cover landing

Love Happens

By signaturecoffee


Jantungku berdegup lebih kencang dan telapak tanganku terasa dingin saat ini. Bukan karena pendingin ruangan milik restoran, tapi karena aku gugup menunggu Gio. Sore ini, sesuai janjinya, Gio akan memperkenalkan aku pada ibunya. Ya, hubungan yang serius yang sudah kami jalani selama dua tahun ini rencananya akan dibawa ke tahap perkenalan pada orang tuanya. Apabila kami berhasil, baru aku berencana memperkenalkan Gio kepada keluargaku.

Ini adalah permintaanku untuk berkenalan dengan orang tua Gio duluan sebelum dia dengan orang tuaku. Menurut cerita Gio, ibunya yang sudah menjadi single parent adalah orang yang sangat posesif kepada dua anak laki-lakinya. Kurasa memenangkan hati beliau akan butuh sedikit usaha ekstra karena hanya ada ibunya yang selama ini sudah menjaga Gio dan adik laki-lakinya. Jadi aku ingin mengantongi ijin duluan baru membawa Gio ke orang tuaku.

Orang tuaku sendiri sepertinya tidak akan bersikap terlalu kaku. Mungkin begitu. Well, aku juga mengira-ngira aja sih, karena aku belum pernah mengenalkan laki-laki manapun kepada orang tuaku sebagai kekasih. Laki-laki yang kuperkenalkan kepada orang tuaku haruslah laki-laki yang sudah jelas akan kunikahi atau yang yakin akan menikahiku. Bahkan, kalau bisa perkenalan itu berlangsung singkat. Jujur saja aku tak suka jika hubunganku terlalu banyak didiskusikan dengan mereka.

Setelah beberapa menit menunggu dan mengamati restoran, aku melihat Gio masuk bersama seorang wanita di sampingnya. Semakin dekat mereka dengan mejaku, aku langsung berdiri bersiap menyambut. Semakin dekat aku menyadari bahwa ibu Gio juga mengamatiku. Atas ke bawah, bawah ke atas, berulang kali. Aku berinisiatif duluan memperkenalkan diriku dengan cara yang paling menyenangkan menurutku.

“Selamat sore,” sapaku sambil mengulurkan tangan dan memasang senyum terbaik.

Tanganku disambut dan dia membalas senyumku.

“Kita pesan makan dulu?”

Aku menatap Gio dan mengangguk. Kami memesan beberapa makanan dan minuman.

“Gio bilang Tante bergabung di arisan yang sama dengan ibu Ekana ya?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.

Ibu Gio mendongak dan menarik sedikit kedua sisi bibirnya.

“Saya mengenal beliau karena pekerjaan,” kataku.

Dia berdeham, “Ya. Lagipula susah mengenal orang seperti dia kalau tidak secara kebetulan kan? Dia bukan orang sembarangan.”

Aku sedikit mengerjap mendengar tanggapan itu. Aku berusaha menyingkirkan semua praduga jelek yang menari-nari di otakku saat ini. Mungkin topik pembicaraan ini salah dan tidak menyenangkan untuk dia.

“Hidup ini memang butuh koneksi orang-orang hebat,” dia menggidik, “Benar kan?”

Aku sempat melirik Gio yang mengangguk samar kepadaku. Itu perintah agar aku menyetujui pendapat itu.

“Kalau boleh tahu, siapa lagi orang hebat yang kamu kenal?”

Oh, God. Aku merasa seseorang memukul tenggorokanku barusan, bahkan aku mengulurkan tangan dan mengusap leherku sekilas. Yang tak bisa kupercaya, Gio menjawab pertanyaan itu.

“Dia sahabat Brigita Aswindo, Ma. Itu koneksi yang cukup kuat kan?”

Sahabat Brigita Aswindo. Nada bicara itu justru menunjukkan seolah-olah aku bukan sahabat Brigita. Ya, aku tahu Brigita, sahabatku, salah satu keturunan orang kaya raya dan berpengaruh di dunia bisnis. Hanya saja aku tak pernah tahu kalau hal itu penting dibicarakan saat ini.

Namun, nyatanya topik mengenai orang-orang seperti sahabatku itu dibicarakan cukup lama. Kukira saat pesanan kami datang, kami akan mengganti topik dengan pembicaraan hubunganku dan Gio atau makanan sajalah. Apapun asal bukan prestasi keluarga orang lain. Nyatanya nggak begitu. Ibu Gio sangat bersemangat membicarakan hal-hal yang selalu mengelilingiku, tapi tak pernah menjadi bagian hidupku. Orang-orang dan keluarga-keluarga kaya raya.

Aku mengenal beberapa orang kaya yang dibicarakan ibu Gio, beberapa mantan klienku dan beberapa lagi sebagai tamu undangan di acara pernikahan klienku. Sebagai salah satu wedding planner di Blossom, aku menangani pernikahan keluarga yang berasal dari kelas menengah keatas dan yang akhirnya membuatku mengenal mereka. Mengenal mereka, itu saja. Aku bahkan tak punya kehidupan seperti mereka yang selalu kubantu mewujudkan pernikahan impiannya.

Sisa pembicaraan aku cuma menanggapi dengan anggukan dan senyuman. Aku benar-benar tidak nyaman dan tidak punya kalimat yang kurasa cukup bagus untuk menanggapi kehidupan glamor orang-orang itu. Seperti pilihan perhiasan, tempat mereka menghabiskan liburan natal, dan sebagainya. Ya ampun, apa pentingnya itu? Nggak ada! Setidaknya, bagiku.

“Apa menyenangkan?” tanya ibu Gio.

Aku masih menatap punggung Gio yang menjauh karena dia barusan ijin ke toilet ketika mendengar pertanyaan itu. Dia sempat mengerlingkan satu mata ke aku sebelum pergi tadi, sepertinya itu perintah lain agar aku menikmati waktu singkat dengan ibunya. Hm, sejujurnya aku tidak yakin aku bisa menikmati kebersamaan ini. Kali ini aku menatap ibu Gio dan menggumamkan permintaan untuknya mengulangi pertanyaannya. Wanita bersanggul tinggi itu mendesah cukup kasar.

“Apa menyenangkan menjerat Gio seperti itu?”

“Me-menjerat?”

Sendok dan garpu diletakkan saat ibu Gio menatapku mantap.

“Gio terlalu polos untuk mengetahui wanita seperti apa yang dibutuhkannya dalam hidup, Nak. Hmm, bukan hal yang mudah memang. Itulah mengapa seorang ibu harus bisa membantunya.”

“Maksud Tante apa?”

“Kita sudah membicarakannya sedari tadi. Mengenai hubungan dengan manusia lain dan keuntungannya.”

Aku mengerjap pelan, “Koneksi?”

Ibu Gio bertepuk sekali dengan semangat, aku yakin itu pertanda kalau tebakanku benar.

“Karir Gio bagus dan dia harus menjaga hal itu. Siapa pun yang berhubungan dengannya haruslah orang-orang yang bisa membantu karirnya makin baik. Kamu tahu kan, hidup jaman sekarang nggak mudah? Karir bukan sesuatu yang bisa diraih dengan mudah. Dan aku harap kamu bisa menangkap semua maksudku, kamu bukan orang yang dia butuhkan, Nak.”

Entah sejak kapan sendok dan garpuku juga tergeletak di sisi piring, sementara tatapanku menjadi tidak fokus.

“Tapi kami saling mencintai,” kataku.

“Cinta saja nggak cukup, Nak.”

“Bella. Nama saya Bella,” kataku sedikit lebih tegas.

Aku yakin barusan aku melihat ibu Gio nyaris memutar bola mata dengan kesal. Dia tak suka aku mengguruinya soal sapaannya padaku.

“Baiklah, Bella.”

Dia enggan melakukannya seolah namaku terlarang disebutnya.

“Gio,” dia menunjuk arah toilet sekilas, “Membutuhkan wanita jenis lain. Seorang wanita berpengaruh dan mampu menjadi ibu yang baik.”

Topik mengenai jenis-jenis wanita di kepala ibu Gio ingin sekali kubahas, hanya saja tak bisa sekarang. Aku harus fokus pada hal yang menyangkut hubunganku dan Gio dulu. Namun, wanita tua ini seperti tahu isi kepalaku. Dia menyambar setiap kesempatan dan tidak membiarkanku berkata atau bertanya. Dengan sukarela dia menjelaskan maksudnya.

“Aku sudah membesarkan Gio dengan baik dan aku tahu bahwa dia membutuhkan perempuan yang punya karakter keibuan. Seorang ibu rumah tangga yang melahirkan beberapa anak untuknya dan membesarkan mereka dengan baik pula.”

Lagi-lagi sesuatu yang bukan diriku.

“Gio sendiri sudah mengatakan banyak hal mengenai kamu, itulah mengapa aku tahu kalian nggak cocok. Meskipun kamu sahabat Brigita Aswindo, itu nggak cukup. Aku malah khawatir gaya hidup urakan kalian sama. Kalian pasti menyukai pesta dan keramaian. Selain itu, aku nggak suka dengan latar belakang keluargamu dan kehidupanmu yang jauh dari mereka. Gio sangat dekat dengan keluarganya, mana mungkin dia cocok dengan orang yang tidak punya kemiripan dengannya?”

“Ta—”

Belum sempat aku menyanggah pendapat itu, Gio terlihat berjalan kembali ke meja kami. Dia ke toilet cukup lama, pasti dia pikir itu bagus untukku dan ibunya. Sayangnya, itu justru sesuatu yang menjadikan sakit hati padaku. Sekarang aku justru berharap Gio kembali ke dalam toilet supaya aku bisa menyanggah pendapat ibunya mengenaiku. Seolah mungkin saja.

***

Setelah percakapan itu, Gio kembali ke meja dan semua sudah tidak sama. Makin canggung dan terasa buruk tepatnya. Ibu Gio kembali mengabaikanku dan tak lama kami berpisah. Aku meminta Gio mengantar ibunya pulang dan aku akan pulang sendiri. Bayangan mengenai terkurung di mobil yang sama dengan ibunya tak lebih baik dari waktu bersama kami di restoran. Mencekik.

Pupus sudah harapanku untuk mendapat restu dari orang tua Gio. Ibunya jelas-jelas menolakku dan mengirimkan berbagai sinyal agar aku segera menyingkir dari kehidupan Gio. Hal itu menyakitkanku, tapi anehnya aku memaklumi. Aku merasa rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuanku untuk mencapai standart wanita yang pantas untuk menjadi seorang istri. Memang benar Gio sangat dekat dengan keluarganya, sementara aku tidak. Aku yakin suatu saat itu akan menjadi batu sandungan untuk hubungan kami. Kami berbeda.

Hubunganku dan keluargaku ya biasa-biasa saja. Tidak bisa disebut mulus sih, tapi aku jelas tidak sering bertemu mereka dan tinggal terpisah. Sudah beberapa tahun aku memutuskan tinggal sendiri dan hanya sesekali pulang untuk mengunjungi orang tuaku. Aku lebih suka ada sedikit pembatas seperti ini.

Sedangkan mengenai kebebasan ... Well, itu benar. Kehidupan lajangku benar-benar bebas. Itu mungkin dikarenakan aku belum menikah kan? Aku yakin kalau sudah menikah, aku nggak akan sebebas saat aku lajang. Lihat saja Brigita, sahabatku yang menjadi topik favorit ibu Gio. Dia juga berubah menjadi wanita rumahan setelah menikah dan secara alami menjadi ibu yang baik setelah punya anak sendiri.

Aku mengeratkan tanganku yang terlipat dan menatap jalanan di luar taksi. Sialan. Kenapa pemandangan kota yang biasanya biasa-biasa saja terkesan dramatis jika hari kita sudah terkontaminasi dengan hal menyedihkan sih? Semua cahaya kota terlihat sedikit lebih redup dan semua bergerak sedikit lebih lambat. Aku mendesah keras sambil mengambil ponsel dari tas. Satu chat yang berisi pesan mengingatkan jadwal meeting besok membuatku tersenyum geli.

“Kenapa dia suka mengatur-atur seorang yang sudah pro seperti aku sih?”

Itu komentarku untuk chat yang dikirim Emir. Sahabat dan klienku.