cover landing

Legion: Organisasi Sayap Hitam

By Arabicca


Intro

Perempatan Kayu Besar kerap menjadi salah satu titik yang wajib dihindari, apalagi pada jam-jam sibuk seperti sekarang ini. Menuju pukul lima sore, ruas jalan telah dipadati oleh puluhan kendaraan yang berbaris sembarang, merangsek, tumpang tindih, dan tidak beraturan.

Suara klakson mobil semakin menggila. Orang-orang memaki angkutan umum yang seenak jidat menyalip jalur. Ketika lampu rambu-rambu lalu lintas kemudian berubah warna, para pejalan kaki segera menyingkir ke bibir trotoar. Kini, giliran roda-roda besarlah yang menggilas aspal jalanan di perempatan itu.

Mobil bergerak satu-satu, kemudian menyebar menuju arah yang menjadi tujuan masing-masing. Saat dirasa jalan mulai sedikit lengang, para pengendara pun menginjak pedal gas mereka lebih dalam lagi.

Tanpa melihat situasi di kanan-kiri, seorang gadis tiba-tiba melompat ke jalan raya. Memicu kehebohan para pejalan kaki yang berkerumun di sisi aman zebra cross. Mereka berteriak ketika melihat sebuah truk pengangkut ikan melaju dengan sangat kencang dari arah barat.

“AWAS!!!”

TIIIIINNN

Klakson ditekan berkali-kali. Namun, usaha dari sang sopir truk berakhir sia-sia, sebab suara dentuman tetap terdengar setelah sebelumnya rem diinjak dengan sangat keras. Pada detik-detik itu, gadis tersebut berpikir, jika dia memejamkan mata, semua pasti akan berakhir dengan cepat. Namun, ketika kedua mata gadis itu kembali membuka, dia justru mendapati otak manusia berserakan di bawah kakinya. Gadis itu menjerit sejadi-jadinya. Dia jatuh terduduk, tidak menyangka kematian ternyata bisa menjadi semengerikan itu. Dengan napas tersengal-sengal, gadis itu mundur teratur, mengubur kembali niatnya untuk bunuh diri.

Sementara itu, dari kejauhan, tampak seorang pria menepikan motornya di dekat area pertokoan. Dia mengumpat kesal. Tangannya bergerak memukul udara. Sial! Bisa dipastikan orang yang menjadi targetnya telah tewas di tempat.[]

 

Bab 1

Kasus Gila

Terjadi kecelakaan di Perempatan Kayu Besar. Segera meluncur ke TKP!

Andreas Dirga sudah menduga kalau HT-nya akan berbunyi. Kecelakaan itu terjadi tepat di bawah sana, di sebuah perempatan yang lokasinya tak begitu jauh dari gedung pencakar langit tempat dia berada saat ini.

Sore itu, dia tengah terduduk di Amare Ristorante—restoran khas Italia—yang terletak di lantai lima gedung Bentang Tower. Meja yang dipesannya berada persis di tepian sehingga Andreas bisa melihatnya—meskipun kecelakaan itu hanya berupa titik kecil, yang barangkali bukanlah sesuatu yang mesti dipusingkan oleh sebagian orang di restoran itu. Akan tetapi, bagi Andreas, dengan julukan mata elang yang dia dapat dari rekan-rekannya di Kesatuan Lalu Lintas, ketajaman matanya justru kerap bekerja di saat-saat seperti ini. Dia melihat orang-orang berkerumun seperti semut di bawah sana, mengelilingi tempat kejadian perkara.

Andreas mengunci bayangan dirinya yang terpantul pada kaca jendela besar. Tubuhnya kurus, dibalut kemeja hitam. Rambutnya terlihat acak-acakan, tidak menarik perhatian. Akibat terlalu sering terjaga saat malam, lingkar hitam di area matanya terlihat semakin membesar dan sulit untuk dihilangkan.

Dia berganti menatap penjuru restoran. Sebetapa sering pun Andreas datang ke restoran tersebut, dia masih belum terbiasa melihat bura api tiba-tiba menyembur di balik kaca partisi dapur. Amare Ristorante memang sengaja mengusung tema open kitchen sehingga proses pengolahan dan penyajian makanan dapat dilihat secara langsung oleh para pengunjung restoran. Dengan konsep klasik yang dipadu dengan sedikit modern industrial, Amare Ristorante menyajikan tampilan hangat seperti di ruang keluarga. Meja-meja bergaya diner ditata apik dan dihias lampu duduk antik pada bagian atasnya. Semua pengunjung tampak sangat bahagia. Andreas mendesah sembari mengepalkan kedua tangan. Di saat semua orang menikmati santapan bersama pasangan masing-masing, Andreas justru makan seorang diri dengan menu steik yang sebelumnya dia pesan untuk dua orang.

Kotak beludru merah berisi cincin belah rotan telah dia persiapkan di atas meja restoran. Hari ini, tepat tujuh tahun usia pernikahannya dengan Mia. Seharusnya Andreas memakaikan kembali cincin itu di jaris manis Mia, tetapi kursi di depannya justru kosong, hampa tanpa sosok Mia.

Mia. Hatinya terus memanggil. Selamat hari anniversary, Sayang.

Dalam bayangan Andreas, Mia muncul dengan senyum manis di wajah. Rambutnya digelung indah. Menampakkan leher jenjang serta anak rambutnya yang tersisa. Mia tidak suka riasan tebal. Dia sederhana, apa adanya. Tetapi Andreas sangat menyukainya.

Gawai di saku celananya tiba-tiba bergetar, memecah kebahagiaannya.

Andreas mendengus geli saking pedih realita yang harus dia hadapi sekarang. Mia tidak akan mungkin datang. Mia memang tinggal di hatinya, tetapi tidak di hidupnya. Andreas ... telah ditinggalkan untuk selamanya.

Segera diraihnya gawai itu. Dilihatnya nama Revano tertera pada layar. Andreas menduga, rekannya itu pasti sudah berada di lokasi kejadian saat ini. Begitu ibu jari Andreas menggeser layar, suara Revano segera masuk ke telinganya.

“Halo? Kau di mana, Dre?”

“Aku bergerak sekarang,” jawabnya kaku, tanpa basa-basi.

Panggilan telepon terputus.

Andreas membereskan seluruh barangnya, kemudian berjalan menuju pintu keluar. Di sana, dia berpapasan dengan dua orang pelayan. Wajahnya tersenyum, tetapi hatinya masih diliputi perasaan yang sama; kosong, seperti sebelum-sebelumnya.

Andreas bergegas memasuki lift dan menekan tombol. Dia ingin sekali meninggalkan Mia bersama seluruh kenangannya di dalam sana. Tetapi, mustahil. Andreas tidak akan bisa melakukannya.

***

“Macet parah,” ucap Komandan Sam sambil berkacak pinggang.

Benar-benar gila, batin pria bertubuh besar itu. Kepalanya yang bulat bergoyang-goyang laiknya sebuah bandul. Pria itu mengenakan seragam kepolisian lengkap dengan topi dan rompi berwarna hijau neon. Saat ini, dia dan orang-orangnya tengah menjadi pusat perhatian puluhan moncong mobil di perempatan jalan, belum lagi para pejalan kaki yang seolah berbondong-bondong mengerumuni lokasi tersebut.

Hal seperti ini memang sudah biasa terjadi dalam kasus kecelakaan. Sebagai seorang kepala polisi di Unit Kecelakaan Lalu Lintas, Komandan Sam sangat paham soal itu. Waktu benar-benar menjadi kendala terbesar yang harus mereka hadapi sekarang. Malam akan tiba sebentar lagi. Langit mendung di atas kepala juga turut membuat dirinya khawatir. Apabila hujan turun, semua jejak kecelakaan mungkin akan luruh terbawa air.

Komandan Sam mengawasi beberapa titik penting di perempatan itu. Melihat orang-orangnya bekerja dengan sigap melakukan olah tempat kejadian perkara, setidaknya dia bisa sedikit lega. Mereka saling berkoordinasi, tak membuang waktu sedikit pun untuk bermalas-malasan.

Dari kejauhan, pria paruh baya itu melihat Andreas berjalan di atas trotoar di sisi kanan Bentang Tower. Dia mengenakan celana bahan berwarna gelap serta jaket yang tampak kebesaran, menutupi kemeja hitam yang dia pakai di baliknya.

Komandan Sam menatapnya iba. Merasa sedikit prihatin terhadapnya. Sudah hampir tiga tahun lamanya dia dan Andreas bekerja di unit yang sama. Komandan Sam tahu benar bahwa gedung pencakar langit itu masih menjebak Andreas dalam masa lalu.

“Mau sampai kapan kau begini, Andreas?” tegur Komandan Sam begitu Andreas tiba di depan hidungnya. “Hidup itu terus berlanjut. Kau bisa gila kalau terus memikirkan Mia.”

Andreas terdiam sembari memandangi jalanan di depannya. Dia hendak membalas perkataan komandannya itu, tetapi buru-buru disela oleh Iptu Surya yang berdiri tidak jauh dari mereka.

“Au ... au ... au .... Apa yang sedang dilakukan orang-orang zaman sekarang ini?” katanya sambil menunjuk kerumunan manusia di sekitar mereka.

Smartphone? Benda semacam itu seharusnya dimusnahkan saja dari muka bumi. Kau lihat itu, Rey,” Iptu Surya beralih kepada Revano. Tetapi, orang yang diajak bicara hanya mendengarkan saja sembari terus melakukan pekerjaannya.

“Mereka berkumpul untuk merekam kita semua dengan ponsel-ponsel canggih di tangan mereka,” lanjut Iptu Surya dengan sedikit bersungut.

“HUWEEEK!!!” Revano yang sudah tidak sanggup menahan gejolak di dalam perut pun akhirnya runtuh. Untuk sementara waktu, dia memilih menjauhi perempatan itu dan menyerahkan pekerjaannya kepada Andreas. Bau amis benar-benar membuatnya mual.

***

Revano berjalan menuju mobil patroli yang tadi diparkirnya di depan area pertokoan. Dia mengambil botol minuman di atas dashboard, kemudian menghabiskannya dalam sekali tenggak.

Kedua matanya menelik dari kejauhan, memandang berkeliling.

Kasus kecelakaan yang terjadi di perempatan itu setidaknya telah menewaskan dua orang warga sipil. Mereka tewas di tempat kejadian. Ada sekitar lima orang yang menderita luka-luka. Setelah mendapat pertolongan pertama, korban luka-luka langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Sedangkan korban meninggal dunia akan dievakuasi begitu dua ambulans terakhir tiba.

Selama bertugas di Unit Kecelakaan Lalu Lintas, Revano tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak berurusan dengan mayat. Kecelakaan di atas jalan raya selalu terjadi hampir setiap hari. Orang-orang meregang nyawa dengan cara yang berbeda-beda; mulai dari terlindas, terserempet, disalip lalu jatuh, saling laga, sampai mengalami kecelakaan beruntun. Dia menguatkan diri dan memutuskan kembali ke TKP setelah merasa jauh lebih baik.

Kenapa aku jadi pengecut begini, keluhnya tanpa henti.

Di tengah riuhnya serbuan klakson kendaraan, Iptu Surya lagi-lagi bertingkah. Pria itu menepuk tangannya dua kali, lalu berkata, “Focus, focus, trulala.” Bak sebuah mantra yang mengharuskan para petugas polisi bekerja secepat kilat.

Andreas kini menggantikan tugas Revano memasukkan otak korban yang berserakan di aspal ke dalam kantong mayat. Dengan sarung tangan karetnya, dia bekerja dengan lihai. Revano kagum melihat rekannya itu. Andreas sepertinya sudah sangat terbiasa melakukan hal tersebut. Wajahnya tak mengernyit sedikit pun saat berhadapan dengan ceceran otak manusia.

Di sisi lain, tampak Damian sedang meminta keterangan dari para pejalan kaki yang menyaksikan bagaimana peristiwa nahas tersebut terjadi. Petugas lainnya menandai letak kendaraan serta barang bukti di TKP berdasarkan nomor urut. Mereka juga mengukur bekas benturan pada tiang penunjuk jalan, serta bekas pengereman pada aspal jalan. Olah TKP dilakukan sesegera mungkin.

Revano mendekati salah seorang polisi bernama Briptu Arieh. Briptu Arieh menyapanya dengan anggukan singkat, kemudian mengajak Revano berbicara.

“Sepeda motor ini benar-benar hancur. Bagian depannya penyok, bahkan hampir tak berbentuk.” Dia lalu memotret sepeda motor tersebut dari berbagai sudut untuk keperluan dokumentasi.

“Kalau dilaga dengan truk sekelas banteng penyeruduk, motor ini tentu saja tidak ada apa-apanya,” sahut Revano sambil bersedekap.

Briptu Arieh mengangguk. “Anda benar, Inspektur.”

Revano meninggalkan Briptu Arieh yang kembali sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Kali ini dia hendak melihat kondisi truk pengangkut ikan yang penyok akibat menghantam tiang penunjuk jalan. Diperiksanya dengan jeli setiap sisi truk yang mengalami rusak dan baret. Kepalanya kemudian menengadah. Di sana, dia menangkap sebentuk kamera CCTV. Kamera itu dipasang pada tiang penunjuk jalan. Revano tersenyum sekilas. Apa yang terekam di dalamnya pasti akan sangat berguna untuk kasus kecelakaan ini, pikirnya.

Saat ini, sistem buka-tutup jalan diberlakukan demi mencegah terjadinya kepadatan arus lalu lintas di sekitar tempat kejadian yang dapat mengganggu proses olah TKP. Namun, sayang, hal itu pun tidak banyak membantu, sebab perempatan ini merupakan jalur utama menuju pusat kota. Setelah hampir satu jam berlalu, dua ambulans terakhir yang mereka tunggu-tunggu pun tiba. Komandan Sam segera memerintahkan bawahannya untuk mengangkut jasad para korban yang meninggal dunia ke dalam masing-masing ambulans.

“Revano!” Komandan Sam berteriak dari tempatnya.

Yang dipanggil buru-buru menghadap.

“Siap, Komandan!” Revano menjawab dengan suara lantang.

“Kau pergilah bersama Andreas. Kawal ambulans itu sampai ke rumah sakit. Dan, yang lainnya, kuminta kalian tetap tinggal di tempat untuk melakukan olah TKP.”

“Siap, Komandan!” Kelima anggota polisi yang berdiri mengelilingi Komandan Sam menjawab serempak.

Revano segera menyusul Andreas yang ternyata sudah siap di belakang kemudi mobil patroli. Sirene dinyalakan. Orang-orang yang berkerumun segera menyingkir dan memberi jalan. Sirene mobil ambulans meraung-raung tak kalah keras. Dalam kurun waktu lima belas menit, mereka berhasil keluar dari kemacetan dan meluncur di atas aspal.

Pukul enam petang, kota Batam mulai menampakkan sebagian wajahnya yang dihiasi kunang-kunang elektrik. Papan reklame berderet di beberapa area strategis. Gedung-gedung pertokoan berkelebat seiring ketiga mobil itu melayap di atas lintasan. Mereka bergerak lurus. Jalur bercabang telah menanti untuk dilewati sekian meter di depan. Mereka harus berbelok ke kanan untuk bisa sampai ke Rumah Sakit Polda.

Revano menghela napas pendek. Sedang di sebelahnya, Andreas tetap tenang sembari memusatkan perhatian ke depan. Dua mobil ambulans berbelok secara bergantian; ambulans pertama mengambil rute ke kanan, sementara ambulans kedua berbelok ke arah sebaliknya.

“Ndre, apa-apaan ambulans itu?! Kenapa dia malah mengemudi ke arah kiri!” teriak Revano panik.

Andreas tidak menjawab. Namun, ekspresinya berubah tegang sesaat membayangkan bagaimana reaksi Komandan Sam. “Mengawal mobil ambulans saja kau tidak becus, lebih baik kau serahkan lencanamu itu dan keluar dari sini!”

“Sial!” desisnya, kemudian buru-buru memutar haluan.

Andreas menginjak pedal gas dalam-dalam, berusaha menyamai kecepatan ambulans gila itu.

“Kalau tidak salah, jasad yang diangkut oleh ambulans itu, adalah jasad si pengendara bermotor yang otaknya berceceran. Kenapa bisa begini?” Revano tampak gusar. Dia hendak meraih radio rik pada dashboard, tetapi kesulitan lantaran Andreas melaju terlalu cepat. Lubang-lubang jalanan yang belum diperbaiki membuat mobil patroli mereka berguncang tak keruan. Di kursi penumpang, Revano sudah teler. Namun, barang sedikit pun, Andreas tak berniat menurunkan kecepatan.

“Berhenti!” teriak Andreas, kepalanya menyembul keluar.

Revano berinisiatif melakukan hal yang sama begitu tangannya berhasil meraih radio rik. Dia menekan tombol pengeras suara. “Ambulans XXX, kami peringatkan untuk berhenti sekarang juga!” teriaknya berulang kali.

Namun, peringatan tersebut tetap tak diindahkan oleh si pengemudi ambulans.

Ambulans itu semakin jauh meninggalkan mereka.

Andreas tidak menyerah begitu saja. Dilarikannya mobil patroli bak seorang pembalap profesional. Dia meliuk-meliuk, melewati mobil-mobil yang berderet menghalangi jalannya dan menerjang dua polisi tidur sekaligus.

Mobil patroli sedikit keluar jalur. Sesuatu memercik dan berderak akibat gesekan antara bodi mobil dan besi pembatas jalan.

Jantung Revano serasa hendak lepas dari sarangnya.

Saat Andreas berhasil menyamakan posisi mobil mereka, si pengemudi ambulans dengan sigap menginjak rem kaki, membuat dirinya tertinggal jauh di belakang.

“Bagaimana? Apa kau bisa lihat wajah petugas ambulans tadi?!” teriak Andreas kesal.

“Dia memakai masker!” Revano membalas tak kalah keras.

“Cepat, hubungi Komandan Sam!” Andreas melirik GPS yang berkedap-kedip pada layar monitor dashboard. “Minta back up dari kepolisian terdekat. Sepertinya ambulans itu menuju Pelabuhan Telaga Punggur.”

Andreas bergerak zig-zag, berupaya untuk menghentikan laju ambulans di belakangnya. Namun, ambulans itu semakin gila dan nekat menyodok bumper belakang mobil patroli. Andreas telanjur dibuat emosi. Namun, dia terpaksa mengalah, sebab dari arah depan sebuah truk pengangkut kontainer berukuran raksasa sudah mengklaksonnya berkali-kali.

“Komandan!” teriak Revano begitu komunikasi HT terhubung. “Kami butuh back up—"

“Apa maksudmu?” Komandan Sam menyahut di seberang.

“Sepertinya kita tidak punya banyak waktu.” Andreas menyela pembicaraan itu. Dia mengeluarkan pistol dari sabuknya, kemudian meminta Revano mengambil alih kemudi.

Dengan susah payah, Andreas menempatkan hampir setengah badannya keluar jendela mobil. Dia kembali berteriak, “Berhenti di sana!” sambil menodongkan pistolnya. Jika peringatan darinya tetap diabaikan oleh si pengemudi ambulans itu, Andreas akan dengan sangat terpaksa menembak. Dan, dalam hitungan kelima, bunyi peluru yang keluar dari magasin pun meledak di udara, menyisakan asap samar pada ujung pistol genggamnya yang mengilap. Meski agak kesulitan, Andreas berhasil membidik ban ambulans tersebut. Setelah oleng dan berputar-putar beberapa saat, ambulans itu akhirnya mau berhenti juga.[]