cover landing

Loving Alexander

By Suwati Van Rooij


What is love?

Suatu perasaan bahagia ketika melihat orang yang kamu cintai bahagia?

Bagaimana jika rasa itu tidak pernah muncul di saat dia—yang kau sebut sebagai belahan jiwa—mendapatkan bahagianya? Apakah itu masih bisa disebut sebagai cinta?

Your happiness is my happiness. 

Seharusnya begitu. Tetapi aku tidak bisa merasakan bahagiaku.

Badanku terasa kaku. Entah sudah berapa lama kami berada di sini. Aku tidak bisa melihat ke arah luar, tetapi aku tahu ini sudah cukup malam, ditandai oleh suara jangkrik dan katak yang bernyanyi nyaring silih berganti.

Alexander berjalan hilir mudik di dalam ruangan, sesekali dia meregangkan kedua tangannya.

“Mereka tidak akan membiarkan kita pergi,” kataku lirih kepada diri sendiri.

Alexander menghampiriku, meraih tanganku lalu meremasnya lembut. “Mari berharap bahwa mereka cukup pintar.”

Saat ini semua harapan sudah menguap dari dalam diriku, tidak ada yang tersisa lagi. Aku bahkan sedang menyiapkan diriku untuk skenario terburuk, walaupun aku tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi dalam skenario terburuk tersebut.

Till death do us part.

Begitu janji pasangan yang diucapkan di depan altar. Tetapi sekarang  kami bukan berada di depan altar. Ruangan tanpa jendela yang pengap dan gelap membuat mati terasa begitu dekat.

Mereka bilang, kilasan-kilasan hidupmu akan terlihat ketika maut mendekatimu. Aku tidak mendaptkan kilasan-kilasan itu, walaupun kematian tampak begitu jelas. Terlalu jelas seakan melambaikan tangannya ke arahku.

Aku tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Tidak dalam angan terliarku. Terjebak perang sipil jauh dari negara tempat aku lahir dan dibesarkan.

Till death do us part.

Aku sudah bersiap mendekati kenyataan itu, yang sepertinya hanya berjarak beberapa langkah lagi dari kami berdua. Mungkin itu lebih mudah. Mencintainya, walaupun nyawa tidak lagi berada di raga.

Aku menatap Alexander. Wajah yang biasanya teduh itu kini tampak keruh, jelas tergampar di setiap geraknya. Dia sama butanya dengan diriku, pengalaman berkeliling dunia tidak mengajari bagaimana harus bersikap ketika kamu berada dalam sekapan.

Tenang yang biasa ada di sana kini tidak terlihat. What if I die here, what if we die here? Tubuh kami bergelimpang di antara orang-orang yang tidak kami kenal. Aku akan lenyap, menjadi sosok tanpa identitas di antara puluhan atau bahkan ratusan sosok tanpa identitas lainnya.

Till death do us part.

Apakah benar kematian akan memisahkan kami? Merampas pucuk cinta yang baru saja mulai bersemi. Menghempaskan ke dalam ruang yang belum pernah aku ketahui. Seandainya aku bisa mengetahui masih ada kelanjutan setelah kematian. Tetapi aku sama seperti orang-orang yang masih mempunyai jiwa di dunia ini, tidak mengetahui apa yang terjadi setelah mati.

Pembimbingku menutupkan telapak tangannya ke mulutku, meredam suara teriakan yang keluar dari mulutku. Perutku menegang. Apa yang akan mereka lakukan terhadap Alexander? Aku bisa mendengar orang-orang itu membentaknya, menanyakan keberadaan kami. Dia hanya menggeleng, tidak tahu. Teriakan mereka semakin menjadi-jadi, lalu salah satu dari mereka melayangkan popor senjata ke kepala Alexander.

Aku kembali berteriak. Seluruh tubuhku bergetar. Tubuh Alexander melorot terjatuh ke tanah, aku bisa melihat cairan berwarna gelap perlahan meleleh di kepalanya.

Till death do us part.

Yang tidak aku persiapkan adalah, ketika bukan kematian yang memisahkan kita.