cover landing

Looking For A Lost Heart

By Tuti Eka Jayanti


“Saya talak kamu dengan talak tiga,” ucap Herman sinis. “Jangan pernah berharap apa pun dan kau tidak akan bisa kembali padaku.”

“Jangan, Mas!” teriak Fat.

Tiba-tiba Fat kembali tersadar dari mimpi buruk yang kesekian kalinya. Bunga tidur yang membawanya seperti ada di neraka. Keringatnya bercucuran, napasnya tersengal-sengal, bahkan tubuhnya terasa panas-dingin mengingat betapa mengerikannya mimpi itu jika benar-benar terjadi.

Wanita itu mencoba menenangkan diri. Menarik napas dalam-dalam dan mengelap keringat di wajahnya dengan kedua telapak tangan. Fat menyakinkan diri kalau semuanya baik-baik saja.

Tidak. Aku harus tetap komitmen dengan keputusanku, batin Fat sambil kembali mengelap keringatnya. Fat tertidur di depan televisi saat menunggu kedatangan Herman.

Perempuan berambut lurus itu bangkit dan kembali menatap jam hias kayu jati di sudut ruangan. Mata hitamnya yang kecil membulat sempurna karena mendapati waktu bergerak begitu lamban. Bahkan nyaris tidak bergeser dari angka semula. Fatmawati berjalan menuju jendela dengan kesal. Membuka tirai tipis berwarna putih yang menghalangi pandangan ke luar rumah. Tidak ada siapa pun di sana.

Fat mendengus kesal. Menunggu membuatnya menjadi dongkol sendiri, seperti orang yang bertanya alamat pada orang yang tidak waras, tetapi tidak menemukan jawaban. Hanya berputar-putar di tempat yang sama, berjam-jam. Sangat membosankan.

Fat duduk di tempat semula. Mengambil remote televisi yang tergeletak di atas meja kaca dan menekannya sembarangan. Berharap ada acara TV yang bisa mengalihkan pikirannya. Namun, perasaannya tetap kalut. Bertanya-tanya kenapa suaminya belum juga kembali.

Tidak. Fatmawati tidak sedang menunggu suaminya pulang bekerja seperti layaknya seorang istri. Dia sudah lama meninggalkan tradisi itu. Aktivitas yang malah membuatnya terluka.

Dahulu, Fat selalu mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan suaminya. Namun, tatapan dingin tanpa respons dari Herman membuat Fat lelah tersenyum. Fat merasa percuma berdandan, berpakaian rapi dan wangi. Jadi, dia memilih menyibukkan diri dengan banyak hal saat suaminya pulang kerja. Dengan begitu, Fat tidak perlu menelan rasa kecewa karena tidak dihargai.

Awalnya, Fat pernah bertanya-tanya, apakah setiap suami menyambut istrinya seperti Herman memperlakukannya? Namun, Fat tidak tahu ke mana harus mencari jawaban. Dia tidak mungkin bertanya pada ibunya. Ayahnya telah lama meninggal dunia. Bahkan dia sudah tidak ingat lagi, apakah ibunya pernah menyambut ayahnya sepulang kerja.

Pada ibu-ibu kompleks? Fat ragu. Mereka sering kali tidak konsisten dalam berbicara. Saat sedang kesal pada suami, mereka akan mencela suami-suami mereka. Mengumbar kejelekan atau kelemahan pasangan mereka. Namun, saat sedang pamer kemesraan, mereka akan berlomba-lomba berbohong mengenai kelebihan suami mereka.

Jadi, Fat memutuskan sendiri. Sejak saat itu, Fat tidak mau lagi menyambut kedatangan suaminya. Fat akan menyibukkan diri dengan banyak kegiatan setelah salat Asar.

Berbeda dengan hari ini, Fat sengaja menunggu suaminya demi sebuah tujuan. Bahkan dia terlihat tidak sabar untuk mengutarakan semuanya.

Suara mobil Honda Jazz menderu masuk ke pekarangan rumah. Halaman yang dipenuhi rumput hijau gajah dan tanaman bunga. Taman minimalis yang dilengkapi kolam ikan koi yang masih kecil ini sungguh indah memanjakan mata. Taman yang menjadi impian Fat saat awal-awal menikah, tetapi tidak dengan hari ini. Fat merasa tidak lagi memerlukan segala materi itu. Dia hanya ingin Herman kembali menjadi sosok yang perhatian dan penuh cinta.

Fat berjalan secepat mungkin ke ruang kerja suaminya yang terletak di sudut ruang tamu. Di sini—di ruangan mungil yang disulap menjadi ruang kerja agar tidak diganggu anak-anak mereka saat masih balita, Fat berharap bisa berbicara dari hati ke hati dengan Herman.

Fat duduk di sofa panjang berwarna merah sambil meremas-remas lembut bulu halus  yang didudukinya. Mengingat masa-masa indah itu. Saat mereka ingin menyalurkan hasrat mereka secara sembunyi-sembunyi. Tidak dipergoki anak-anak yang masih kecil, Fat dan Herman akan memilih sofa panjang ini sebagai tempat memadu kasih.

Langkah sepatu menyadarkan istri sederhana itu dari lamunannya. Dia mencoba untuk terlihat tenang dengan merapikan penampilannya. Meskipun baju kemeja lengan setengah dan rok di bawah lutut itu tetap terlihat tidak berubah. Kaku dan pudar.

Suara gagang pintu digerakkan terdengar jelas di telinga Fat. Dia kembali mencoba menenangkan diri dengan menarik napas perlahan. Fat tahu yang membuka pintu pasti suaminya. Dia sudah hafal betul kebiasaan suaminya sepulang kerja. Laki-laki bertubuh tinggi itu akan langsung ke ruang kerja beberapa menit, baru kemudian masuk ke dalam kamar untuk ganti baju atau mandi.

Pintu terbuka. Laki-laki berpakaian seragam berwarna cokelat itu tampak terkejut mendapati Fat di ruang kerjanya. Namun, dalam sekejap kening yang berkerut itu berubah normal. Laki-laki berambut tipis itu langsung duduk di kursi empuk yang bisa digerakkan sesuai keinginan. Tas tangan tipis yang dibawanya diletakkan sembarangan di atas meja. Herman menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata.

Fat mengamati suaminya. Memperhatikan wajah yang tidak pernah tersenyum di hadapannya dan anak-anak, mata yang sering mengintimidasi saat bicara, serta bibir tebal yang selalu mengeluarkan kata-kata pedas. Mengingat hal ini, Fat merasa jengkel.

“Mas,” ucapnya tegas. Matanya yang teduh sudah disiapkan untuk menghadapi ketajaman mata suaminya.

Laki-laki di hadapannya membuka mata. Keduanya saling beradu pandang beberapa saat, mencoba mengisi kekosongan yang sama-sama dirasakan. Namun, hasilnya tetap hampa. Seperti dua buah magnet yang telah hilang fungsinya sehingga tidak bisa lagi tarik-menarik.

“Aku ingin pisah.” Fat mengucapkannya dengan bibir bergetar. Dia heran kenapa tiba-tiba gugup. Padahal Fat sudah menyiapkan diri selama berminggu-minggu. Bahkan beberapa hari terakhir ini, dia selalu berlatih di depan cermin. Saat itu, dia begitu fasih melafalkan setiap kata.

Herman tidak merespons. Herman hanya mengamati wajah istrinya yang terlihat ingin menangis. Beberapa saat. Hingga dia memutuskan mengambil gadget dan tenggelam di dalamnya.

Merasa terabaikan, Fat bertanya-tanya, adakah orang lain di dalam gadget suaminya yang lebih penting? Adakah wanita lain yang membuat laki-laki di hadapannya berubah? Fat kesal sendiri dengan pikiran buruk yang menghinggapinya. Wajahnya berubah geram. Ingin sekali dia berteriak di telinga suaminya agar ucapannya bisa didengar.

“Mas, dengarkan aku,” ucap Fat dengan suara bergetar, mencoba untuk tetap tegar. Kesabarannya telah hilang. Air matanya sudah dikeringkan dengan ujung kemeja yang dikenakannya. “Aku ingin kita berpisah!” ucapnya sekali lagi dengan intonasi yang lebih tinggi. Membuat Herman menoleh dan menghentikan aktivitasnya.

Herman memelototi istrinya. Fatmawati tidak mau kalah. Kali ini dia menguatkan diri menghadapi tatapan mata hitam itu. Sampai-sampai tangan Fat terasa sakit karena mencengkeram pinggiran kursi terlalu keras untuk mencari kekuatan.

Sebagai seorang istri, Fat sering kali bertanya-tanya, mengapa Herman tidak peka terhadap dirinya? Menganggap ucapannya hanya sesuatu yang tidak berharga. Tidakkah Herman sadar dengan ombak besar yang sedang menghantam biduk rumah tangga mereka? Sekali lagi, pikiran buruk mengenai orang ketiga masuk ke dalam benak Fat.

“Kamu gila,” ucap Herman singkat. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Dia berdiri dengan mata menatap lurus ke kaca jendela depan rumah. Memandang jauh ke depan.

Fat ikut berdiri. Menatap lurus ke arah suaminya.

“Aku memang gila, Mas. Tapi semua ini karena pernikahan ini.” Air mata perempuan bermata kecil itu kembali tumpah. “Kita menikah sudah hampir 21 tahun, tapi aku tidak menemukan kebahagiaan selama itu.”

Herman bergumam tidak jelas. Berjalan meninggalkan kursi kerjanya. Berdiri di belakang istrinya beberapa saat. Kemudian, dia kembali ke meja kerjanya. Duduk dan memegangi gadget-nya, kemudian pergi. Menyisakan kekesalan yang dalam di hati Fat.

Melihat kepergian suaminya, Fat merasa putus asa. Dia hanya bisa melampiaskan kekesalannya dengan mengempaskan bokongnya keras ke atas kursi. Dia kembali bergelut dengan pikirannya sendiri.

Sifat kekanak-kanakan ini yang membuat Fat benci pada Herman. Di umur Herman yang ke-45, dia tetap tidak bisa dewasa. Selalu pergi saat sedang bicara dan tidak mau menyelesaikan persoalan yang ada. Akhirnya, Fatmawati menanggung semuanya sendiri. Memendamnya dalam tangis di saat sepi.

Tidak bisakah Herman bersikap dewasa? Jika memang ada perempuan lain di luar sana, kenapa dia tidak katakan secara jujur pada Fat? Mengembalikan Fat pada orang tuanya secara baik-baik. Bukan membuat rumah tangga mereka menjadi seperti kuburan.

Fat kembali mengingat betapa manjanya Herman. Dahulu, saat mereka baru saja menikah, Herman bersikeras mau tetap tinggal di rumah orang tuanya dengan dalih dialah pewaris tunggal rumah tua itu. Namun, Fat tahu, itu bukan alasan yang utama.

Herman ingin menetap di rumah mamanya agar saat bertengkar, Herman akan dibela dan menjadi pemenang. Untunglah Fat berhasil menggunakan jurus jitu merajuknya. Fat tinggal di dalam kamar tanpa mau keluar walaupun hanya untuk makan.

Namun, itu dahulu. Sebelum Herman berubah menjadi manusia Kutub Utara yang selalu beku dan dingin. Sekarang, semuanya sudah berubah. Merajuk hanya membuat Fat tambah kecewa.

Mengingat kehidupan bersama Herman, membuat Fat semakin merasa tersiksa. Fat berdiri, mencoba mencari ketenangan. Namun, yang terjadi sebaliknya. Fat merasa darahnya mendidih. Emosinya memuncak. Dia merasa benci pada semua benda yang ada di hadapannya. Lampu duduk yang biasa digunakan suaminya bekerja, tumpukan map dan kertas-kertas, serta sebuah foto keluarga. Dia memorak-porandakan benda-benda di atas meja dengan kedua tangan. Berharap suaminya mendengar lalu berbalik memeluknya. Bertanya apa yang terjadi dan memberikan ketenangan seperti yang selama ini Fat cari.

Namun, hingga Fat merasa lelah, Herman tidak kunjung muncul. Fat terduduk di karpet loop pile berwarna cokelat dengan lemas. Menangisi nasibnya yang terasa begitu malang.

“Kenapa kau siksa aku seperti ini, Mas? Jika memang kau sudah tidak menyukaiku dan mempunyai wanita lain, maka lepaskan aku. Tapi, jika kau masih menyayangiku, perlakukan aku dengan baik. Cintai dan sayangi aku. Dengarkan setiap keluhanku,” rintihnya.

Namun, sayangnya ucapan Fat tidak didengar. Herman sudah berlalu ke lantai atas dan mandi untuk menghilangkan penat setelah bekerja seharian dan mendengar ucapan istrinya yang tidak masuk akal.

Fat terus menangis. Hingga tubuhnya benar-benar terbaring lemas di lantai. Karena lelah, dia terlelap dan kembali dalam mimpi yang begitu menakutkan.