cover landing

Lend Me Your Voice

By Big Boss


Terkadang, memiliki segalanya tak berarti seseorang dapat merasakan arti bahagia. Sebagian manusia akan menganggap harta dan jabatan hanyalah sebuah sampul kehidupan. Kondisi sesungguhnya yang hancur tak akan diketahui oleh siapa pun, selain sang pemilik dan Tuhan. 

Hal sesederhana itu selalu menjadi momok pikiran bagi seorang lelaki muda yang masih berkutat dalam lamunan. Ia duduk di sebuah ruangan mewah yang siapa pun dapat menebak betapa kaya raya kehidupan yang dimiliki olehnya. Kesunyian yang ia hadapi sejak pagi, pada akhirnya terpecahkan oleh sebuah seruan dari lantai dua. 

“Sayang! Jangan lupa ada pesta pernikahan di Bali nanti malam!”

Lirikan lelaki muda berambut cokelat itu mendarat pada seorang wanita paruh baya yang sedang berlari menuruni tangga. Penampilan glamor tampak jelas dari wanita tersebut. 

“Brandon, Mama berangkat dulu, ya. Mungkin akan kembali dua minggu lagi.” Dengan wajah bersungut-sungut, wanita bernama Reva Listary itu mematikan sambungan telepon dari sang suami secara sepihak. 

Brandon yang tidak bersuara sama sekali adalah hal lumrah bagi Reva. Namun, wanita itu sama sekali tak memedulikan hal tersebut dan tetap fokus pada koper mewah miliknya. Beberapa asisten rumah tangga sibuk mendorong tas-tas besar tersebut menuju teras depan.

“Mama sudah transfer uang ke kamu. Kalau kurang, kirim pesan aja ke Mama dan usahakan jangan telepon, Brandon. Takutnya Mama lagi rapat, nanti bisa hilang fokusnya Mama. Oke?” Reva yang hendak mengecup pipi sang anak, seketika terhenti saat Brandon membuang wajahnya ke arah lain. 

Reva menghela napas panjang sebelum akhirnya tersenyum dan mengusap kepala anak semata wayangnya. Tanpa berbicara apa pun lagi, Ia berlalu begitu saja meninggalkan Brandon yang masih terdiam. Tepat setelah keheningan kembali muncul, kedua alis lelaki itu saling menyatu dengan sempurna.

Prang!

Emosi yang ia tahan sejak tadi, terlampiaskan melalui lemparan gelas. Dengan napas memburu, Brandon kembali melempar piring dari meja makan yang belum sempat ia sentuh sejak tadi. Para asisten rumah tangga hanya berdiri dalam diam dan menunduk. Mereka sudah terbiasa menghadapi hal tersebut. 

Brandon memejamkan kedua matanya sesaat dan menarik napas panjang. Langit-langit yang berkilauan akan warna emas seketika membuyarkan pandangannya. Lelaki itu mencoba untuk menenangkan diri dengan mengingat kembali hal-hal yang ia anggap menyenangkan. Namun, nihil. Cara itu ternyata tak berguna lagi baginya. 

Brandon mencoba untuk mengembuskan napas panjangnya dengan perlahan. Setelah merasa tenang, Ia bangkit dari kursi makan seraya menenteng tas ransel di bahu. Wajah tanpa ekspresi dari lelaki tampan itu tengah tersaji nyaman, seakan-akan tak pernah terjadi apa pun. Ia berjalan melewati para manusia yang ada di rumah mewah tersebut dan menghentikan langkahnya sebelum keluar dari ruangan.

“Bereskan semua pecahan itu.”

***

“Evaline!”

Langkah gontai seorang wanita melambat ketika mendengar suara panggilan yang ditujukan padanya. Dengan malas, ia berputar balik dan memasang wajah manyun. 

“Hei, kenapa wajahmu? Habis kena omel?” celetuk sang sahabat yang berhasil mengejarnya. Wanita itu, Evaline Gayatri, hanya menghela napas panjang dan menggeleng pelan. Ia kembali berjalan memasuki gerbang kampus dalam diam. 

“Biasa, kakakku mendapatkan penghargaan dari kampusnya.” Evaline menunduk sambil mengamati setiap ubin lantai yang terlewati. 

“Bukankah itu bagus?” tanya Hena Kristiani—sahabatnya—dengan heran. Mendengar pujian yang diarahkan kepada kakaknya, semakin membuat Evaline tersenyum getir. Wanita pemilik rambut panjang itu kembali tenggelam dalam pikiran. Kakaknya, Jonathan Arsenio, memang memiliki segala kelebihan dalam kapasitas tak terbatas. Otak cerdas, berbakat dalam memainkan piano, kuliah kedokteran, tampan. Apa yang kurang dari manusia sempurna seperti itu?

Sebenarnya, Evaline bangga memiliki Jonathan sebagai saudara. Namun, di mana ada sang kakak, maka keberadaan Evaline tak lagi dianggap oleh keluarga. Segala jenis upaya telah dilakukan oleh wanita mungil itu demi mendapatkan perhatian dari kedua orang tua. Sayangnya, sekali lagi ia gagal. Dengan penghargaan yang diperoleh Jonathan, Evaline harus kembali menelan rasa iri dalam diam.

“Eva? Kamu baik-baik saja?” Hena menyentuh bahu sahabatnya dengan raut wajah khawatir. 

“Tidak apa-apa, Hena. Aku hanya lelah mendengar Mama dan Papa berbincang dengan Kakak seharian. Jadi, aku kurang tidur,” bohong Evaline. Ia tentu tak mau mengatakan hal yang sebenarnya kepada Hena. Akan memalukan jika sahabatnya itu tahu mengenai keluhan kekanakan tersebut. Mendengar jawaban masuk akal Evaline, mengundang anggukan paham dari Hena.  

Mereka berdua saling berbincang sambil menyusuri lorong kampus swasta yang sangat terkenal di Jakarta. Salah satu perguruan tinggi dengan mahasiswa berbakat, hingga menjadi kebanggaan bagi Ibu Kota. Hilir mudik para manusia menandakan bahwa pagi ini kampus cukup ramai akan aktivitas. 

Dua wanita berbeda tinggi itu berjalan ke arah pusat kampus dan berhenti sejenak di depan kantin. Atensi mereka seketika teralihkan oleh suara teriakan histeris dari para mahasiswi yang keluar dari ruangan tersebut. 

“Sepertinya sang Pangeran ada kelas pagi ini,” ucap Hena sambil berjinjit. Ia mencoba untuk melihat dengan lebih jelas sosok lelaki yang sedang berjalan keluar dari kantin. Tidak mau ketinggalan, Evaline pun ikut menatap lurus ke arah gerombolan mahasiswi yang sibuk mengambil foto sang idola tersebut. 

Tak lama kemudian, muncullah manusia yang menjadi sasaran publik. Dengan langkah santai, lelaki tinggi itu berjalan melewati hiruk pikuk mahasiswa tanpa menoleh sedikit pun. 

“Aku heran, bagaimana bisa ada lelaki sesempurna Brandon? Apa ibunya makan emas selama hamil dia, ya?” Hena menggeleng takjub. 

“Dia cuma menempati peringkat pertama sebagai mahasiswa tercerdas di kampus ini, Hen. Jangan berlebihan, deh.” 

“Cuma?! Apa kamu tidak tau, Ev? Brandon juga memenangkan kompetisi piano minggu lalu di Jerman.” Hena membeliak saat melihat ketidaktahuan sahabatnya akan isu-isu terkini. 

“Hanya itu?” tanya Evaline dengan tatapan yang masih terpana pada Brandon. Lelaki berkulit putih itu hanya berjalan tak acuh, seakan-akan ia tak membutuhkan semua perhatian yang diberikan oleh para pengagumnya.

“Brandon ditawari untuk bekerja di sebuah perusahaan BUMN, bahkan saat ia belum lulus kuliah, Ev. Bisa kamu bayangkan betapa sempurnanya kehidupan yang ia miliki? Bahkan kakakmu aja kalah jika dibandingkan dengan Brandon,” ujar Hena takjub. Mendengar penjelasan sahabatnya, membuat Evaline terbelalak. Kehebatan lelaki itu sungguh di luar dugaan. Dalam sekejap mata, seluruh keberuntungan berpihak padanya.

Hena berjalan memasuki kantin setelah bayangan sang Pangeran kampus telah hilang. Tersisa Evaline yang masih mematung dengan pandangan sendu. Hal yang dialami oleh Jonathan dan Brandon merupakan impiannya sejak lama. Tak pernah sekali pun ia mendapatkan pujian, walau sudah berusaha sekeras mungkin. Semua usaha kerasnya tertutup oleh kehebatan sang kakak. 

Wanita berkulit layaknya salju itu seketika tersadar dari lamunan dan bergegas masuk ke dalam kantin ketika Hena memanggilnya untuk sarapan bersama. Dengan senyuman yang dipaksakan, Evaline mencoba untuk melupakan kesedihannya walau sesaat. 

Apakah Mama dan Papa tidak bahagia ketika aku lahir ke dunia, hingga membuatku merasa asing seperti ini?