cover landing

Krama

By AlineLaksmi


SHA

… Dari ribuan orang yang kau temui seumur hidupmu,

Ratusan orang pernah mengukir harimu,

Juga puluhan orang rutin menanyakan kabarmu,

Kenapa pada akhirnya kau jatuh cinta pada satu orang saja?

Satu orang yang terlihat sangat jelas hingga ribuan lain menjadi samar.

Satu orang yang entah sekedar singgah atau berniat menetap,

Satu orang yang kau ijinkan memenangkan hatimu,

Satu orang yang berpotensi menghancurkan hidupmu.

 

***

Kita berpagut sangat erat,

Sekerat demi sekerat, terus berpacu mendekat,

Nafas dan keringat kian melekat, kita tak terbatas sekat,

Kita berpelukan lebih erat, makin erat,

 

“… gue mau keluar,” desah pria asing itu.

Sha tak peduli. Kepalanya pusing. Di ruangan temaram yang dingin ini ia tak bisa menatap wajah pria itu dengan jelas. Pria itu masih bergerak di atas tubuhnya. Sha mengalungkan tangannya di leher pria itu, berharap tak hilang kesadaran. Perut Sha berguncang makin cepat, mengikuti hentakan pria itu. Sha makin mual.

“Gue… mau… keluar…,” desah pria itu lagi.

“Keluarlah…” jawab Sha tak acuh. Ia tak sepenuhnya sadar apa yang sedang terjadi. Semua terjadi begitu cepat, di luar kendali.

“Di mana? Di dalam ya?” tanya pria itu terburu-buru.

“Terserah…” Sha benar-benar kepayahan. Mual dan pusing. Kombinasi maut untuk memberi jawaban seperlunya yang bisa berakibat fatal. Ia tak peduli pada apa pun selain dirinya yang perlu diselamatkan.

Pria itu menghentak tubuh Sha beberapa kali, hingga gerakannya melambat. Ia menciumi bibir Sha, menyelesaikan permainan dengan lembut.

Hey, ejakulasi ‘di dalam’, dia ini siapa? Bahkan gue ga kenal, pikir Sha.

Pandangan Sha mengabur. Perutnya semakin bergejolak.

Sha mendorong bahu pria itu. Ia tak bisa bangkit karena tubuhnya masih tertindih, tak bisa ke mana-mana. Akhirnya ia memiringkan kepala dan….

“Hoooeeeekkkkk….”

Seluruh isi perut Sha keluar.

Ini semua akibat terlalu rakus menenggak tequilla saat lambung belum terlapisi apa pun seharian. Sha tersengal, berusaha mengatur napas, gelombang mual selanjutnya datang menghantam.

“Astaga, elo kenapa?” Pria itu panik, berusaha menarik rambut Sha agar tak terkena semburan muntahan.

Tequilla…” jawab Sha lemah.

Pria itu mengambil tisu, menyeka wajah Sha hingga bersih. Ia lalu mengambil kemejanya untuk menyelimuti tubuh telanjang Sha. Ia beranjak dan membawakan Sha segelas air putih hangat. Ia mengelus kening Sha, khawatir.

Sha memberanikan diri menatap pria asing itu. Kesadarannya perlahan pulih, perasaannya juga membaik. Astaga, ini jauh dari bayangan ideal yang selama ini diharapkan ketika selesai bercinta dengan pria asing.

“Elo engga apa-apa?” pria itu masih bertanya penuh perhatian.

Sha menghela napas berat. Memangnya, apa yang lebih memalukan selain jackpot di depan pria asing yang baru saja selesai bercinta denganmu?

 

… Kita pernah berpagut sangat erat,

Malam itu, aku dan kau mulai terikat,

Mengukir kenangan untuk suatu saat diingat.

***

“Leonardo Emery,” Sha bergumam.

“Shalindra Zayn,” balas Leo sambil menggenggam tangan Sha.

Leo berbaring di sebelah kanan Sha. Tubuh telanjang mereka hanya tertutup selimut, masih berkeringat. Mereka saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak.

“Apa yang lucu?” tanya Sha sambil terus terkikik geli.

“Kita…” jawab Leo, “Kita lucu banget.” Tangan Leo kokoh merengkuh tubuh Sha dan membenamkan kepala Sha di dalam dekapan Leo lebih erat.

Hangat, hati Sha mencelos, ini terasa hangat. Sudah lama sekali Sha tidak dipeluk seseorang. Perasaan hangat dan nyaman membanjiri relung hati. Perasaan dilindungi dan dibutuhkan. Perasaan dicintai seseorang.

“Kenapa enggak dari dulu-dulu ya kita begini?” Leo mengelus kepala Sha lembut, menciumi keningnya, “Kenapa baru sekarang gue ketemu elo lagi?”

Sha menyandarkan kepala di dada Leo yang bidang, mendengarkan detak jantung Leo. Jemari kiri Sha menyusuri bulu dada Leo yang lebat. Leo memeluk Sha semakin erat. Sha terdiam dan memejamkan mata, menikmati.

Sha hanya menurut ketika bibir Leo menelusuri wajahnya dan bermuara di bibir. Rengkuhan tangan Leo mengelus punggung Sha lembut, titik erotisnya dijelajahi. Sha memejamkan mata. Menikmati detik demi detik. Merasakan setiap sentuhan dengan segenap perasaan. Leo menggeser tubuh kekarnya agar berada di atas Sha lagi, siap menyetubuhinya.

Di batas awang antara benar dan salah, menguar sisa alkohol dan sisa asmara yang pernah terjalin dan sempat terputus. Suara pendingin ruangan menderu, mengimbangi napas-napas yang saling berpacu, gairah yang mulai memburu.

Bibir mereka masing saling melumat.

“Pelan…” pinta Sha ketika Leo siap menerjang, hanya berjarak beberapa inci. Sudah terlambat untuk menolak, atau berdalih, atau pergi dari sini. Ah, sudahlah nikmati saja, pikir Sha.

Mereka pun bercinta sekali lagi.          

 

You’ve seen darkness and rain, heartache and pain,

Nothing but memories left,

You’re the only mistake that I know I will never forget…

I held on to your heart, and I played my part

Knowing you couldn’t let go…

Gareth Emery—Reckless

 

Some say, morning sex is the purest feeling in a relationship,

Seks di pagi hari itu sangat menantang. Perlu kepercayaan diri yang kuat, perlu rasa percaya dan aman pada hubungan yang tengah dijalani, perlu cahaya temaram dan mungkin beberapa teguk alkohol supaya bisa tetap menikmati. Seks di pagi hari berbeda dengan seks di waktu lain yang diawali dengan makan malam romantis atau quickie sex di tempat tak terduga. Seks di pagi hari memungkinkan pasangan melihat kita dalam keadaan terlelap—dan entah seperti apa ekspresi wajah dan aroma tubuh pada saat itu, will it turns him on or turns him off? Adalah pertanyaan yang selalu melintas di kepala Sha. Seks di pagi hari adalah bukti bahwa semalam—setelah pertempuran mengagumkan di atas ranjang—mereka menginap di tempatnya, bukannya berkemas dan pergi tanpa meninggalkan pesan. Sebagai perempuan penganut kebebasan yang tidak mudah berkomitmen, Sha paham benar, itu adalah awal dari rentetan kesalahan yang kelak terjadi.   

Leo merengkuh tangan Sha, meminta Sha duduk di atas pahanya.

Leo memacu gerakannya lebih cepat. Sha menggigit bibir, berusaha menahan sakit dan nikmat yang mendera bersamaan. Sha pantang memberikan pujian pada lelaki. Tahu kan bagaimana sikap lelaki jika performa di atas ranjangnya dipuji berlebihan? Yup, jumawa! Seks mengubah segalanya, pria akan berpikir sudah menguasai perempuan dan bisa pergi kapan saja, sementara perempuan berpikir sudah berkorban dan merasa berhak menuntut sesuatu. Sha masih larut di dalam pikiran kacaunya saat tiba-tiba Leo mencakar punggungnya.

“Aaarhhhh…” Sha terlonjak, tidak bisa menahan teriakannya.

Itu bukan erangan sakit atau protes, tapi rintihan penuh kenikmatan. Leo tahu Sha suka sedikit dikasari, membuktikan memang seks selalu terasa nyata dan nikmat. Sialan! Sialan! Sha merutuk dalam hati.

Bring it on, Baby…” Leo tersenyum lebar, melihat manuver demi manuver yang dilakukannya tepat sasaran dan membuahkan hasil yang diharapkan, kepuasan partnernya. Leo berusaha memegang lengan Sha, entah karena guncangan orgasme, entah karena pengaruh alkohol, tubuhnya menggelinjang tak keruan.

Nah bener kan, JUMAWA! Rutuk Sha dalam hati. Sha membelalakkan mata, berusaha keras meraih kesadarannya kembali. “Gue bersihin dulu…,” gumamnya.

“Jangan.” Leo masih menahan lengan Sha hingga ia tidak bisa beranjak pergi. Leo menggoyangkan pahanya dan memaksa Sha mengikuti iramanya. Cairan orgasme yang mengalir menimbulkan bunyi.

“Gue ga nyaman…” protes Sha, sembari melepaskan diri, menggapai tisu. Sha menunduk malu tak berani menatap Leo. Kenapa sih gue bisa orgasme duluan? Sialan! Mana gue basah banget! Sha masih merutuk dalam hati.

It’s okay, it’s an achievement,” bujuk Leo sambil membimbing tangan Sha agar berada di atas tubuhnya lagi. “You’re doing good, Baby, it’s always be my pleasure to satisfy you…” kata Leo sambil menatap mata Sha tajam, entah mengapa ada ketulusan di nada suaranya.

Sha masih terdiam sejenak.

Woman on top! How I hate this position!

Pagi ini, Leo, lelaki bajingan yang pernah menjadi kekasihku itu, menyuguhkan dua hal yang dia paham betul sangat-sangat aku hindari; morning sex and woman on top! Entah ia ingin balas dendam karena hubungan kami kandas dengan cara yang kejam, entah ia ingin membuatku kewalahan, atau entah ia tidak peduli pada apa pun, hanya ingin bercinta. Aku lupa kapan terakhir kami bertemu, tentunya waktu sudah menggilas kecantikanku dan memudarkan perasaan cintaku padanya. Aku tidak nyaman dilihat lelaki dari bawah, ketika payudaraku bergoyang tak keruan dan kerutan wajahku tak lagi bisa tersamarkan.

 Meski aku rajin merawat diri, pasti penampilanku tak secantik dan sekencang saat aku menjadi kekasihnya dulu, ketika usiaku masih di awal dua puluhan. Aku menyangga payudaraku dengan kedua tangan. Seakan menyadari kecanggunganku, Leo meraih tanganku dan menopangkan di tubuhnya. Nah ini, masalah baru lagi, di mana seharusnya aku meletakkan tangan saat berada di atas tubuh lelaki? Di perutnya? Di pahanya? Di mana? Ini semua membuatku semakin terlihat kikuk!

Wajah Leo berubah!

Aku menyadarinya. Meski ia tersenyum menatapku, raut wajahnya berubah datar. Aku mengerutkan kening. Mungkin aku terlalu basah sehingga tidak bisa mencengkeram ‘miliknya’ dan memberinya kepuasan. Mungkin aku benar-benar jelek dan bau saat diajak bercinta pagi ini. Mungkin Leo sudah bosan dan ingin segera meninggalkanku karena sudah berhasil ia tiduri—sekali lagi.

Demi Tuhan!

Sha berusaha sadar, menyebalkan berpikir macam-macam saat bercinta. Kapan lagi gue bisa mendapatkan kenikmatan seperti ini? Seharusnya momen ini dinikmati bukan dipikirkan! Sha menelan ludah dan berusaha fokus pada Leo.

Leo mengambil alih permainan, berusaha tetap tersenyum namun sorot matanya hampa, ia bahkan sudah tak menatapku, sampai akhirnya ia menumpahkan spermanya lagi di rahimku.

Leo terkapar di sebelah Sha, selesailah sudah permainan.

“Bahaya sekali, keluar di dalam terus, kalau gue hamil, gimana?” protes Sha.

“Kita nikah aja!” tukas Leo cepat, “Emang kapan terakhir kali elo mens?” Leo merengkuh kepala Sha dan meletakkan di dadanya, menciumi rambut Sha perlahan.

Sha terdiam, “Entah!” jawabnya pendek. Sejak Martin meninggalkannya, petualangan seksnya berakhir, ia tak peduli kapan terakhir mens. Percuma saja diingat, tidak aktif berhubungan intim ya tidak akan hamil.

“Tenang saja, kalau elo hamil, gue akan tanggung jawab!” tukas Leo.

Sha tersenyum skeptis. Tipikal lelaki, pandai mengumbar janji. Do I have to believe in his word? Hell no… pikir Sha dalam hati.

Hening.

Untuk sementara, Leo dan Sha hanya saling tatap, mendengar detak jantung, mengikuti irama nafas, dan larut pada pikiran mereka masing-masing.

Good morning, Beautiful…” Leo memecah keheningan.

Good morning, Stranger…” balas Sha geli. Jemarinya menyusuri bulu dada Leo, terus menurun ke bawah, memutar di perutnya yang juga berbulu lebat, terus menggoda menuju bagian bawah hingga…

Stop! Stop!” pekik Leo sambil tertawa.

“Wow…” Sha tertawa keras saat jemarinya menggenggam ‘barang’ Leo yang kembali tegak berdiri, “Do you still want more?” godanya.

“Gue mandi aja ah, daripada digodain melulu…” Leo melepaskan pelukannya dan mencium Sha sekali lagi.

Sha menunggu Leo mengucapkan kata ‘I love you’ –or maybe, ‘thank you’?

Leo beranjak dari tempat tidur dan meraih handuk.

Ponsel Sha berdering nyaring. Ia menggapai dan menatap layar.

Martin is calling…

“Siapa yang nelpon elo sepagi ini?” tanya Leo, penasaran.

“Ini alarm kok, biasanya gue bangun pagi biar engga telat ngantor…” jawab Sha berbohong seraya menekan tombol reject.

“Okay, kalau gitu, gue mandi terus nganter elo ke kantor ya.” Leo mencium bibir Sha sekali lagi sebelum meninggalkannya sendiri.

… dan tak ada kata ‘I love you’, tak ada apa pun, gumam Sha mencelos.

***

Sha masih bergolek malas di ranjang Leo. Kamar ini cukup besar, temaram dan sejuk, sungguh membuatnya sanggup terlelap beberapa menit lagi, terutama setelah membakar ribuan kalori pagi ini. Sha menjejakkan kaki ke lantai, beringsut membuka lemari pakaian Leo. There’s nothing to wear here, gumamnya setelah melihat barisan kaos berwarna hitam berjejer rapi, busana wajib musisi. Ia mengambil kaus berwarna putih berukuran besar, masih tersisa aroma parfum bercampur bau keringat Leo saat kaus ini dikenakan.

Saat Sha berjalan ke luar kamar, terdengar suara ceburan air yang berdeburan. Ah, Leo pasti sangat puas pagi ini, gumamnya. Sha menuju dapur, memanaskan air dan mencari di mana Leo menyimpan kopi hitamnya. Ia memandang sekeliling, untuk ukuran pria lajang paruh baya yang tinggal sendiri, rumahnya sangat rapi. Ia menuangkan dua sendok bubuk kopi hitam sebelum disiram air panas, dengan cepat, Sha tahu mana cangkir yang biasa dipakai Leo.

Sha pernah mengenal Leo sangat dalam. Begitu dalamnya sampai tak ada sekat antara mereka untuk menyembunyikan sesuatu. Hanya bertukar kedipan mata saja, mereka sudah bisa tahu keinginan satu sama lain. Leo sangat menyukai kopi hitam, panas hingga mengepul supaya ia bisa menikmati uap khas yang menguar. Satu cangkir setiap pagi cukup bagi Leo memulai pagi dan menikmati hari. Apes jika Leo bangun kesiangan dan terburu buru menyeduh kopi, ia akan merasa hari itu terkutuk dan ia mendapat sial. Mungkin, hari di mana Leo memutuskan berpisah denganku, dimulai dengan adegan ia terlambat bangun dan tak sempat menyeduh kopi, pikir Sha geli. Tentunya, Sha sadar, bahwa perpisahannya dengan Leo sudah terjadi 12 tahun yang lalu, peristiwa yang sangat menyakitkan bagi mereka berdua. Terutama bagi Sha, yang semenjak putus dari Leo, ia tidak berminat menjalin hubungan dengan siapa pun, hingga ia bertemu Martin dua tahun terakhir. Pertemuan semalam tentunya sangat mengejutkan, seperti sebuah keajaiban, seakan semesta meridhoi mereka sekali lagi untuk disatukan.  

“Masih ingat, rupanya…” Tiba-tiba Leo menyapa dari belakang. Ia hanya berbalut handuk, memamerkan dada bidangnya yang meneteskan air. Ini pemandangan pagi paling indah.

“Gue selalu ingat,” jawabnya sambil memberikan secangkir kopi pada Leo.

Leo menyeruput kopinya perlahan, lalu terbatuk-batuk.

“Kayaknya kebalik deh.” Ia menatap cangkir kopi di tanganku, “Gila, ini manis banget, kopi diabetes!” geramnya sambil mengernyitkan dahi.

“Oh!” Sha menyadari kesalahannya dan menukar cangkir kopi, yang tanpa gula harusnya diberikan untuk Leo, yang diberikan gula tiga sendok harusnya untuk dirinya sendiri, stupid idiota… gumam Sha merutuki dirinya. 

“Nah, ini baru bener…” kata Leo setelah menyeruput kopinya.

Mereka terdiam menikmati kopi, hening memesrai suasana pagi.

“Elo udah engga punya hewan peliharaan lagi?” tanya Sha, “Kayaknya dulu ada yang engga bisa lepas dari piaraan berbulu gitu… hamster.. kelinci…”

“Enggak,” jawab Leo singkat.

Sha menatap ke luar jendela dapur. Di balik embun pagi dan kabut yang samar, ia melihat kolam ikan kecil di sudut. Ini khas Leo, ia tenang jika mendengar gemericik air, inspirasinya dalam bermusik, katanya dulu.

“Tapi, elo engga pernah bisa jauh dari air ya?” tanya Sha.

“Elo ingat semua tentang gue?” Leo balik bertanya sambil mengernyitkan dahi. Entah heran, entah ngeri.

Ya iyalah! Gue masih ingat semua detail tentang elo, Leonardo Emery! Gimana gue bisa lupa sama lelaki pertama di hidup gue. Lelaki yang merenggut keperawanan gue, yang ngasih ciuman pertama, pelukan pertama, semua-muanya yang pertama, yang bikin gue patah hati dan hampir mati. Gue tahu elo luar dalem kali, gue kenal elo enggak setahun-dua tahun aja! Sekarang gue malah penasaran apakah elo masih ada perasaan sama gue atau enggak!  Gue ingat rasa kopi favorit elo, gue ingat makanan favorit elo, warna favorit elo, bahkan kebiasaan kecil yang selalu bikin gue baper! Jawab Sha panjang lebar dalam hati.

“Elo yang enggak berubah,” jawab Sha ngeles. Males banget kalau dijawab panjang lebar dan membuat Leo yakin bahwa mantannya satu ini stres gegara diputusin. Sumpah, enggak keren banget! Lelaki kan suka perempuan yang penuh misteri, enggak mudah ditebak, jual mahal, dan…

“Mandi sana!” kata Leo sambil menyeruput habis kopinya. Kali ini tidak ada kecupan atau pelukan.

Sha menurut, ia berjalan menuju kamar mandi, yang tak sengaja melintasi ruang televisi. Langkahnya berhenti di depan set sofa berwarna terang, jadi di sini gue jackpot semalam, bukan di kamar, pantesan dingin banget, pikirnya.

Sorry semalam…” kata Sha, menyadari bahwa bekas muntahannya sudah dibersihkan, tapi tetap saja meninggalkan bekas dan bau tidak sedap.

Tequilla emang jahat sih,” goda Leo, sorot matanya jahil. Leo paham benar, Sha paling tidak kuat menengak tequilla dan martell, dua jenis minuman beralkohol yang kerap diberikannya saat Sha bersikap menyebalkan.

“Emang harusnya wine sih ya… atau champagne…” Sha berusaha membela diri. Sha bukan pemabuk, juga bukan peminum. Ia mengenali semua minuman beralkohol itu dari Leo, di zaman dulu.

“Dasar tua!” canda Leo sambil tertawa terbahak-bahak.

Sha merengut dan beranjak ke kamar mandi. Saat air dingin membasahi badannya ia baru sadar, ia lupa membawa handuk! Ah, kebiasaan lama memang sulit hilang. Akhirnya ia mengelap tubuhnya yang basah dengan kemeja Leo, sesuatu yang sangat dibenci Leo sejak dulu.

Ah sudahlah, nanti kemejanya aku cuci di binatu, gumam Sha.

Sha melangkah keluar menuju kamar tidur Leo. Sepi, benar-benar tidak ada orang lain di rumah ini. Leo memang hanya hidup sendiri. Saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia melihat Leo sedang duduk di pinggir ranjang, sudah menanti. Tirai jendela sudah dibuka dan cahaya matahari menerobos masuk, membuat ruang kamar ini menjadi nampak lebih luas dan segar.

Sha terkesiap, jantungnya seakan berhenti berdetak.

Matanya tertuju pada foto yang dicetak sangat besar, digantung di atas ranjang. Leo dan seorang perempuan berpose sangat mesra. Wajah perempuan itu dirias Paes Ageng, rias pengantin adat Jawa. Astaganaga, jadi semalam gue ML di bawah foto pernikahan Leo dan istrinya, di ranjang mereka!

“Elo sudah merit?!” Suara Sha melengking nyaris berteriak

“Sha…” Leo menghampiri, berusaha mencekal lengannya.

“BANGSAT!!” Sha mulai memaki.

Secepat kilat ia melepaskan kemeja Leo dari tubuhnya, membuang ke lantai. Meraih pakaian yang tersebar di atas sofa di dekat ranjang. Napasnya memburu sambil mengancingkan rok spannya. Sha terus meracau tak jelas.

“DENGERIN GUE!!” Akhirnya Leo membentak, mengimbangi suara Sha, mencekal kedua lengan Sha agar ia mau mendengarkannya.

“ELO YANG DENGERIN GUE!” balas Sha lebih keras, “Harusnya elo bilang kalau elo udah merit! Jangan bikin gue jadi feeling guilty begini dong! Gimana kalau sampe bini elo tahu?” Sha masih meracau.

Perusak rumah tangga orang lagi tren banget sekarang. Istri sah melabrak selingkuhan, disorot media, sedangkan lelaki pelakunya lepas dari hujatan masyarakat. Padahal, kalau dipikir-pikir enggak akan dua perempuan itu bersiteru kalau si laki-laki enggka memulai masalah. Tapi orang akan menilai Sha berbeda, dengan kesuksesan karirnya, ia juga akan dicap sebagai perawan tua yang putus asa sampai mau tidur dengan suami orang. Ya semacam itulah!

Romantisme sesaat yang tadinya mengisi perasaan Sha karena bisa bertemu dengan Leo, cinta pertamanya langsung lenyap begitu saja, digantikan badai amarah yang meledak-ledak menghantam apa saja yang berusaha menahannya.

“MANA KUNCI MOBIL GUE?!” Sha masih berteriak-teriak sebal.

“Gue taruh di tas elo semalam!” jawab Leo perlahan. Lelaki itu sadar betul sifat mantan kekasihnya, kalau sudah marah meledak-ledak tidak ada yang mampu meredam. Percuma, biar dia reda sendiri.

Sha masih tak berhenti memaki Leo sambil mencari kunci mobilnya di tas. Ah! Akhirnya ia menemukannya! Sha menoleh ke arah Leo, di atas ranjang tergeletak blazer hitam kesayangannya, ia ingin mengambil tapi sudah malas mendekati Leo. Sha memicingkan mata, berusaha mengingat berapa ronde making love mereka yang dahsyat sejak semalam.

Pria ini bukan pria asing. Ia bajingan yang pernah menghuni hatinya di masa lalu. Bajingan yang pernah ia cintai mati-matian hingga akhirnya melepasnya tanpa alasan. Bajingan yang membuat hidupnya hancur berantakan.

Baby… please stay…” pinta Leo memelas.

I’m not your baby…” Sha memutar kenop pintu, langkahnya mantap untuk meninggalkan Leo, sekali lagi.

***

Sha memacu hatchback putih kesayangannya.

Jalanan sudah sepi, tidak seramai biasanya jika ia berangkat kepagian. Sha memejamkan mata dan menekan pedal gas lebih dalam. Bangsat! Keparat! Gimana ceritanya gue bisa jatuh ke pelukan bajingan satu itu lagi?! Dia menjadi mantan kekasih pasti karena ada alasan, pasti dia membuat kesalahan yang tak bisa ditolerir, kenapa gue jatuh ke pelukannya sekali lagi dan menjadi tolol luar biasa? 

Tequila…

Ah jelas! Pasti karena pengaruh minuman beralkohol kelewat batas daya tampung lambung. Seandainya gue ketemu dia di tempat terang dan dalam kondisi sadar, pasti amit amit diajak begajulan begini!

Sha masih merutuk sepanjang perjalanan menuju kantor.

Pukul sembilan lewat lima menit, artinya ia sudah terlambat satu jam lebih. Sial! Sha semakin merutuk saat ingat hari ini ada rapat penting dengan calon klien potensial jam sepuluh pagi dan materi presentasinya belum sepenuhnya siap. Sha menekan pedal gas lebih dalam, berharap Dewi Fortuna sekadar singgah untuk memperbaiki perasaan—atau setidaknya, memperlambat laju waktu. Bulir keringat dingin mulai membanjiri kening. Ia paham betul tak boleh terlambat atau bos yang super galak itu akan mencincangnya hidup-hidup pagi ini.

Tapi, hey, bahkan seorang Leo pun, akhirnya menikah.

Tiba-tiba saja pikiran itu mencuat di benak Sha. Entah harus salut dan ikut bahagia atau menyesal karena pernah meninggalkannya. Di perempatan terakhir ia memperlambat laju mobil, berbelok menuju kantor dan memarkir mobil di ujung lahan, lokasi yang paling dekat dengan pintu masuk gedung. Semua orang di dunia juga tahu bahwa Shalindra Zayn adalah perempuan yang paling malas olahraga, berkeringat, atau sekadar jalan kaki dengan sepatu bermerk berhak 12 sentimeter. Sha mengunci mobil, dari bayangan di jendela, ia memastikan semua kancing blusnya sudah terkancing rapi. Ia tergesa masuk ke gedung.

“Shalindraaaa….” teriak seseorang memanggilnya.

Sha menoleh mencari sumber suara.

Intan, si manager keuangan, berlari ke arahnya, tergesa. Biasanya ia membawa kabar buruk, kalau bukan menagih uang, pasti soal amarah bos besar.

I know… I know… I’m late…” Sha terus berjalan menuju ruangan kerjanya, Intan menjajari langkahnya.

“Elo kenapa masih ngantor hari ini?” tanya Intan heran, suaranya melengking. Beberapa pegawai yang mereka lewati sampai menoleh ke arah mereka.

Meeting sama bos besar, dan gue lupa dong, dan bahan presentasi gue masih berantakan, dan gue bego banget pagi ini,” jawab Sha sambil tergesa memasuki ruangan, menyalakan komputer, lalu sibuk mencari berkas rapat.

You don’t have to work that hard, you know…”kata Intan, “Take a week off, we will understand…” lanjutnya sambil menatap Sha tajam.

Sure, I have to work hard, I need this job to pay off all of my bills,” gumam Sha menjawab. “I need this job…” ulangnya tegas.

“Sha! Ada yang lebih penting elo urus hari ini, elo ga harus ada di sini dan memaksakan diri banget sekarang,” kata Intan keras.

What the hell are you talking about?” Perhatian Sha beralih pada Intan. Tak biasanya suaranya sekeras ini.

So, you don’t knowyet?” Intan balik bertanya.

Sha mengernyitkan dahi, berharap Intan memberikan informasi jelas. Paling males deh main tebak-tebakan begini saat sedang terburu-buru.

“Shalindra…” Anton membuka pintu ruangan mereka, ia terkejut melihat Sha. “I’m really sorry for your lost…” Tiba-tiba Anton memeluk Sha erat, “Be strong… this too shall pass… Martin orang baik, dia pasti sudah tenang, stay strong, Sha!”

Anton keluar dari ruangan tanpa mengucap apa-apa lagi.

“Ini barusan… maksudnya gimana?” Sha menatap Intan kebingungan.

Intan menatap Sha prihatin.

“Martin Arkana Meidiawan, meninggal karena serangan jantung. Beritanya ada di semua televisi pagi ini,” kata Intan perlahan.

“Hah?” Sha mengernyitkan dahi.

Rasanya tidak percaya pada apa yang barusan ia dengar. Sha terdiam, masih mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Seingatnya, tadi pagi Martin masih menelepon saat ia bersama Leo, ia sengaja me-reject

“Elo ga bercanda kan…” tanya Sha skeptis.

Your husband passed away, Sha. I’m sorry for your loss.” Intan menatap mata Sha dalam-dalam, ada nada aneh yang sulit dimengerti di balik suaranya, “It’s surprising me that you’re still here… and know nothing about him,” ujarnya.

Intan meninggalkan Sha sendiri. Sha jatuh terduduk di lantai. Semua terasa berat, menghantam bertubi tanpa peringatan. Kepalanya berputar, kali ini ia kehilangan kendali.

Samar terngiang ucapan Intan, “Your husband passed away, Sha…”

***