cover landing

Keep My Promise

By Admara Talia


Denpasar, Juni 2013

Napas yang memburu memaksa mata Balin untuk terbuka dan beradaptasi dengan gelapnya kamar. Tersadar badannya sedari tadi kaku, ia meregangkan tubuh. Dengan tubuh masih berbaring, ia mengingat-ingat apa yang membuat badannya begitu kaku. Mimpi buruk. Ia ingat. Mimpi buruk adalah alasan yang membuatnya terbangun di tengah malam dan membuat jantung berdegup kencang. Seolah-olah ia habis berlari jauh. Seseorang yang menyeramkan mengejarnya di alam mimpi.

Seseorang yang tak dikenal mengejar Balin dan ingin membunuhnya. Sekuat tenaga Balin berlari, tetapi rasanya kakinya tak bisa berlari jauh hingga ia terjebak. Ketika Balin tidak bisa menyelamatkan diri dan pasrah terhadap apa pun yang akan menimpanya, Balin terbangun. Napasnya memburu.

Ia bersyukur jika semua itu hanyalah mimpi. Meski setelahnya, ia tak bisa dan tak ingin mimpi itu hadir kembali. Sesungguhnya, ia ingin keluar dari situasi yang paling menyesakkan dalam hidupnya.


Dua tahun sebelum itu .…

Ketika sedang menjalani skripsi, Balin pernah mengalami hal serupa. Mimpi buruk. Tak bisa menikmati nyamannya tidur malam. Rasa makanan favoritnya terasa sangat hambar. Ia kira ia hanya mengalami sindrom skripsi saja. Kenyataannya, ia melakukan hal di luar kebiasaannya.

Ia berkeliling Denpasar dengan berjalan kaki demi menghilangkan mimpi buruk itu. Bahkan ia bisa berjalan kaki sampai ke Kuta dan kembali lagi malamnya.

"Balin! Kamu ngapain di sini?" tanya Hita ketika tak sengaja menemukan Balin duduk di kursi pinggir trotoar daerah Legian. Sore itu, Hita baru saja pulang dari klinik miliknya. Dengan wajah pucat, Balin hanya mengamati Hita yang turun dari motor dan melepas helm. Hita membiarkan motornya di pinggir jalan.

"Mana motor kamu?" Hita mengambil tempat duduk di sebelah Balin. Namun, Balin tidak menjawab. Ia bergeming mengamati kendaraan lalu-lalang. "Wajahmu pucat. Kamu belum makan? Apa kamu nggak punya uang? Ah! Nggak mungkin anak juragan sapi Praya kehabisan uang." 

Hita masih memperhatikan Balin yang diam saja.  "Kamu nggak bawa motor?" Balin menggeleng. Hita sontak terkejut. "Jalan kaki dari Denpasar?" 

Balin tersenyum dan menatap Hita, membuat rasa kaget Hita bertambah dua kali lipat. Setelah itu, Hita membelikan Balin makanan dan mengantarnya pulang ke kosannya.

Setelah itu, Hita mengajak Balin ke psikiater dan itu menimbulkan pertengkaran. Balin tidak menganggap dirinya bermasalah, sementara Hita menganggap Balin perlu terapi. Balin yang keras kepala tetap tidak mau. Pada akhirnya, Hita memaksa Laksmi, seorang psikiater, untuk menemui mereka di restoran Legian.

"Hita. Kamu menganggap aku apa?!" emosi Balin meledak tanpa peduli pengunjung di restoran itu menatapnya. Kertas kuesionernya dikembalikan ke psikiater itu.

"Balin ... duduk dulu ...." Hita meminta Balin duduk dengan suaranya yang tenang.

"Hita. Psikiater itu dokter kejiwaan. Aku nggak merasa jiwaku terganggu!" Balin mendekatkan dirinya ke Hita dengan telunjuk diarahkan ke dadanya. "Apa kamu melihat aku meracau tidak jelas seperti orang gila itu yang nggak tentu arah?" Kini giliran telunjuknya diarahkan keluar meski tak tahu ditujukan kepada siapa.

Hita membalas, "Kalau aku biarkan, kamu akan luntang-lantung sepanjang jalan Denpasar-Legian!"

"Hei! Aku hanya berjalan-jalan dan membuang mimpi buruk!" Balin masih ngotot.

"Nggak ada manusia biasa yang mau berjalan kaki dari Denpasar ke Legian. Aku tidak mau melihatmu berkeliaran di Legian, Kuta, dan Denpasar. Apalagi kamu sekarang sedang skripsi. Aku nggak mau masa lalumu membayangi terus."

Hita memang sudah tahu bagaimana masa lalu Balin ketika ia terusir dari kampungnya. Balin menceritakan padanya ketika mereka masih sering bersama di kampus. Balin mengarahkan pandangannya ke samping restoran.

"Balin. Kamu calon dokter hewan. Kita sama-sama dokter. Harusnya kamu tahu bagaimana perasaan dokter ketika ingin mengetahui penyakit tapi ditolak pasien."

"Aku dokter hewan. Pasienku hewan. Dia dokter kejiwaan. Pasiennya?"

"Nggak ada salahnya kan mengisi kuesioner ini. Toh, kalau kamu merasa nggak ada apa-apa, nggak ada pengaruhnya kuesioner ini." Hita masih membujuk.

"Tapi kamu sudah menganggapku aneh!"

"Please." Hita sudah tidak ingin berdebat.

Hita dan Balin saling bertatapan. Balin hafal betul. Tatapan Hita seperti itu pertanda sebuah permohonan. Itu terjadi berkali-kali ketika mereka sedang berada di kampus. Entah meminta Balin menemaninya ke suatu tempat, membantunya di laboratorium, atau membantu mencetak laporan ketika Hita masih harus mengerjakan pekerjaan lain. Permohonan itu masih biasa. Namun, kali ini permohonan itu begitu menyebalkan. Hita menjadi sangat menyebalkan.

Hita tidak salah, karena kemudian Balin didiagnosis mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), gangguan stres pascatrauma. Balin mencoba membuktikan bahwa yang dikatakan psikiater itu salah. Meski Hita selalu mengatakan dia tidak gila, Balin akan membuktikan kalau gejala-gejala yang dianggap PTSD itu tidak akan muncul lagi. Balin ingin membuktikan kalau mimpi buruk itu tidak akan mengganggu malam-malamnya lagi, meski ia belum berhasil membuktikannya. Meski sampai malam ini, mimpi buruk masih selalu menghantuinya. 

***