cover landing

Lost Like Tears in Rain

By gnauvville_


"Sialan."

Kaskal memaki dirinya sendiri melalui pantulan cermin itu; ada wajahnya yang pucat, ada hidungnya yang mimisan, dan ada bibirnya yang kering. Dia benci harus mengalami hal ini setidaknya dua kali dalam sehari.

"Hapus lah, Kak. Kakak mau buat semua barang-barang itu kena darah? Jorok, deh."

Kaskal tidak perlu menoleh untuk menemukan lawan bicaranya, yang sinis, yang ketus, dan sama sekali tak menghormatinya sebagai kakak itu—Wilette, siapa lagi jika bukan adiknya, bungsu di keluarga Tanata.

Jadi, Kaskal buru-buru meraih dua lembar tisu untuk kemudian dia usapkan pada likuid merah berbau anyir itu, lantas membalik badan agar bisa sepenuhnya memproyeksi Wilette yang sedang memainkan iPad-nya di sofa.

"Kamu harusnya sekolah."

Wilette mendengus, sama sekali tidak menaruh atensi pada peringatan Kaskal, "Kan Papa donatur nomer satu di sekolah, apa anak kaya aku masih harus ngikutin aturan konyol itu?"

"Aku mau berangkat dulu."

Wilette melirik Kaskal, seketika itu mendelik tak suka, "Kalo Kakak mau sekolah, jangan bilang ke guru-guru di kelas aku kalo aku bolos hari ini. Ngerti?"

"Terserah," Kaskal akhirnya tahu bahwa semakin dia menggubris Wilette, maka akan semakin terlambat dia sampai di gerbang sekolahnya. Maka, dia berbalik lagi pada cermin itu, untuk membenahi sebentar dasinya dan mengaitkan kancing rompinya, "Kalo Papa marah, sama sekali bukan urusanku, ya."

Sebelum Kaskal benar-benar pergi dari ruangan ini, ia dengar Wilette berdecih.

"Udah biasa. Lagian, di rumah ini, aku emang dituntut ngalah terus sama Kakak, kan?"

Kali ini, Kaskal berusaha menjaga kestabilan emosi sekalipun kedua tangannya sudah terkepal bulat-bulat.

***

"Ya ampun, anak sulung Mama di Paris sana, apa kabarnya?"

Jiza melambaikan tangan pada layar ponselnya yang dipenuhi wajah tampan si nomor satu Tanata, Shevin; yang bekerja di negeri orang, yang bekerja di industri film, sudah sukses, menjadi kebanggaan luar biasa keluarga mereka, tentunya.

[Aku baik-baik aja, Ma. Papa mana? Bramzie? Kaskal? Wilette?]

Namun, belum sempat menjawab pertanyaan Shevin, Jiza sudah dikejutkan dengan rangkulan di pinggangnya—Bramzie di sini, ikut menyapa kakaknya yang sedang merantau itu, "Kak Shevin, kapan pulang?" Bramzie memberengut, sengaja membuat ekspresi menggemaskan supaya kakaknya bisa tergoda untuk cepat kembali ke sini—tempat tinggal mereka, di Yogyakarta.

Shevin tertawa di seberang sana, lantas mengembangkan senyum, baru bisa menyambung dengan suara serak, [Nanti, ya. Bentar lagi, kok. Tunggu.]

"Ah, tapi yang penting, kamu di sana harus sehat-sehat. Jaga diri, jangan tidur malem-malem, jangan ngerokok terus, jangan minum kopi terus, jangan telat makan mulu. Ya?"

Shevin mengangguk kali ini, menyetujui semua wejangan mamanya dengan patuh. Lalu, dia sengaja menengok pada jendela besar di belakangnya, baru berbisik, [Udah malem, Ma.]

Jiza pun paham maksud Shevin, jadi dia terburu mengangguk berkali-kali, "Ah, ya, Sayang. Kalo gitu, Mama tutup teleponnya, ya. Kapan-kapan, kita telepon lagi, okay?"

"Selamat tidur, Kak!"

Shevin sigap melambaikan tangannya, [Kalian jaga diri baik-baik, ya!]

"Jangan lupa bawain croissant paling enak, Kak!"

Seruan Bramzie akhirnya menjadi pamungkas sambungan telepon lintas negara mereka, sehingga perhatian Jiza bisa sepenuhnya teralih pada anak nomor duanya ini.

"Mau berangkat kuliah?"

Bramzie mengangguk, "Yap. Nanti aku ngga pulang malem, kok, Ma."

"Sarapan udah belum?"

Kali ini, Bramzie sengaja menggeleng, "Percuma. Kan udah berangkat semua, masa aku makan sendirian? Ma, makan sendirian kan ngga enak. Lagian, orang-orang di rumah ini mana ada yang betah tinggal lama-lama di sini? Pasti udah pada kebelet ngacir masing-masing."

Pada akhirnya, Jiza tidak mendebat lagi karena apa yang Bramzie bicarakan itu memang benar adanya—sebab keluarga Tanata selalu menomorsatukan kesibukan masing-masing, melebihi apa pun.

"Ya udah. Kalo gitu, berangkat sana. Nanti jangan lupa makan, ya?"

Ketika Jiza memberinya elusan di kepala, Bramzie pun membalasnya dengan sebuah senyuman tulus, "Siap. Oh iya, emang Kaskal sama Wilette udah berangkat sekolah?"

"Kaskal tadi Mama liat udah pergi duluan, tapi Mama belum liat Wilette."

Bramzie berdecak, "Mentang-mentang bungsu dan satu-satunya cewe di antara kita, jadi manja gitu. Didikan Papa sama Mama—"

"—ye, coba liat siapa yang ngomong sekarang? Bramzie. Iya, Bramzie, kakaknya Wilette yang selalu beliin makanan mahal kesukaan adeknya itu, kakaknya Wilette yang selalu belanjain merk-merk baju paling limited buat adeknya itu. Hm?"

Bramzie jadi refleks terkekeh, "Yah, emang aku, sih. Tapi, aku ngelakuin itu juga ngga sering-sering amat, kan? Lagian, aku gitu bukan cuman ke Wilette, ke Kaskal juga—"

"—oh, iya, soal Kaskal, jangan lupa anter dia transfusi darah minggu depan, ya?"

Bramzie mengangguk, "Tenang aja, Ma. Mana mungkin aku lupa?"

"Ya ampun," Jiza tiba-tiba memekik setelah matanya terperangkap di jam di dinding sana, sehingga dia buru-buru mendorong Bramzie agar sampai di ambang pintu rumah super mewahnya, yang bertingkat dengan halaman luas ini, "Sana, Bram. Nanti telat."

Segera setelah itu, Bramzie menuruti ibunya dan memilih untuk menyingkir dari sana. Memang, dia harus bergegas sebab kelas pertamanya adalah hukum pidana—dia tentu harus menyimak baik-baik mata kuliah ini kalau masih ingin menjadi pengacara berkualitas nanti.

"Dah, Ma!"

***

"Ini udah saatnya kalian papa kenalin sama keluarga papa. Yah, kalian juga harus pindah atau kembali ke rumah papa, kan? Emang ngga kangen sama Bramzie? Emang ngga kangen sama Shevin?"

Cegrav dan Jaidan mengerjap, heran. Tapi Hardam—ayah mereka, dengan setelan jas necis, dengan rambut klimis tertata rapi, dan dengan wibawa di atas rata-rata—hanya menyunggingkan senyum penuh arti. Sehingga kedua anak laki-lakinya, yang selama ini tinggal di apartemen mewah miliknya, jadi saling bertukar pandang sebelum memilih untuk menyeruput jus jeruk mereka.

"Kenapa? Kenapa kita harus ikut? Kenapa ngga biarin kita tetap jauh dari keluarga baru Papa itu?" Cegrav—si sulung—menyuarakan protesnya, "Kita kan udah nyaman, toh Papa juga ngga pernah peduli-peduli amat sama kita. Kenapa tiba-tiba nyuruh kita jalanin kehidupan baru bareng orang-orang asing itu?"

Hardam mengangguk sekilas, mata tajamnya sejenak mengawasi keramaian di restoran elit bernuansa klasik ini, yang ternyata tidak menyuguhkan suasana tenang seperti slogan mereka di pintu masuk tadi, "Yah, gimanapun, anak kandung papa itu pewaris sah perusahaan-perusahaan papa. Inget, kalo papa kalian ini bukan hanya seorang Komisaris, kan?"

"Kan bisa nanti aja, ngga harus sekarang."

Hardam menggeleng pada selaan Jaidan, "No, no. You've got it wrong, Baby. Kalian harus berada sedekat mungkin sama musuh kalo pengen menang, remember?"

"Emangnya bener-bener ngga bisa ditunda? Kita kan belum nyiapin apa-apa."

Hardam kembali menggeleng pada Jaidan, "Jangan khawatir, anak buah papa udah beresin semua barang-barang kalian dan ngatur keperluan kalian, jadi udah pasti, lusa kalian tinggal ikut mobil papa. Papa sendiri yang jemput kalian berdua."

Cegrav dan Jaidan—baru kali ini menemukan Hardam dalam mode penuh ambiguitasnya; yang patut dipertanyakan, yang musti diperdebatkan—karena meski hubungan mereka tak pernah sedekat hubungan ayah dan anak seperti selayaknya, mereka sudah hafal bagaimana tabiat Hardam biasanya tak pernah seperti ini; tidak pernah setamak ini, tidak pernah serakus ini—terlihat seperti itu sebab seringaian Hardam barusan tampak sangat nyata.

"Perusahaan-perusahaan papa bukan sepenuhnya milik papa. Jadi, misi kalian setelah ini adalah menjadikan perusahaan-perusahaan itu milik papa seutuhnya." Desisan Hardam malah semakin menghanyutkan Cegrav dan Jaidan, "Mulai sekarang, kalian adalah bagian dari keluarga Tanata yang sesungguhnya, bak mutiara hitam yang penuh pesona kesempurnaan. Jangan takut, karna ada papa di belakang kalian."

Mungkin, untuk saat ini, dua bersaudara beda dua tahun ini hanya perlu setuju.

***

"Morning."

Sapaan centil ini sudah Kaskal hafal, pasti milik Xinera, perempuan paling cerewet di kelasnya.

"I said, morning."

Kaskal masih berpura-pura menulikan pendengarannya dan memilih untuk tetap melesakkan buku-buku cetaknya ke dalam loker, sehingga Xinera jadi bersungut-sungut kesal sambil menyandarkan punggung di loker sebelah dan melipat tangan di depan dada.

"Jangan deket-deket," Kaskal bukan bermaksud untuk mengusir, tapi dia tahu seberapa kecil posisinya di sini, "Nanti kamu ketularan mimisan. Tadi pagi mimisan lagi aku, soalnya."

Seketika itu, Xinera tergelak, "Apaan, sih? Jangan buat alasan konyol, deh," Meski tatapannya pada mata bulat Kaskal terhalang pintu loker, Xinera hanya berusaha menyabarkan dirinya untuk saat ini, "Oh, bukan itu alesan sebenernya. Kamu bilang gitu karna aku tunangannya Bramzie, kan?"

Brak.

Saat Kaskal membanting pintu lokernya demi menemukan wajah terkejut Xinera, semua mata siswa lain di lorong ini pun teralih pada interaksi keduanya.

"Kak. Panggil dia pake embel-embel 'kak', karna Kak Bramzie lebih tua tiga tahun dari kamu."

Xinera tidak tahu harus merasa senang atau sedih—sedih mungkin karena bentakan Kaskal, tapi senang jelas karena akhirnya tatapan mereka bertumbuk.

"Okay. I'll call him 'Kak Bramzie'. Tapi, ada syaratnya."

Kaskal sudah bisa menebak setiap kali Xinera tersenyum miring begini pasti dia punya segudang kelicikan.

"Apa?"

"Mm, how 'bout two cups of tea in this evening? Kita ada tugas kelompok."

Kaskal spontan mendengus, "Sure."

"Really? Segampang ini?" Xinera agak-agak tidak percaya, tapi begitu Kaskal mengungkung dirinya dan wajahnya sekaligus dengan kedua lengan yang ditekan menuju loker tempat dia bersandar ini, dia tahu jantungnya sudah berdebar tak karuan, "You lied."

Kaskal refleks terbahak, "I would say, in your dream."

Setelah itu, Kaskal melenggang pergi dari hadapannya, membiarkan Xinera di sini mendapat penolakan kesekian kali dari laki-laki itu.