cover landing

Living in The Blue

By nocholatte


Pasang mata Jou kontan membola begitu membaca satu pesan baru di ponsel. Peralatan tulis berantakan di meja, segera dibenahinya. Memasukkannya ke dalam tempat pensil, lalu merogoh ke laci yang dipenuhi buku pelajaran. Lantas Jou memasukkannya ke dalam tas.

Reymeer datang sambil menyeruput es teh melalui sedotan plastik, hendak mengajak Jou pulang bersama. “A—” Sayangnya gadis itu tak memberi kesempatan untuk melanjutkan kata yang hanya kurang dua huruf lanjutan.

Jou melewatinya begitu saja, bahkan lambaian tangan baru dilayangkan saat Jou sampai di ambang pintu. “Gue duluan! Ada misi penting!” serunya yang tidak banyak siswa lain menjatuhkan pandangan ke sumber suara.

“Misi apaan sih?” Reymeer mengernyit, memandangi kepergian Jou yang sukses membingungkannya. Tak lama kedua sudut bibirnya terangkat, Reymeer tersenyum senang karena siang itu ia bisa pulang bebas. Tidak ada Jou yang duduk di jok belakang motornya, yang jelas tidak ada omelan yang memekakan telinga.

Bermodalkan tubuh ringan, meski tingginya tak seberapa, Jou berhasil sampai di book rental dalam waktu sepuluh menit. Napasnya terengah-engah akibat berlari bak dikejar preman. Tangannya mendorong pintu, lalu masuk hingga membuat lonceng bergerak dan menimbulkan bunyi nyaring.

“Eh, buset. Nggak ada setengah jam udah sampai aja kamu, Neng.” Kendra salah satu penjaga yang kebagian jadwal saat itu menyapa dengan raut terkejut.

“Mana bukunya, Bang?” Mata Jou mengedar, seperti tidak sabar mendapati benda yang ia inginkan. “Belum ada orang yang datang cari novel itu, kan?”

“Cek sendiri aja di tempat biasa,” jawab Kendra seraya mengangkat ibu jari dan mengarahkannya melewati bahu.

Masih dengan napas yang tidak beraturan, Jou meluncur ke rak paling ujung. Siang itu masih sepi pengunjung, tidak seramai jika Jou datang di akhir pekan atau malam hari. Namun, seramai-ramainya book rental, tidak bisa disamakan seperti pasar atau mal besar. Zaman sekarang, hanya segelintir orang yang menyukai bacaan. Kebanyakan lebih menyukai ponsel untuk bermain mobile game.

Begitu sampai di tempat yang ia tuju, pandangannya jatuh pada baris paling atas. Jou menghela napas, rasanya ingin merebahkan diri di lantai tanpa alas itu. Sedikit kesal lantaran Kendra menempatkan buku yang Jou cari di lokasi yang sulit digapai.

Irisnya kembali mencari, kali ini bukan novel, melainkan kursi yang biasa digunakannya untuk mempermudah mengambil buku. Kursi penolong itu berada di tempat sama, membuat Jou tidak perlu membuang waktu untuk mencari.

Jou mempercepat langkah begitu ia menangkap sosok orang yang baru meraih buku incarannya. “Woi, itu gue duluan yang booking!” serunya tak terima.

“Oh, ya? Memang sejak kapan di tempat ini bisa asal pesan buku?” Pemuda yang mengenakan hoodie biru tua dan setelan celana khas SMA memandang bingung Jou. “Bukannya langsung cari dan pinjam?” Kaleel memiringkan kepala.

“Gue udah tandain itu novel tadi,” sahut Jou tidak mau tahu. Dalam pikirannya hanya satu yang tebersit jelas, ia menginginkan buku yang berada digenggaman pemuda jangkung itu.

“Tanda apaan?” Kaleel mengernyit, semakin tidak mengerti. “Pas gue ke sini, nggak ada siapa-siapa. Dan gue udah ambil novel ini duluan, jadi ….”

“Jadi apa?” tanya Jou, nadanya terkesan menantang. “Gue duluan yang sampai ke sini, terus ambil kursi di pojok sana.” Ia meyakinkan.

“Kursi buat apa, di sini banyak tempat duduk.” Mata Kaleel bergerak, memandang sekeliling dan menunjuk beberapa tempat yang tersedia.

 “Raknya ketinggian.” Jou mendengkus, sesungguhnya ia benci harus mengatakan kebenaran soal dirinya sendiri. “Gue nggak sampai.”

“Oh, pendek.”

“Lo ngatain gue?” Jou terperangah, merasa kesal dan tidak menyangka kata menyebalkan itu terlontar dari pemuda asing yang baru ditemuinya. “Body shamming tahu!”

Merasa kekesalannya sudah di ambang batas, Jou lantas memanggil penjaga. “Bang Ken, sini deh. Abang harus jadi saksi,” serunya seraya menunjuk Kaleel yang tampak terkejut. “Abang lihat sendiri, kan, kalau aku sampai di sini lebih dulu daripada dia?”

Kendra menggaruk tengkuknya, lalu memandang dua anak SMA secara bergantian. “Iya, kamu sampai duluan, Jou.”

“Tuhkan! Sini novelnya, gue udah penasaran banget sama cerita itu.” Tangan Jou sudah menggapai-gapai buku yang dipegang Kaleel. Namun, pemuda itu masih saja bergeming, urung menyerahkannya lantaran bingung dengan keanehan yang tengah dialaminya.

Kendra memandang bocah laki-laki itu dan melayangkan kode untuk mengalah. Ya, sebaiknya memang begitu, daripada berurusan dengan Jou dan masalah bertambah ruwet. Di lain sisi, Kendra juga harus menjaga keharmonisan serta kenyamanan pengunjung. Mengingat Jou adalah pelanggan setia yang sudah mengabdi untuk meminjam hampir semua buku di book rental tempat Kendra mengais rupiah.

 “Lagian lo cowok masa baca novel roman, mana CoHo lagi.” Akhirnya Kaleel menyerahkannya. Membuat kedua sisi bibir Jou terangkat. “Kalau hadiah buat pacar sih mending beli baru, masa rental, ck.”

“Memang ada aturan cowok dilarang baca buku roman?” Mendengarnya, Kaleel merasa geram. Bukannya berterima kasih, gadis itu justru melontarkan kata-kata remeh. “Pasal berapa kalau boleh tahu?” tambahnya.

Jou mengerjap dua kali, candaan yang diselipi sarkas itu berakhir dengan pembalasan pelik dan terkesan serius dari yang ia duga. Lantas ia menggeleng pelan.

“Dua hari,” ujar Kaleel tiba-tiba. “Gue kasih waktu dua hari buat lo selesaikan novel itu.”

“Satu hari.” Tampaknya Jou tidak mau kalah.

“Yakin?”

Jou berdecih. “Yakinlah.”

 “Lo pasti gabut, sampai bisa selesai satu hari.” Kaleel terkekeh pelan.

“Yang jelas, waktu luang gue banyak. Kenapa lo … iri?”

Sorot mata Jou cukup tajam, menghujam Kaleel hingga pemuda itu menghela napas panjang. Siang yang terik dengan panas luar cukup menyengat, menambah emosi manusia lebih mudah terpancing dan bertambah tanpa bisa mereka terka. Sama halnya dengan Kaleel yang ingin membungkam mulut gadis di hadapannya dengan setumpuk komik.

Akhirnya Kendra berhasil menghentikan perdebatan di antara dua anak SMA di hadapannya dengan meminta Jou mengurus proses peminjaman. Gadis itu seketika menurut dan meninggalkan Kaleel. Pasang matanya menjejaki seluruh fitur wajah Jou. Seperti menelurusi yang terlihat di sana. Menggelikan, pikir Jou saat mendapati Kaleel menatapnya lekat.

Tak berselang lama usai Jou pergi meninggalkan book rental, Kaleel menemukan sebuah buku. Setidaknya mengganti novel yang dibawa Jou untuk menjadi bacaannya beberapa hari ke depan. Kaki jenjangnya tiba di meja Kendra guna melakukan proses peminjaman. Laki-laki usia 20 tahunan itu melayaninya dengan ramah. Bahkan meminta maaf atas kejadian kurang mengenakan tadi.

“Dilihat-lihat, bukannya kalian satu sekolah ya?”

Kaleel mengangkat satu alis. Mengingat-ingat gadis menyebalkan itu lagi. Lantas mengangkat bahu karena tak yakin. “Kayaknya iya, Bang.”

“Dia kelas X kalau nggak salah, tapi … kok nggak ngenalin ketua OSIS-nya sendiri.” Kendra menelengkan kepala, menggeleng heran kemudian.

Joukara Amizah. Sepintas Kaleel membaca nama yang bertengger di baju seragam gadis yang menyebalkan tadi. Kalau tidak salah dengar, si penjaga toko pun memanggil dengan sebutan ‘Jou’. Ditambah seragam yang dikenakan tidak asing, sebab Kaleel juga mengenakan seragam yang sama. Lucu, tapi kelewat aneh karena gadis bernama Jou tersebut sama sekali tidak mengenalinya. Bahkan semut di SMA Pramubakti tahu siapa Kaleel Adyaksa.

***

Jou bisa bernapas lega saat buku yang diidam-idamkannya berhasil ia dapatkan. Langkahnya menuju rumah yang berjarak lumayan jauh pun seperti bukan rintangan baginya. Meski setiap hari, Jou mengeluhkannya. Ditambah sinar matahari yang menusuk kulit diabaikannya, seolah ia tak merasakan apa pun selain angin semilir yang menyebabkan helaian rambutnya beterbangan.

Sayang sekali, kebahagiaan itu tak membuat Jou benar-benar berjalan kaki hingga sampai ke rumah. Gadis itu memilih duduk di halte sembari menunggu kedatangan bus. Sedikit menyesal tidak mengajak Reymeer untuk menemaninya, mengakibatkannya sedikit terlambat sampai di rumah.

Tidak seperti hari biasa yang dilewati Jou, siang itu maminya terlihat duduk di ruang tengah. Menyapanya sesaat, lalu Jou segera melangkah menuju anak tangga. Tidak ada pertanyaan atau sambutan baik yang biasa dilakukan seorang ibu pada anaknya. Namun, Jou tidak mempermasalahkannya, toh itu bukan hal baru untuknya.

Tangannya mendorong pintu, meletakkan tas di lantai, kemudian bergerak ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Langkahnya seketika terhenti begitu tatapannya jatuh pada meja belajarnya yang berantakan. Tumpukan kertas HVS yang dipenuhi coretan tangan Jou acak-acakan di sana. Jou mendengkus. Saat itu juga ia tahu siapa yang berulah. Lantas ia merapikan lembaran kertas itu, sebelum menyambar ponsel dan menelepon Reymeer.

Pemuda itu sempat mengatakan ingin meminjam peralatan menggambar, sedang Jou mempersilakannya untuk mengambil di kamar. Sebab, saat Reymeer mengiriminya pesan, ia masih berada di toko rental buku. Daripada ribet, Jou memberi kemudahan agar Reymeer mengambilnya sendiri. Kendati demikian, Jou sama sekali tidak memberi izin Reymeer untuk mengacak mejanya.

“Apa-apaan nih kok meja gue lo berantakin?” Jou menyapa dengan suara cukup melengking, padahal ia bisa berbicara langsung dengan Reymeer. “Manuskrip gue jauh lebih berharga ya daripada hubungan kita,” tambahnya kesal.

Astaga, drama banget ibu negara satu ini.” Kekehan terdengar dari seberang. “Lagian aneh banget lo, namanya karya itu dipublikasikan biar dibaca banyak orang. Bukan disimpan terus dimakan rayap.

Ucapan Reymeer memang ada benarnya, tapi Jou belum merasa tulisannya cukup baik dan dipajang agar dilihat banyak orang. Lagi pula, Jou melakukannya sekadar hobi, tidak benar-benar ingin merealisasikan hal itu sebagai minat atau bakatnya nanti.

“Rayap nggak akan doyan, apalagi mata manusia yang mau baca.”

Kebiasaan insekyur sih lo, Jou,” ujar Reymeer cukup telak dan tepat sasaran. “Tapi, tenang. Siapa tahu nasib manuskrip lo bisa berubah dalam waktu semalam.

Jou mengernyit. Merasa aneh mendengar ucapan Reymeer yang mendadak terkesan ngaco. Buru-buru ia mematikan panggilan telepon secara sepihak.

Sementara di seberang, Reymeer tak mengalihkan pandangan dari beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan Jou. Senyum merekah terbit di bibirnya, begitu mendapat pesan balasan dari anak OSIS SMA Pramubakti.

Yuka Milena:

[Tulisannya mantap banget, gue suka. Besok langsung aja taruh di kotak karya depan ruang OSIS. Langsung dapat acc dari Bapak Kaleel tercinta soalnya, thx Rey.]