cover landing

Little Pa

By Qomichi


Tangannya gemetar hebat saat memutar kunci pada gagang pintu berkarat itu. Hidungnya mampet, matanya merah berair, dan dahinya berkeringat dingin. Bibir mungilnya tertekuk ke bawah seraya menahan rasa gugup yang menggerogoti.

Ketika berhasil membukanya, laki-laki itu mengusap wajah dan menyisir rambut, kemudian mendobrak pintu dengan lemas. Ia menarik koper besarnya dan membanting pintu rumah kecil itu. Setelah pintu tertutup rapat seakan menutup cahaya malam yang remang, Miku langsung melempar koper dengan tenaga lemahnya.

“Sial!” umpatnya kemudian menendang kopernya. Bukannya merasa lega, ia justru merasakan sengatan kala jari jempolnya tertekuk berlebihan pada sudut koper yang keras. “Aduh-duh-duh!” Ia melompat-lompat dan memegangi kaki kanannya kesakitan.

“Sialan lu!” Tangisannya pecah, membuat Miku berjongkok seketika di tengah gelapnya ruangan.

Napasnya tersendat dan ia sesenggukan hingga tenggorokannya serak. “Koper jahat,” lirihnya seraya memukul pelan koper itu. Kedua tangannya meremas cuping telinga dan tangisnya semakin menjadi. Kemudian ia menarik ujung kaos oblongnya dan menyeka hidung yang berair.

Tidak lama, dering ponsel membuyarkan duka citanya. Laki-laki itu langsung menyeka air mata dan menarik napas beberapa kali meski terasa sulit. “Ha-halo, kenapa, Dekmas?”

“Miku, lo tadi kenapa? Kok ada ribut-ribut depan rumah?”

Miku langsung mengepalkan tangan dan menahan isak agar tidak terdengar jelas. “Kok lo tahu? Bukannya lo ada shift malem ya?”

“Iya, waktu mau berangkat.” Terdengar bunyi dentingan niearbeken, gunting, dan alat-alat medis dari seberang sana. “Gue ada shift malem jadinya gak bisa nyusulin lo. Lo kenapa? Tadi kok Tante marah-marah gitu dah? Pake lempar-lempar koper segala lagi, lo diusir?”

Tepat sasaran dan langsung memanah tepat pada jantung Miku. “Ng-nggak kok, g-gue kan baru diterima jadi admin HR di Sunny, jadinya pindah ngontrak ke tempat yang lebih deket.” Sialnya bunyi tarikan napas dari hidung yang mampet terdengar jelas di telinga perawat muda itu. Alhasil muncullah decakan jengah dari seberang sana.

“Lo pikir jarak dari rumah ke Sunny kayak dari Lahat ke Palembang? Tempat tinggal kita ini masih di kawasan Palembang, Bambang,” sanggahnya membuat Miku mengatupkan mulut, skak-mat di tempat. “Buruan, ngomong jujur sebenernya kenapa tadi Magrib ada ribut-ribut? Tetangga bilang lo mau kawin lari sama cowok, istighfar woi!”

Miku menghela napas panjang dan memutuskan sambungannya begitu saja secara sepihak. Dekmas justru mencecar dan membuatnya merasa semakin buruk akan tudingan nggak bermoral itu. Yang benar saja, mentang-mentang tingkah Miku layaknya Cassandra—perempuan kebanggaan kompleks yang kemayu dan genit—bukan berarti dirinya laki-laki yang seperti itu.

Sejak kelulusannya bulan lalu, orang-orang mulai curiga jika Miku tidak akan menikahi perempuan. Hal ini diperparah dengan pesta penyambutan karyawan baru dua hari lalu yang justru memperkuat kecurigaan orang-orang.

Sekarang dia malah meringkuk di rumah kosong berdebu ini dengan sesal dan mata yang mulai bengkak.

Tidak lama, Miku bangkit dan mulai membuang kesedihannya. Hal yang perlu ia lakukan hanyalah mengembalikan semua keadaan menjadi baik-baik saja dan dimulai dari pembuktian akan cinta pertamanya. Mengetahui jika orang yang ia cintai adalah perempuan pasti membuat penghuni kompleks menggelar acara syukuran.

“Tenang-tenang.” Miku menatap ke atas dan mengangguk pelan seraya mengelus dada. Ia membuka laptopnya dan masuk ke akun e-mail. Untuk beberapa saat ia menggerutu karena sinyal hotspot ponselnya saat ini lambat. Setelah waktu yang cukup lama, ia kemudian mengetikkan sesuatu pada e-mail untuk gadis itu.

Gadis yang menjadi satu-satunya dalam hidupnya.

Kepada Yolanda …

Miku berdesis dan menekan tombol hapus berkali-kali. Ia kemudian merenung sejenak memikirkan kata yang tepat.

Salam Hormat?

“Oh.” Menemui pencerahan, Miku langsung mengetik cepat.  

Dear Yolanda,

Tiga tahun setengah sejak kenangan lo ada di Remember When. Kita menuliskan nama masing-masing di kulit novelnya dan lo tetap menggantung jawaban lo sampai saat ini. Lo menjanjikan jawaban dan yah … gue gak mau lo terburu-buru. Namun, kalau lo udah nggak terburu-buru lagi, gue butuh banget jawaban lo.

Gue udah kerja kok, sebulan lalu ikut job fair dan sekarang jadi admin HR. Gue bisa serius kalau lo mau. Kalau mau main-main dulu juga boleh hehehe….

Lo inget kan, waktu lo suka sama Juan dan gue coba bantu lo buat ngedeketin dia meski itu percuma? Dan … waktu lo ditolak mentah-mentah, gue gak tahu kenapa tiba-tiba berani ngebelain lo dan teriak di depan semua orang. Gue ngerasa kalau memang gue bisa kasih lebih untuk ngelindungi lo.

“Gue pasti mabuk.” Miku menggeleng, kemudian menghapusnya tanpa pikir panjang. Setelahnya ia menutup laptop dan menghela napas sesak. Matanya menerawang kosong pada dinding gelap rumah ini dan memikirkan tindakan konyol yang baru saja hampir ia lakukan hanya demi pembuktian dari tudingan keluarga.

Laki-laki itu kini membuka ponsel, tapi bodohnya ia kembali membuka laman e-mail, sampai suara sayup tangisan bayi menghentikan ketikan jarinya. Miku membeku di tempat dan langsung menyalakan senter ponsel. Keringat dingin kembali bercucuran dan detak jantungnya berlompatan.

“Sial amat, baru aja diusir udah diganggu kunti.” Dengan tubuh yang gemetar, ia membereskan barang-barang dan menarik kopernya keluar, menyesal menerima bantuan dari kakaknya untuk mendatangi persinggahan sementara ini.

Suara bayi itu semakin terdengar jelas dan bulu kuduk Miku tegak merinding dibuatnya. Sampai kemudian ia membuka pintu dan mendapati bayi asli ada di sana.

“Astajim!” Miku terlompat dan menjerit histeris. Ia menutup wajah dengan tangan dan mengintip sekilas sosok bayi yang ada di hadapannya.

Astaghfirullah, gak lihat-gak lihat!” Laki-laki itu menarik koper, sementara tangan satunya menutup erat kedua matanya. Perlahan tapi pasti, ia berjalan melalui si bayi. Namun, kesialan baru terjadi ketika ujung kopernya menabrak keranjang bayi hingga rengekan anak itu meledak-ledak.

Serba salah, Miku akhirnya membuka mata dan mencoba menenangkan bayi itu. “Cup-cup-cup! Jangan nangis, bentar lagi Mama kamu dateng kok.” Miku mulai khawatir melihat botol susu dengan secarik kertas di sela tubuh si bayi.

Oke, dia bahkan belum genap dua puluh satu tahun dan nggak mungkin baginya langsung dihujani tanggung jawab. Miku seakan lupa jika sebelumnya ia hendak mengajak Yolanda membangun hubungan yang serius.

Aenhnya, setelah memutuskan untuk minggat, Miku tetap menarik secarik kertas yang pasti akan membunuhnya sendiri.

‘Tolong jaga bayi ini baik-baik, saya tahu kamu orang baik. Saya percayain anak saya sama kamu. Maaf, tapi bapaknya gak mau bertanggung jawab dan saya gak siap jadi orang tua. I’m a bad mother.’

“Lo pikir gue siap?” Miku meremuk kertasnya dan melemparnya begitu saja hingga mengenai dada si bayi. Seketika si bayi kembali ngamuk dan hampir menarik perhatian tetangga yang bahkan belum Miku kenal.

“Lemparan gitu doang, nangisnya sealay itu.” Miku mengambil kembali kertasnya. Tepat saat itu juga ia menyadari jika di balik kain tipis si bayi, ada bercak biru di dada yang terlihat sudah lama.

“Tanda lahir?” Saat memastikan jika itu bukan tanda lahir, Miku berdiri dan menarik kopernya pergi dengan tergesa-gesa.

Apa-apaan orang tuanya? Setelah melakukan kekerasan pada bayi, mereka langsung membuangnya begitu saja. Makanya, jangan ngeseks sebelum nikah kalo gak mau kena baby blues.

Baru saja Miku hendak membuka pagar kayu rumah itu, tangisan bayi yang tiada henti seakan memanggilnya. Miku menggenggam erat ujung pagar dan menghela napas panjang. Langkahnya terhenti dan ia berbalik. Meski memantapkan diri untuk pergi saat itu juga, Miku justru meragukan pikirannya sendiri dan berjalan kembali.

Hari ini dia tidak dibuang sendirian. Hari ini Tuhan membuangnya dengan sosok tidak bersalah lainnya. Alhasil, dengan sikap kontradiktif yang lebih intuitif, Miku menenteng keranjang itu tanpa sadar.

“Cuma dibawa ke rumah sakit. Cuma dibawa ke rumah sakit,” ucapnya meyakinkan diri sendiri.  

***

 Dekmas membelalakan mata menatap hadiah parsel yang Miku bawa ke rumah sakit tempatnya bekerja. Hebatnya, parsel itu menangis tiada henti.

“Dia menangis kesakitan,” kata Dekmas yang sekali lagi tepat sasaran. Setelahnya, gadis itu langsung menghunuskan tatapan tajamnya pada laki-laki yang hampir sepantaran dengannya. “Oh …” Gadis itu mengangguk pelan membuat Miku menelan ludah. “Jadi lo diusir gara-gara punya anak di luar nikah?”

“Lha?” Miku tersentak kala mendapat tudingan baru di hari beratnya.

“Anak siapa sih yang lo hamilin? Emang cowok bisa hamil ya?”

Miku menimpuk kepala Dekmas hingga hijabnya miring dan berantakan. Selagi perempuan itu mengaduh, Miku lmengomelinya. “Lo tolol banget sih sampe kemakan omongan tetangga. Lupa sama Yolanda apa? Lagian mana ada gue punya anak dari cowok.”

“Ini anak Yolanda?” Gadis itu membeliak.

“Bukan, somplak! Ini nemu.”

“Nemu? Lo pikir nih bayi gopek?”

“Seriusan.” Miku memutar bola mata dan berdecak. “Nih, dia nulis kayak gue ini orang baik, minta gue rawat nih bocah, dan segala macem naskah FTV ada di kertas itu.”

Dekmas menerima kertas itu seraya membacanya dengan raut wajah kecut dan melongo. Setelahnya perempuan itu mengeluarkan kata-kata heran akan teganya orang tua si bayi yang membuangnya.

“Ember, mana ngebuangnya ke orang kayak gue lagi, gak ngotak tuh makhluk.” Miku bersedekap dan memalingkan wajah, enggan menatap bayi yang mulai reda dari tangisannya. Hidupnya sedang amburadul dan ia berharap ini bukan bagian dari gempa buminya hari ini.

“Obatin dia gih, ini nih gak tega gue.” Tanpa menatap bayinya, Miku menyibakan kain yang menutupi dada si bayi hingga terlihat jelas memar besar nan biru di sana.

Dekmas kaget bukan kepalang dan langsung membawa bayinya ke ruang rawat intensif. Selagi Dekmas disibukan dengan tugas-tugasnya, Miku curi-curi kesempatan menarik kopernya secara diam-diam dan hengkang dari tempat itu. Akan tetapi, hal konyol itu gagal karena Dekmas sigap menahan tangannya.

“Urusan kita belum selesai, Fellas.” Entah dari mana gadis itu bisa kembali lagi. “Untuk urusan diusir, bakal gue tanya lain waktu, tapi untuk bayi, gue minta pertanggung jawaban.”

“Pertanggung jawaban apa? Emang lo cewek yang gue hamilin? Dah ah.” Miku kembali melangkah. Hanya saja, cengkeraman tangan sahabat sekaligus tetangganya itu terasa semakin mengencang, membuat laki-laki itu harus kembali bersabar.

“Dia gak punya wali dan lo yang ngebawa dia ke sini.”

Miku mengernyit heran. “Terserah rumah sakit deh, jadiin dia proyek uji obat atau mau kirim ke panti, bebas.” Miku menyerahkannya begitu saja, enggan menambah beban nyata yang ia hadapi dalam satu hari. Namun, Dekmas tidak ingin laki-laki itu menyerahkan bebannya begitu saja.

“Lo pikir nih rumah sakit punya bapak lo? Lo yang bakal ngebawa dia ke panti, tapi tunggu dulu sampe dia selesai kami rawat.”

Miku mengentakkan kaki dan meremas kedua cuping telinganya. Ingin sekali rasanya berteriak saat ini juga, tapi tertahan karena ini rumah sakit. Ia mengatur napasnya sejenak dan berusaha menenangkan diri.

Lihat sisi positifnya, dia bisa bermalam di rumah sakit yang penuh penyakit dibandingkan rumah suram dengan jutaan setan.

“Sekarang kami perlu nama dia untuk data pasien,” pinta Dekmas menemani Miku menuju ruang rawat.

John Doe aja, atau tulis unknown.” Laki-laki itu terlihat tidak peduli. Namun, ketika ia sampai di ruang rawat si bayi dan melihatnya yang sudah tenang dengan bercak tanda di dada, membuat Miku dipenuhi oleh rasa sesak. Entah mengapa sakit rasanya menyadari bayi seperti itu tersisih bahakan sebelum ia mengenal keluarganya. Miku tentunya lebih beruntung karena ia tersisih di sisi keluarganya. Setidaknya namanya ada di kartu keluarga.

“Baik, gue kasih nama Adam saja.” Dekmas baru saja hendak mengisi formulir identitasnya sebelum Miku menahan tangan gadis itu secara tiba-tiba.

“Mark,” bisiknya lirih. “Bayi itu punya bekas pukulan di dadanya. Untuk itu, gue bakal kasih dia nama … Mark.”

Malam itu, dahinya berkerut, matanya sembab, bibirnya tertekuk, dan bahunya menegang. Hanya saja, dapat Miku sadari jika hatinya menghangat saat ini juga.

***