannya. Aku hendak menjauhkan diri, namun pria itu kembali mendekapku. Kali ini ia menuntunku untuk duduk dengan benar sehingga ia bisa menyandarkan dagunya di bahuku.

Orang asing tengah memelukku… tetapi aku tak bisa menolaknya.

“Akhirnya aku bisa menatap matamu lagi. Aku benci melihatmu terpejam begitu lama.” Sirat khawatir kentara terdengar lewat kalimat itu. Tanganku dengan sendirinya melingkarkan diri di lehernya. Yang kupikirkan hanya satu, menenangkan pria itu.

“Jangan berani-berani tidur lama lagi,” ucapnya seraya melepas pelukan. Ia menatapku dalam, tangannya menangkup wajahku. “Aku benci ketika kau tidak membalas sentuhanku.”

Aku menyentuh tangannya yang berada di pipiku dan menggenggamnya. Ada begitu banyak pertanyaan dalam benakku. Di mana aku berada? Siapa dia? Kenapa ia bersikap seolah aku adalah hal terpenting dalam hidupnya? Namun, tak ada satu pun pertanyaan yang bisa keluar dari tenggorokanku.

“Seisi kerajaan akan senang mendengarmu bangun, terutama Ken dan Keen. Aku akan memberi pengumuman pada mereka bahwa Ratu telah terbangun dari tidur panjangnya. Tunggu di sini dan beristirahatlah. Mengerti?”

Pria itu tersenyum tipis. Ia mengecup keningku cukup lama sebelum akhirnya pergi. Meninggalkanku yang terpaku bersama kehangatan yang ia berikan.

Kerajaan? Ratu? Tidur panjang?

Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

Aku segera turun dari ranjang empuk tempatku berbaring sebelumnya. Aku memutar tubuh, berusaha meneliti sekeliling. Aku berada di sebuah kamar dengan gaya kuno dan elegan, sangat mewah dengan beberapa aksen emas di perabotannya. Seolah menunjukkan kedudukan yang tinggi dan agung. Dengan hati-hati aku memutuskan untuk mengelilingi kamar. Barangkali aku bisa menemukan petunjuk.

Aku menghentikan langkah di dekat pintu kaca menuju balkon yang dilapisi gorden putih tipis. Dinding di sekitar sana dihiasi dengan banyak pigura berisi potret yang dilukis. Ditata seperti menunjukkan silsilah keluarga. Namun, yang menarik perhatianku ada celah kosong di antara pigura-pigura itu. Di bagian bawahnya terdapat pelat emas dengan sebuah ukiran.

“Alpha dan Luna VIII,” kubaca ukiran itu cukup keras.

Alpha? Sepertinya tidak asing….

“Apa nama pria tadi?” gumamku. Perlahan tanganku menyentuh pelat emas. Tiba-tiba saja dinding di atasnya bergerak membelah. Aku membulatkan mata, sontak melangkah mundur.

Mataku tak lepas dari dinding yang terus membentuk sebuah lubang besar persegi panjang. Perlahan, sesuatu muncul dari lubang itu. Sebuah pigura yang sangat besar berisi sebuah lukisan; potret pria itu bersama seorang wanita dengan gaun putih mengembang, kalung berliontin ungu, dan mahkota biru bertengger di kepalanya… aku.

Aku sontak menutup mulut dan bergerak semakin mundur. Bagaimana bisa aku terlukis di sana dengan pria itu sementara ini adalah pertemuan pertamaku dengannya?

Aku di mana? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

Aku sontak memutar tubuh, berusaha mencari cermin terdekat. Begitu menemukan satu di dekat ranjang aku segera menghampiri dan bercermin di sana. Alangkah terkejutnya aku begitu menyadari bahwa aku memakai mahkota yang sama dengan yang ada di lukisan. Itu bukan milikku, lantas kenapa aku bisa memakainya?

Tunggu….

“Wanita itu,” gumamku. Tiba-tiba aku teringat akan kemunculan sosok wanita yang berasal dari hutan ketika aku sekarat di dasar jurang. Aku ingat gaun yang dipakainya, persis dengan yang berada di lukisan. Aku tak ingat ia memakai kalung dan mahkota, tapi aku ingat melihat pendar biru di atas kepalanya.

Mungkinkah itu dia?

Mungkinkah wanita itu menyelamatkanku dan membawaku kemari?

Tapi, kenapa aku bisa memakai mahkotanya?

Apa sikap pria tadi disebabkan karena ia salah mengenaliku sebagai wanita dalam lukisan?

Aku menatap pantulanku pada cermin dan lukisan itu bergantian. Berusaha mengamati kemiripan kami.

Tidak… kami tidak mirip. Kami persis sama dari ujung kaki hingga ujung kepala!

Mendadak kepalaku terasa pening. Ada terlalu banyak hal mengejutkan yang terjadi padaku hari ini sampai-sampai rasanya kepalaku bisa pecah kapan saja.

Aku bukan dia… aku bukan wanita itu. Aku harus memberi tahu pria tadi bahwa ia telah salah mengenaliku. Tapi, mengingat bagaimana aku kabur ke hutan, sekarat di dasar jurang, dan terbangun di tempat yang tak kuketahui bersama orang asing membuatku takut.

Apa yang akan terjadi padaku jika aku mengungkapkan kebenarannya?

Apa pria itu akan membunuhku?

Ia tampak sangat mencintai wanita itu. Ia tampak begitu lega ketika aku terbangun. Jika aku mengatakan bahwa aku bukan wanita itu, ia bisa marah besar dan menuduhku yang tidak-tidak.

“Ohh tidak, apa yang harus kulakukan?” Aku membalikkan tubuh, berniat keluar dari kamar itu dan mencari petunjuk lain. Namun tubuhku malah bertabrakan dengan tubuh lain. Aku pasti terjatuh jika orang itu tak sigap menangkapku. Terkejut, aku segera mendongak guna memeriksa siapa yang baru saja kutabrak. Postur tubuhnya tak sama dengan pria tadi. Yang ini lebih besar, sedikit lebih tinggi dan kekar.

Mataku langsung bertemu dengan mata biru tua pria yang menabrakku. Wajahnya sedikit mirip dengan pria tadi, hanya saja lebih lancip. Matanya tak setajam pria tadi, membuatnya tampak lebih bersahabat. Hidungnya lebih mancung juga terdapat tahi lalat di bawah mata kanannya.

Hanya saja, ada bekas luka memanjang membelah alis bagian kirinya.

“Kau bukan Luna,” ucapnya kemudian menggeram. Mendadak wajah bersahabatnya menjadi menyeramkan. Sontak aku bergerak mundur selangkah demi selangkah untuk menghindarinya. “Apa kau mencoba menipu Wonwoo?” tuduhnya.

Sial… punggungku menabrak dinding, aku tidak bisa kabur.

***