cover landing

Lelaki dari Dunia Mimpi

By Mariana Hoesny


Jam 02.00

Berdiri menatap jalanan yang lengang, Rhea menangkap butiran salju yang melayang-layang gemulai. Semuanya masih gelap di luar, hanya cahaya kuning pucat lampu jalanan yang menyorot lemah. Menggenggam mug berisi teh yang mulai dingin, ada yang sesak di dalam hatinya. Sesak karena mendadak kenangan itu memenuhi kepalanya.

Diliriknya ponsel yang layarnya terang. Satu pesan dari Ibu masih terbuka.

[Rara mau lahiran, Rhe. Doakan ya.]

[Ibu harap kamu udah memaafkan.]

Pesan diakhiri emotikon peluk.

Menghela napas, Rhea menyesap tehnya yang sudah tidak enak. Dia beranjak ke dapur kecil, berjingkat supaya Fatima, roommate-nya tidak terganggu. Sepuluh menit setelahnya Rhea meringkuk di arm chair kuning mostar, dengan secangkir kopi kental pahit. Melanjutkan menatap salju yang mulai deras. Pesan dari Ibu melintas lagi. Ponsel di meja sudut itu menampilkan tanggal hari ini.

Ternyata sudah dua tahun berlalu. Tapi, rasanya masih sakit. Enggak tau gimana nanti kalo aku pulang. Ketemu mereka, ngadepin mata-mata kasian. Argh, menyebalkan!

Sembari menyesap kopinya, kejadian itu tiba-tiba hadir lagi. Tidak bisa ditahan. Kejadian dua tahun lalu yang membuat Rhea memutuskan berlari dan menghindar untuk pulang berputar lagi.

Berjalan tergesa sambil mengecek jam tangannya, Rhea sesekali mengipaskan tangan. Hari ini panas sekali, tapi tanda-tanda hujan akan turun mulai tampak. Kemeja kotak-kotak yang kancingnya dibiarkan terbuka menampakkan kaus marun yang dikenakannya. Kaus itu sedikit basah karena keringat. Rhea menyesal mengenakan kostum ini. Dia kegerahan.

“Maaf, Juliet kafe di sebelah mana ya?” Langsung menghampiri petugas keamanan di pintu lobi utama. Rhea berencana untuk mampir di toilet dan melakukan touch up supaya tidak kelihatan kucel di depan Ken.

“Kakak naik satu lantai, dari eskalator belok kiri ke pintu keluar. Kafenya di area outdoor,” terang lelaki berambut cepak itu.

Berterima kasih dan tersenyum sopan, Rhea segera berlalu. Sebelum naik eskalator, dia meletakkan satu tangan di dadanya. Merasa aneh karena debaran yang tidak seperti biasa. Sebenarnya dia juga heran karena Ken mengajaknya bertemu di kafe yang sama sekali belum pernah mereka kunjungi.

Mungkin cuma seneng aja karena mau ketemu Ken.

Tersenyum dan merona, Rhea langsung melangkah ke eskalator. Keringatnya mulai berkurang karena hawa sejuk mal. Senyumnya tercetak, membayangkan akan bertemu Ken dan menceritakan progres dengan beasiswa yang di-apply-nya.

Sampai di lantai tujuan, Rhea langsung berbelok kiri sesuai arahan petugas keamanan tadi. Bergegas menuju pintu keluar yang samar-samar sudah dilihatnya. Dia ingat untuk mampir di toilet, tapi panggilan seseorang membatalkan niatnya.

“Kak Rhe.”

Spontan berbalik ke asal suara, mata Rhea membulat disertai senyum lebar yang terbit. “Sarah? Ya ampun, ketemu di sini kita.”

“Iya, kebetulan banget.” Sarah membuka dua tangannya dan memeluk Rhea hangat. “Padahal tetangga, tapi jarang ketemu ya.”

“Ya gitu, deh. Aku-nya yang sok sibuk.” Rhea mengikik. “Btw jalan sama siapa?” tanyanya sambil menaik turunkan alis.

“Jalan sama siapa ya? Ehm … jalan sama Bang Iyan lah.” Sarah tertawa, membuat Rhea ikut tertawa lebar.

“Udah gadis masih aja jalan sama Abang sendiri. Cari gebetan sono,” kata Rhea.

“Cari gebetan dengan resiko di-” Sarah membuat isyarat menggorok leher dan memeletkan lidah. “Tau sendiri gimana Bang Iyan. Taaruf boleh, pacaran?! No!”

Rhea menggeleng sambil tersenyum. Tidak heran dengan perkataan Sarah. Gadis berjilbab ini sudah lama bertetangga dengannya. Hanya tinggal dengan Iyan, kakak satu-satunya yang mengasuh Sarah sejak kedua orang tua mereka meninggal.

“Nah, Kak Rhea mau ke mana?”

“Ada … ehem, kencan sama Ken,” ucap Rhea malu-malu.

Sarah memasang ekspresi menggoda. “Ciyee, kencan sama tunangan nih ceritanya. Ya udah, deh, buruan kalo gitu. Awak tak kena ganggu lah,” katanya dengan bahasa bergaya kartun dari negeri tetangga.

“Oke, deh, aku duluan ya. Bye,” kata Rhea sambil mencium ringan pipi Sarah.

Rhea sudah siap melangkah ketika Iyan tiba-tiba muncul entah dari mana. “Hey,” sapanya spontan.

Sementara lelaki berkemeja putih yang disapanya hanya mengangguk kecil.

Tersenyum masam, tapi merasa masih perlu bersopan santun. “Aku duluan ya ... Mas,” katanya pada Iyan.

“Oke.”

Rhea saling melempar pandang dengan Sarah yang mengangkat bahu. Bingung harus mengatakan apa lagi, ia akhirnya hanya melambai kikuk pada Sarah, lalu menatap Iyan sekilas. Ekspresi malasnya sengaja dipamerkan. Setelahnya dia berjalan cepat, tidak menoleh.

Iyan memang tidak banyak bicara sehingga Rhea sering bingung melanjutkan obrolan. Anehnya, begitu akrab dengan Ibu dan Bang Reza—kakak sulung Rhea. Merutuk dirinya dalam hati karena malah memikirkan Iyan, Rhea berjalan cepat dan menggeleng. Berusaha mengenyahkan bayangan Iyan dengan wajah tanpa ekspresinya dari benak.

Memasuki kafe yang dituju, Rhea tidak kesulitan menemukan Ken. Lelaki itu langsung melambai, dan menyambut Rhea dengan senyum.

“Hey, sorry aku telat. Tadi ketemu Sarah, ngobrol sebentar,” katanya sembari menarik kursi.

“Nggak papa, aku juga baru sepuluh menitan di sini.”

“So ... mau makan apa? Udah pesen?” tanya Rhea yang sudah membuka buku menu.

“Aku udah pesen kopi sih, sama chicken wings. Kamu pesen aja,” kata Ken sambil bolak-balik menatap ke pintu masuk.

“Ken?! Nunggu seseorang?” Menatap heran Ken yang salah tingkah, kening Rhea berkerut.

“Aku?! Oh nggak, nggak nunggu siapa-siapa. Cuma liat suasana kafe aja. Enak juga walaupun di mal.”

Seraya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, Rhea masih mengawasi Ken. Sorot matanya menyiratkan tanya. Ken seperti gugup hari ini, tidak percaya diri seperti biasanya. Lelaki berkulit terang dengan rambut bergaya fade haircut itu biasanya tenang dan percaya diri. Tapi, hari ini Ken kelihatan aneh di mata Rhea.

Menggeleng kecil dan memutar matanya, Rhea mencoba menyingkirkan tanya. Mengatur napas karena debar jantungnya yang seperti dipacu, Rhea lalu memanggil waiter. Meminta healthy juice kesukannya, dengan sandwich roti gandum.

“Menunya bisa saya ambil, Kak?”

“Boleh.”

“Jangan dulu, Mas.”

Rhea yang tadinya menunduk, spontan mendongak. Dia dan Ken mengucapkan sesuatu yang berbeda di saat yang hampir sama.

“Emang masih mau pesen?” tanya Rhea.

“Eh, iya. Tadi aku liat ada ... wagyu steak. Iya wagyu steak. Ntar pengen nyobain kayanya.”

Merasa canggung selama beberapa detik, waiter akhirnya meletakkan kembali buku menu. Meninggalkan Rhea dan Ken yang sama-sama diam. Ken menyibukkan diri dengan ponsel, begitu juga Rhea. Bedanya untuk Rhea, itu hanyalah untuk menutupi debaran jantung yang semakin keras dan perasaan tidak tenang yang menerpanya. Sikap Ken hari ini benar-benar aneh. Padahal dialah yang mengajak Rhea ketemuan. Dan, Rhea menyanggupi walaupun Ken biasanya tidak mengajak pergi di akhir pekan. Tunangannya itu tahu betul Rhea menghabiskan Sabtu untuk beristirahat di rumah.

“Ken, kamu kenapa sih?”

“Kenapa? Aku nggak kenapa-napa, kok,” elak Ken. Tersenyum sambil menggenggam tangan Rhea.

“Serius? Kamu ... aneh hari ini. Sakit?”

“Nggak, Sayang. Aku baik-baik aja.” Ken mengecup jemari Rhea lalu mengelusnya lembut.

Masih menelisik Ken dengan segala kecanggungannya, Rhea memutuskan tidak bicara lagi. Memainkan ponsel tanpa tujuan hanya untuk mengamati Ken diam-diam sembari menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Dan, anehnya dia tidak menemukan alasan apapun untuk itu.

“Mbak Rhe, Mas Ken.”

Mendongak dan langsung menautkan alis, Rhea terperangah selama beberapa detik melihat siapa yang tahu-tahu berdiri di dekat mereka. Rhea cepat- cepat menguasai diri. Menormalkan respons apa pun yang ditampilkan.

“Rara? Kamu nongkrong di sini juga?”

Perempuan mungil bergaun floral itu mengangguk malu-malu. “Iya, Mbak.”

“Duduk sini, Ra.” Ken menarik kursi tepat di sebelahnya.

“Eh, nggak usah, Mas. Saya ... di situ saja.” Rara menunjuk kursi di samping Rhea.

“Loh, nggak papa, di sini aja,” ucap Ken dengan suara gemetar.

Seperti ada alarm yang berbunyi di kepalanya, Rhea semakin merasa tidak nyaman. Kehadiran Rara terasa aneh untuknya. Dan, kenapa adik angkatnya ini mau duduk bersama dia dan Ken? Bukan bersama teman-teman yang mungkin mau ditemuinya di kafe ini.

“Kamu janjian sama temen atau gimana?”

“Ehem, i-i-ya, Mbak. Tapi ... belum ... datang.”

Rhea mengangguk saja, tidak menemukan kalimat untuk membalas. Membiarkan Ken menarik satu kursi supaya Rara bisa duduk. Setelahnya suasana menjadi semakin aneh, karena Rhea merasa Rara dan Ken saling bertukar pandang. Adik angkatnya itu bahkan terus-terusan meremas bajunya.

Waiter yang membawa pesanan sedikit menyelamatkan suasana. Dan, kening Rhea berkerut semakin dalam ketika segelas ice lemon tea diletakkan tepat di depan Rara.

Kok dia udah dapet minum?! Ini ada apa sih?!

Rhea menyesap juice-nya. Menatap Rara dan Ken bergantian.

“Rhe ... aku mau bicara.” Ken meletakkan dua tangannya di meja. Menjalinnya rapat dan, Rhea sempat melihat tangan itu gemetaran.

“Tentang?”

“Tentang ... kita.”

“Kita? Aku dan kamu? Ada masalah apa, Ken?”

“Bukan masalah sebenernya ... tapi, aku ngerasa ... ada yang salah dengan hubungan kita,” kata Ken.

“Maksudnya?” Rhea melipat dua tangannya, menyandarkan punggung ke kursi, menumpukan kaki kanan ke kaki kiri dan menatap Ken tanpa kedip. Masih mencoba berpikir positif.

“Aku dan kamu, Rhe. Kita ... sepertinya nggak cocok.”

“Dalam hal?” Rhea menjaga nada suaranya tetap tenang.

“Semuanya, Rhe. Kamu maunya kerja, berkarier. Sedangkan aku butuh istri yang tinggal di rumah, mengasuh anak-anak, menjaga rumah.”

Rhea memiringkan kepala, mengarahkan telinga ke arah Ken. Matanya memicing, dan giginya beradu. Rasanya arah pembicaraan Ken mulai bisa ditebak. “Oh ya?! Trus yang cocok sama visi kamu tentang istri itu … dia? Menunjukkan ketenangan yang luar biasa, tapi Rhea merasa ada yang menggelegak dalam dirinya.

Terperangah dan langsung melirik Rara. Ken menatap Rhea dengan sorot mata bersalah. “Maksud kamu apa, Rhe?”

“Berapa lama kamu dan Rara selingkuh di belakang aku?” Rhea masih bersedekap, menatap dalam dua orang yang sekarang gelisah.

“Rhe, kami nggak selingkuh. Cuma ... aku ngerasa cocok sama Rara. Aku-”

“Stop! Aku udah tau kamu bilang apa, Ken. Kamu lebih milih Rara karena kamu pikir dia bakal bisa jadi istri yang ngasuh anak, jaga rumah, masak, bersih-bersih. Ah so, kamu cari pembantu bukan istri! Dan ... ya ternyata begini cara kalian?! Mengkhianati aku, diam-diam menjalin hubungan. Itu yang kamu bilang nggak selingkuh.”

“Rhe, tolong dengerin penjelasan aku dulu. Kami nggak sengaja melakukan ini,” pinta Ken.

“Melakukan apa? Kamu udah tidur sama dia?” Rhea menggerakkan dagunya pada Rara yang menunduk. “Jadi ini alasannya kenapa kamu ngajak aku ketemuan. Kamu mau jelasin kalo hubungan kita nggak bisa diterusin karena kamu nemuin seseorang yang klik untuk memenuhi cita-cita kamu sebagai suami.” Senyum miring Rhea terbit. Matanya menyorot bergantian pada Ken dan Rara. “Kamu selingkuh karena aku nggak mau diajak tidur sebelum resmi menikah?! Sedangkan dia … mau.”

“Mbak, maaf. Tapi aku nggak bermaksud merebut Mas Ken dari Mbak Rhea. Percaya sama aku Mbak, aku nggak akan sejahat itu.” Rara mencoba menyentuh lengan Rhea.

Secepat kilat menghindar, Rhea menghunjamkan tatapan dingin pada gadis mungil di depannya. Rentetan makian dan ungkapan kecewa berdesakan di mulutnya. Ditahannya sekuat tenaga karena dia tidak ingin membiarkan dua orang di depannya ini menang dengan melihatnya terluka.

“Rara, ini bukan salah kamu. Salahku karena deketin kamu.”

“Mas, ini salah saya juga. Saya nerima perhatian Mas Ken, dan bohong sama Mbak Rhe.”

Mendengkus sambil tersenyum getir mendengar obrolan konyol di depannya. Rhea bertahan, bersikap tenang dan melipat ketat dua tangannya di dada. Sebenarnya dia muak mendengar drama murahan dua orang ini. Tapi, tidak akan pergi sebelum mengatakan sesuatu yang ‘berkesan’ untuk dua manusia tidak tahu malu yang sedang berakting di depannya.

Rara, adik angkat yang diasuh Ibunya sejak gadis itu berusia delapan tahun. Rhea sudah menganggapnya adik kandung, melakukan semua yang dia tahu untuk menjadi kakak yang baik. Termasuk sering mengalah ketika Rara menginginkan barang miliknya. Boneka, baju, tas, sepatu. Dan, sekarang Ken.

“Jadi kamu mau apa, Ken?” Rhea memotong percakapan ala telenovela yang masih berlangsung antara Ken dan Rara.

Seketika obrolan itu berhenti. Ken berdehem, sedangkan Rara menunduk, dua tangannya saling meremas. Detik berikutnya Ken dan Rara bertatapan, lalu sama-sama menatap Rhea. Keduanya sedikit terkesiap karena Rhea terlihat tenang, bahkan tersenyum.

“Maafkan aku, Rhe … tapi … aku mau … nikah sama Rara,” bisiknya parau.

“Kalian sudah tidur bareng, kan? Gadis kecil polos imut ini sudah kehilangan keperawanan gara-gara kamu?” desis Rhea.

“A-a-pa?! Itu … nggak-

“Itu nggak sengaja, Mbak. Aku sumpah.” Rara memotong ucapan Ken.

Seperti ada api yang berkobar dalam hati Rhea. Bercampur sesak yang membuatnya seperti terhimpit sesuatu. Sesuatu yang beratnya berton-ton. Kebenaran menyakitkan kalau tunangannya meniduri adik angkat yang disayanginya seperti menyayat setiap inchi kulitnya. Tapi, bukan Rhea kalau bereaksi bak orang kesetanan. Dia tetap tersenyum, menatap Rara lalu Ken.

Mengangkat bahu, lalu melepas cincin berlian dari Ken. Rhea menarik satu tangan Ken, meletakkan cincin itu perlahan. “Go on, pasangkan sama dia,” perintahnya.

“A-a-apa, Rhea? Maksud kamu apa?” gagap Ken.

“Pa-sang-kan cincin itu di jari Rara. Dia selalu dapat barangku yang dia ingin. Termasuk … kamu.” Menekankan satu jarinya ke dada Ken, sampai lelaki itu terdorong.

“Sayangnya, dia selalu dapat barang … bekas-aku.”

Ken dan Rara terperangah, menatap Rhea yang sudah berdiri dengan mata membulat penuh.

“Rhe, tunggu dulu. Aku cinta sama kamu. masih cinta banget. Tapi aku-

“Oh, sudahlah, Ken. Kamu tau aku bukan tipe perempuan kaya dia. Yang dengan gembira ria mendengarkan ocehan kosong kamu. Simpan aja rayuan kamu buat si manis lugu ini.” Rhea mendengkus sinis, lalu melangkah lebar ke arah pintu keluar.

Tidak sampai lima detik, gadis berambut ikal itu berbalik. “I forget something,” katanya sambil meraih gelas berisi juice dan menuangnya ke tubuh Ken.

“Makasih untuk aktingnya selama dua tahun ini,” ucapnya pedas.

Menjauh dari Ken dan Rara yang gelagapan, Rhea melangkah tegap. Bahkan mengangkat kepalanya tegak. Melupakan hatinya yang serasa perih dan berdarah-darah, Rhea memerintah dirinya untuk bersikap tenang.

Dia tidak akan membiarkan siapa pun melihat luka yang menganga itu. Tidak akan!

“Kak Rhe!”

Rhea berhenti sesaat sebelum menaiki eskalator. Dia melihat Sarah dan Iyan berdiri tidak jauh. Memaksakan senyum, Rhea melambai. Dia tidak ingin mendekat pada dua orang itu, karena jarak bisa membuka rahasianya. Rahasia kalau dia baru saja ditikam begitu dalam.

“Sukses, kan, kencannya?!” tanya Sarah setengah berteriak.

Mengangguk, tersenyum, lalu melambai sambil menujuk arloji. Rhea segera menaiki eskalator dan berlalu. Sejak hari itu dia memutuskan untuk mulai berlari. Menjauhi sumber rasa sakitnya.