cover landing

Ketika Aku Akan Mati

By Lisma Laurel


Pagi sebelum Diana kecelakaan adalah pagi seperti kemarin. Tidak ada tanda-tanda. Tidak ada isyarat. Segalanya berjalan dalam rutinitas monoton yang membosankan.

Setiap hari, Diana terbangun ketika mendengar kokok ayam. Lalu dia akan turun dari kasur dengan perlahan karena takut membangunkan Riana, putri bungsunya. Kemudian Diana akan mencuci beras, menyalakan kompor dan menanak nasi. Sembari menunggu nasi matang, dia akan cepat-cepat mandi. Setelah itu, dia akan memasak lauk dan sayur, yang hampir setiap hari harus berbeda supaya anak-anaknya tidak rewel makan. Begitulah rutinitasnya setiap hari.

Namun, beberapa kali—yang waktunya tidak bisa diprediksi—rutinitas Diana akan menjadi morat-marit apabila Riana yang berusia tiga tahun, bangun tidur dan minta digendong.

Seperti hari ini.

Sebelum Diana menginjakan kaki ke lantai, Riana telah bangun. Dia membuka mata kecilnya. Lalu menangis tanpa alasan.

Diana menghela napas panjang. “Cup… cup… cup….” Diana kembali ke kasur. Dia memeluk anaknya yang sedang menangis.

“Aku masih ngantuk, Din,” kata Ramlan, suami Diana, “Bawa keluar gih.”

“Sudah dinihari, Mas. Tidak bangun?”

“Lima belas menit lagi. Aku ngantuk.”

Diana tidak menjawab. Dia malas berdebat. Ini sudah biasa. Ramlan sering berkata lima belas menit lagi, lima belas menit lagi, tapi pada akhirnya dia akan bablas tidur dan ketika bangun nanti akan berkata kepada Diana, “Kenapa tidak dibangunkan? Aku kesiangan kerjanya.”

Riana berada di gendongan Diana. Suara tangisan Riana memenuhi penjuru rumah.

“Adek kenapa sih rewel? Udah, berhenti dong. Adek kan udah besar.”

Diana mencoba menenangkan Riana, tapi bocah itu masih tetap saja menangis. Walaupun sudah menjadi ibu selama bertahun-tahun, tapi bagi Diana, menjadi ibu tidak pernah ada mudahnya.

Klek. Diana membuka pintu rumah. Udara dingin menyusup sampai ke tulang. Diana mendekap Riana supaya tidak kedinginan. Kepada Riana, Diana menunjukan banyak hal: tiang rumah, jendela, pohon, pintu dan bulan di langit.

“Buyan?” tanya Riana dengan suara cadel.

Kini, tangisannya mulai reda. Baru kali ini Diana memperkenalkan bulan kepada Riana. Barangkali untuk seterusnya, kalau Riana sedang rewel, dia bisa menunjukan bulan.

Diana menunjuk bulan bundar di langit malam. “Iya, bulan. Bagus, ya?”

Riana menatap bulan dengan mata berseri-seri.

“Adek lihat bulan dari balik jendela, ya? Ibu mau masak. Oke?”

“Oke,” jawab Riana.

Dan rutinitas pagi pun terlaksana dengan jumpalitan. Sesekali Riana akan memanggil ibu, dan Diana harus cepat datang supaya anak itu tidak rewel lagi. Biasanya kalau sekali rewel, sepanjang hari pun akan rewel.

Pada pukul enam pagi, seluruh makanan terhidang di meja makan. Namun, bagi seorang ibu seperti Diana, tidak ada pekerjaan yang benar-benar selesai. Masih ada segudang pekerjaan yang menanti untuk dikerjakan, seperti menyapu, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan halaman, melipat baju, pun beberapa hari sekali akan membersihkan kamar mandi dan mengepel lantai.

Semua pekerjaan itu biasanya akan dia kerjakan setelah anak-anak berangkat sekolah dan Ramlan bekerja. Sebelum itu dia akan menjadi alarm hidup yang menyuruh Rinjani, anak pertama yang berusia tujuh belas tahun, dan Rika, anak tengah berumur tiga belas tahun untuk cepat-cepat makan, memakai sepatu, serta lekas berangkat. Untuk Ramlan, Diana sibuk menyiapkan bekal di tempat kerja. Hidup bagi seorang ibu memang penuh kesibukan.

Setelah Rinjani, Rika dan Ramlan pergi, Diana memandikan Riana. Kemudian dia menyuapi Riana.

Jam terus merangkak, beralih dari satu angka ke angka lain. Sebentar lagi setengah sepuluh. Biasanya Riana akan tidur jam-jam segini. Diana juga ingin tidur di dekatnya. Dia sedang lelah sekali. Kemarin malam dia tidak bisa tidur lelap karena Riana menangis terus.

Namun, ponselnya berdering. Tertulis nama Rika di sana. Diana menerima telepon.

“Ibu, bawakan buku tugas yang tertinggal. Setelah istirahat jam pelajarannya. Aku tidak mau dihukum, Bu.”

Untuk sejenak, Diana memarahi putri tengahnya. Rika menangis tersedu-sedu.

“Ibu, aku tidak mau dihukum. Ibu….” rengek Rika.

Diana merasa tidak tega anaknya seperti itu. Dia pun bertanya di mana Rika meletakan buku tugasnya?

“Kayaknya di depan TV, Bu. Aku kemarin ngerjain di sana.”

Buku tugas itu memang ada di ruang keluarga, tergeletak tepat di bawah rak televisi. Tidak ada seorang ibu yang bisa menang dari anaknya. Diana segera mengeluarkan sepeda motor. Bersama Riana, mereka melaju di jalan raya. Panas. Letih. Diana ingin beristirahat hari ini.

Tin….

Bunyi klakson terdengar dari belakang. Nyaring. Diana melihat dari spion. Sebuah truk melaju tanpa kendali. Dan selanjutnya yang terjadi adalah hal yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Truk itu menabrak dari belakang. Riana terpental. Diana ambruk ke aspal. Panas. Anyir. Diana dapat merasakan ajal telah ada di depan mata. Orang-orang mulai berlarian ke arahnya. Dunia Diana mulai menggelap.