tw // blood
“Minum!” bentak Mbah Warsa. Tatapan wanita itu menghunus tajam. Setajam aroma kemenyan di dalam ruangan tersebut.
Kalau saja cairan dalam cawan yang dipegang adalah air biasa, tentu akan mudah bagi Mayada untuk menenggaknya. Dia tak perlu repot menelan saliva berkali-kali. Sayang, benda itu adalah musuh Mayada. Jangankan ia masukan ke tenggorokan, mencium aromanya saja sudah membuat tangan bergetar.
Menatap jijik pada benda di hadapannya, dengan tangan gemetar Mayada mengangkat cawan. Seketika semerbak bau amis menguar semakin kuat di indra penciuman. Demi Tuhan, aroma itu membuat isi lambung Mayada berdesakan ingin dikeluarkan.
Haruskah ia menyerah? Lalu membiarkan lelaki yang sudah membunuh bapaknya menggunakan teluh bisa tidur dengan nyenyak? Tidak! Paman Mayada harus merasakan apa yang dulu bapaknya rasakan. Lagi pun, mengingat bagaimana mata suaminya menyala marah hari itu. Juga tangisan anaknya—memekakkan telinga—mengiring kepergiannya. Tentu saja menyerah adalah pilihan terbodoh.
“Cih. Lama!” Mbah Warsa berucap tak sabar seraya membenarkan posisi sepah di mulut. “Gimana bisa diturunin ilmunya kalau sama darah aja takut?! Bapak kamu mah dulu jagoan. Jangankan darah. Daging bangkai dia makan.”
Mayada masih bergeming. Membuat wanita tua bersumbu pendek itu terbakar amarah. “Cepat Mayada!” bentak Mbah Warsa untuk ke sekian kali. “Jangan buang-buang waktu!”
Gebrakan di meja membuat pandangan Mayada semakin berkunang. Kristal di pelupuk mata semakin berdesakan ingin dikeluarkan. Puluhan titik keringat sebesar biji beras menghiasi kening. Bibir wanita itu bergetar, bersamaan dengan cawan di tangannya yang ikut bergoyang. Ia menenggak darah itu sekuat tenaga.
Dengan mata tertutup darah mengalir di tenggorokan Mayada. Ia berhasil melakukan ritual di kali terakhirnya itu. Meski dengan rasa darah yang bercampur dengan rasa asin air mata. Ajaibnya lagi, ia mampu tidak mengeluarkan kembali cairan itu di lambung.
Suara keras tawa Mbah Warsa mengudara. Seolah keberhasilan Mayada adalah kebanggaan baginya. Cukup lama wanita penuh uban itu tertawa. Sampai akhirnya Mbah Warsa berdiri, menghentikan tawa lalu mendekati Mayada.
“Ikuti aku,” pinta Mbah Warsa.
Terhuyung Mayada menapaki kaki, mengikuti langkah wanita tua itu. Sambil menahan mual, ia ikut masuk ke dalam satu ruangan.
“Bapakmu dulu mendapatkan anak-anaknya dari sini,” ucap Mbah Warsa seraya membuka peti. Diambilnya sebuah benda kotak. “Aku senang kamu bisa seperti bapakmu.”
Mbah Warsa menghampiri Mayada. Tangan keriputnya mengusap lembut wajah Mayada, menghapus sisa air mata wanita itu.
“Nak, dunia ini kejam untuk orang yang lemah. Jadi, jangan menjadi orang yang lemah.” Perkataan Mbah Warsa terdengar seperti nasihat peduli sang ibu ke pada anaknya. Hanya saja, wajah keriput menyeramkan di hadapan Mayada tidak sama sekali menampilkan aura kasih sayang. Sebaliknya, air wajah itu menunjukkan sebuah ambisi dan keegoisan.
Tangan Mbah Warsa beralih ke atas ubun-ubun. Seraya memejamkan mata, mulut Mbah Warsa mengikrarkan satu mantra. “Buyut agung cakra buana. Buyut mulia nu ngaraksa alam dunya. Datang asup kana sukma anak cucuna.”
Setelah mengucapkan mantra, Mbah Warsa memberikan sebuah batu berwarna hitam pekat lalu berkata “Namanya Konang. Dia yang bakal menjaga kamu menunaikan hajat. Tunaikan dendam kamu. Karena di sana juga ada dendamku atas kehilangan muridku.”
Dimulai hari itu, ia memulai dunia yang tak ingin ia kenali. Dan andai Mayada tahu bagaimana cerita hidupnya bersama Konang, niscaya Mayada tak akan mau memulainya.