cover landing

Kecanduan Susu Tetangga

By Marion D'rossi


Nah, jadi begini. Gue mulai cerita ini dari mana, ya? Oh, ya. Oke, ahem. Gue mulai dari awal aja. Karena kalau mulai dari akhir, kalian semua bakalan bingung.

Well, perkenalkan dulu, nama gue Malik. Nah, beberapa orang suka manggil gue Milk karena gue suka sama susu. Setiap tiga kali sehari, gue minum susu. Badan gue bisa dibilang sehat. Agak gemuk atau gempal, tapi perut gue kotak-kotak karena selalu berolahraga dengan teratur. Wajah gue nggak bisa dianggap jelek karena gini-gini gue punya mantan yang nggak lupa sama gue sejak tiga tahun lalu.

Nggak percaya? Oke, jadi gini ceritanya. Waktu itu, gue masih duduk di bangku kelas dua SMA dan putus sama diamantan guesi Nimas yang tubuhnya sangat bohay dan bahkan mampu bikin semua cowok mana pun kesengsem sama dia, masih ngejar-ngejar gue dan minta buat ganti duitnya yang dulu sempat gue pinjam sewaktu ngajak dia nonton ke bioskop. Gue lupa bawa dompet waktu itu. Bukan karena gue kere. Gini-gini, gue putra dari pengusaha kaya raya.

Lah, kok jadi bahas mantan? Ah, sudahlah. Kita lanjut.

Kita kembali ke topik awal. Nah, pekerjaan gue saat ini jagain anggur di kebun Papa alias nganggur. Walaupun nganggur, tapi gue tetap dapat gaji dari Papa karena gue adalah anak kesayangannya. Dan nggak lupa juga, gue kuliah di Universitas 45 jurusan Ekonomi, walaupun sebenarnya gue jarang masuk, sih. Gue males banget kuliah. Emang buat apa kuliah lagi? Toh, gue punya Papa yang kaya raya.

Gue anak satu-satunya tanpa saudara. Sebenarnya dulu Mama gue pernah pengin buat anak lagi, tapi kata Papa ngurus satu anak aja susahnya minta ampun. Dan nggak jadi, deh. Nah, karena itulah gue jadi kesayangan Papa, kecuali Mama yang selalu pengin punya anak cewek. Kata Mama, anak cewek lebih menguntungkan. Gue ngerti, sih kenapa Mama lebih milih buat punya anak lagi. Gue emang pemalas dan susah diatur.

“Ma. Kalau Mama emang segitu penginnya punya anak, Malik bakalan cepat-cepat nikah, deh. Gimana, Ma?” kata gue suatu hari.

Nikah? Mau kamu kasih makan apa nanti anak dan istri kamu?” Begitulah ucap Mama gue. Padahal tinggal kasih gue duit doang. Gitu aja kok, repot.

“Mama sama Papa kan punya perusahaan gede. Pabrik susu, lagi. Nah, jadi Malik ceritanya kerja—”

“Malik, diam!” Mama memotong dengan lugas sembari meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya yang tebal ... dan seksi, gue rasa. “Kami tidak akan mempekerjakan kamu di perusahaan mama dan Papa sebelum kamu lulus kuliah!”

“Yah ... kuliah itu bikin bosan, Ma. Ayolah, buat apa lagi Malik kuliah kalau Malik ujung-ujungnya jadi pewaris perusahaan Mama dan Papa,” kata gue memelas.

“Kuliah itu penting! Bagaimana kamu bisa mengurus perusahaan kalau kuliah saja malas. Yang ada, perusahaan bisa bangkrut gara-gara kamu, Malik!”

“Benar apa kata Mama kamu. Kamu lebih baik wisuda dulu, Malik.” Itu suara Papa gue. Beliau turun dari lantai dua dan sudah rapi karena mau berangkat kerja setelah sarapan.

“Kalau kamu nikah, siapa coba calon istri kamu? Setahu papa kamu jomlo, kan? Sudah bertahun-tahun, lagi. Kata teman-teman kamu, nggak ada satu cewek pun yang mau sama kamu.

Ini dia, kalau Papa yang ngomong, nggak pakai rem! Ceplas-ceplos melulu. Nggak tahu apa kalau hati gue ini rentan sakit kalau bahas masalah hubungan percintaan.

“Nanti Malik cari mantu buat kalian. Lagian—”

“Baiklah. Begini saja, kata Papa sambil mengatur posisi duduk untuk mendapatkan posisi senyaman mungkin. Wajahnya mendadak serius. Sepertinya Mama juga penasaran sama raut wajah Papa yang berubah jadi serius secara tiba-tiba. Papa emang agak misterius dan susah ditebak.

“Papa berikan waktu tiga bulan. Jika dalam waktu tiga bulan kamu belum juga punya calon, maka kamu harus meneruskan kuliah kamu sampai wisuda untuk bisa mewarisi perusahaan.”

Nah, seketika itu gue ngerasa tertantang sama apa yang dikatakan oleh Papa. Tapi masalahnya, untuk jomlo tetanus kayak gue, waktu tiga bulan itu adalah waktu singkat yang mustahil banget gue bisa dapetin pacar, apalagi calon istri. Namun, gue nggak mau menyerah gitu aja. Gue yakin bisa karena udah minum susu tiga kali sehari. Apalagi susunya diproduksi langsung oleh perusahaan Papa dan Mama.

“Papa—"

“Biar, Ma. Ini akan jadi kesempatan bagus buat Malik.” Papa berbisik, tapi masih bisa gue dengar.

Oke, karena sifat gue yang nggak mau kalah sama siapa pun, akhirnya gue berkata, “Oke. Malik terima tantangan Papa.” Gue mengikuti wajah Papa yang serius.

Nah, sejak saat itu gue mulai berolahraga secara rutin untuk membentuk badan agar lebih atletis dan sixpack.

Hari ini, gue sudah keliling kompleks perumahan sebanyak lima kali—yang jauhnya tiga kilometer. Karena merasa sudah sangat letih, gue berniat istirahat dan duduk di trotoar jalan. Gue mau nyeberang, tapi mendadak badan gue ngerasa nabrak sesuatu dan akhirnya gue ambruk di aspal yang panas.

Tak berselang lama, gue menatap ke depan. Tahu-tahu sudah ada cewek cantik—pakai banget—di depan mata gue. Sayangnya, gue udah nabrak tuh cewek sampai-sampai badannya juga kelihatan agak lecet. Gue mematung menyaksikan kecantikan cewek berbaju merah itu. Rambutnya yang lurus seperti duta sampo dan lembut itu emang pas banget tipe gue. Matanya yang seperti kacang, udah dipastiin pas tipe gue. Body-nya yang aduhai, pas mantab pokoknya.

“Eh! Kalau punya mata difungsiin yang bener, dong! Tembem sialan! Aduh!

Setelah mendengar teriakan itu, khayalan gue berhamburan ke mana-mana. Harapan gue pupus sudah. Kayaknya, dia bukan tipe gue. Ternyata gue salah. Dia suka teriak dan kasar. Sangat nggak anggun di mata gue.