cover landing

Ka(ncut)radingta Anak IT

By Gege Wulan


Prolog

Saya bukan anak IT. Saya terpaksa berada di sini karena saya ingin menghindari si Tua Bangka itu. Apa itu IT? Saya tidak mengerti sama sekali. Saya cuma tahu bahwa anak IT itu serba bisa. Jika ada benda yang rusak, maka dengan bantuan anak IT, itu akan teratasi. Jadi, tidak ada salahnya jika saya terjun ke dunia IT meskipun saya tidak tahu sama sekali ada apa di dalamnya.

Lagi pula di sini saya adalah bos. Saya punya bawahan yang bisa saya suruh-suruh menyangkut pekerjaan. Saya juga yakin bawahan saya lebih mahir dan pintar dalam dunia IT karena mereka masuk ke perusahaan ini pun, berdasarkan uji coba yang susah. Saya tahu karena sesekali saya pernah mengintip apa saja yang karyawan lakukan di sini ketika ingin merekrut anak baru.

Maklum, perusahaan ini meskipun bukan punya saya, Om saya yang punya kendali besar. Dia komisaris sekaligus CEO-nya. Ya beruntungnya  saya adalah dilahirkan di keluarga kaya dari berbagai macam bidang salah satunya startup ini. Sebenarnya ini pertama kalinya saya hidup dan besar di Indonesia. Banyak hal yang saya tidak ketahui tentang tren yang sedang terjadi di pasar apalagi yang berkaitan dengan dunia IT. Saya juga tidak tahu soal gosip atau apa pun karena saya tidak pernah berbincang atau tertawa bersama para bawahan saya. Mereka selalu menghindari saya atau menatap saya dengan tatapan... aneh.

Biasanya saya akan menggunakan kekuasaan saya untuk membalas tatapan dan kadang ketika menangkap mereka sedang membicarakan saya, di saat itu juga saya akan menghukum mereka dengan sesuatu yang menurut saya menarik.

Saya tidak tahu IT karena pekerjaan saya sebenarnya adalah....

Ah saya tidak mau membocorkannya di awal cerita. Terlalu cepat. Intinya adalah di kantor ini saya bisa mengerjakan apa pun tanpa harus menuruti apa kata orang di kantor ini. Saya punya kendali dan Om saya pun tidak bisa berbuat apa-apa karena dia pasti lebih takut kalau saya kumat lagi. Kumat dalam hal apa? Rahasia.

Saya punya jurus sih kalau para bawahan saya tidak menuruti perintah saya. Cukup katakan, “Kamu kan anak IT.” Dengan senyum manis tanpa kedip dan ragu sedikit pun.

Dan itu selalu berhasil. Saya gitu loh.

Karadingta.

  1

 

Wah bahagianya diriku yang akhirnya wisuda juga. Duh, Tauvan di mana ya? Katanya dia mau datang ke wisudaku. Tapi dari tadi tak tampak batang hidungnya.

"Jeta, kamu lagi nunggu siapa sih? Umi lapar nih. Mana panas banget lagi pakai kebaya gini," keluh Umi sambil mengipas-ngipas wajahnya yang kepanasan.

"Tahu, mana tadi antri foto wisuda lama banget dan sekarang lo belum mau pulang juga. Gerah, Ta!" tambah Cacan dengan bibirnya yang mengerucut.

Aku menatap mereka sebal. "Mi, Jeta tungguin si Tauvan. Katanya dia mau datang!" sergahku.

Abi hanya menggelengkan kepalanya. "Abi bingung kemarin perasaan bilangnya udah putus deh."

"Abi, Jeta emang sempat putus sama Tauvan. Tapi balikan lagi kok dan dia janji mau datang ke wisuda Jeta," jelasku. Ya hari ini adalah hari wisudaku dalam mendapatkan gelar sarjana komputer. Akhirnya aku berhasil juga menyelesaikan masa kuliahku tepat waktu yaitu empat tahun.

"Si Botak itu tukang ngibul. Udah deh. Masih aja lo percaya dia, Ta," keluh adik priaku satu-satunya ini.

Aku menatapnya sinis. "Heh! Dia emang botak! Tapi dia lebih ganteng daripada lo!" ucapku marah.

Cacan malah memegang rambutnya bangga. "Yang penting gue punya rambut. Nggak kayak si Tauvan itu."

"Dia tajir! Dia kerja di perusahaan ternama! Mau apa lo?!"

"Wajarlah. Dia kan cucu pemilik tuh perusahaan. Nggak heran dia kerja di sana," cibir Cacan.

Ingin kutimpuk muka si Cacan menggunakan sepatu hak tinggi yang sedang kupakai ini. Adik durhaka.

"Aduh, Umi pusing deh. Ta, bilangin Tauvan apa cepatan. Umi lapaaaar," ujar Umi sebal.

Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Wajar sih Umi lapar secara dari kampus hanya disediakan snack, tidak ada makan siang. Apalagi keluargaku menghadiri wisuda sejak pagi buta. Mereka bangun pagi semua. Belum lagi menunggu aku yang harus didandani oleh perias wisuda. Aku pun membuka ponselku.

K. Arjeta 12.45 : Beb, di mana sih? Katanya mau datang wisuda aku L

Tauvan Brasta My Love : Maaf, Beb, kerjaanku banyak. Kayaknya aku nggak bisa datang deh. Maaf. Titip salam buat Umi dan Abi ya. Nanti aku samperin ke rumah :*

Kuembuskan napasku kasar. Menyebalkan sekali si Botak. Padahal dari jauh-jauh hari aku sudah meminta ia untuk menyenggangkan waktunya di satu hari ini saja dan itu hanya satu jam saja. Tapi apa? Lagi-lagi dia membuatku kecewa. Ingin kutempeleng kepala botaknya itu.

"Ya udah deh. Kita pergi," ucapku pada keluargaku.

"Tauvan gimana, Ta?" tanya Abi sembari menyilangkan tangannya di dada.

Kupandang wajah Abi sendu. Abi adalah pria tertampan sedunia bagiku. Wajahnya yang penuh wibawa dan jenggotnya yang sedikit membuat Abi masih terlihat menarik di usianya yang sudah senja. Abi mengenakan kemeja putih dibalut jas hitam.

"Dia nggak bisa?" tanya Cacan dengan nada remehnya.

"Iya. Puas lo?!"

Cacan malah terbahak-bahak. Ya adikku yang satu ini termasuk salah satu spesies bumi yang ingin kucabe mulutnya. Ia bukanlah sosok adik yang bisa menghargai kakaknya. Bayangkan, aku beda dua tahun dengan dia, tapi dia tidak memanggilku “Kakak”, “Mbak”, atau apa lah sebutan terhadap wanita yang lebih tua. Dia hanya memanggil dengan sebutan nama.

"Udah gue bilang juga apa. Dari muka dia aja kelihatan dia nggak setia, Arjeta."

Aku menatap Umi meminta bantuan. "Umi! Cacan tuh mulutnya cabein deh. Jeta kesal deh. Tauvan kan kerja. Dia sibuk," aduku pada Umi.

Umi yang sejak tadi memegang perutnya kelaparan pun langsung mencubit lengan Cacan kuat. Umi memang yang terbaik tiap kali Cacan menyerangku. Umi itu adalah wanita yang sangat cantik di dunia ini. Umi mengenakan hijab dan sekarang Umi sama sepertiku. Kami memakai kebaya seragam tentunya dengan sedikit motif berbeda dan sesuai umur. Sedangkan si Cacan sama seperti Abi mengenakan kemeja putih dan jas hitam. Cacan hanya mengelus lengannya yang kena cubit Umi tanpa berkata apa-apa lagi.

"Ya udah, ayo pulang," ajak Abi.

Tiba-tiba saja panggilan alam datang menghampiri perutku. Aku harus ke kamar mandi. "Bi, Jeta ke toilet dulu ya. Abi, Umi, sama Cacan duluan aja ke mobil. Ntar Jeta nyusul," terangku sambil memegang pantatku. Sialan, kenapa sakit perut ini datang di saat yang tidak tepat sih?

Cacan menggelengkan kepalanya. Umi melirikku sangar dan Abi memandangku datar, namun setelahnya menghela napas. "Ta, Abi lapar loh," ucap Abi.

Aku menyengir. "Iya, Bi. Mungkin karena tadi Jeta minum susu dari snack tadi jadinya melilit deh," sahutku.

"Buru! Jangan lama-lama!" bentak Cacan.

Aku hanya diam lalu segera lari terbirit-birit meninggalkan mereka semua menuju toilet terdekat. Sialnya sekarang aku wisuda di Jakarta Convention Center di mana toiletnya ada di dalam gedung. Ah menyebalkan. Aku pun berlari sembari mengambil celah dari kerumunan orang yang sibuk foto-foto dengan teman atau keluarga mereka. Aku tak peduli karena aku harus segera menemukan ruangan ketenangan itu. Sial! Ini diujung sekali.

"Permisi woy!" teriakku tiap kali ada orang yang menghalangiku.

Mereka hanya minggir dan menatapku penuh kebencian. Bodo amat deh namun langkahku terhenti ketika....

"Selamat ya, Sayang, atas wisudanya. Maaf aku telat karena kerjaanku banyak." Tunggu suara itu mirip suara....

"Iya, Tauvan sayang. Nggak apa-apa kok. Kamu datang ke sini aja aku udah senangnya minta ampun. Seriusan," ucap wanita berkebaya kuning itu.

Dan di depannya itu beneran Tauvan yang sama dengan pacarku? Kupandang jeli-jeli. Keyakinanku benar sepertinya karena aku bisa melihat kepalanya yang mengkilap. Sialan! Jadi dia datang ke wisuda ini? Dan apa barusan? Sayang? Itu pacar Tauvan juga? Aku menutup mulutku tak menyangka. Jadi Tauvan benar-benar tidak setia seperti yang dikatakan Cacan?

Aku ingin menangis rasanya.

"Kamu tuh kapan sih putusin si Jeta, Yang? Kamu bilang dari dulu maunya putus, tapi aku lihat foto WA kamu masih sama dia. Foto line juga. Lagi pula lebih cantik aku, Yang. Dia itu anak teknik yang biasa aja. Dandan juga nggak. Bahkan dia rada tomboy gitu. Satu lagi dia anak IT, Sayang. Temannya rata-rata cowok. Kamu masih betah aja."

Sial! Aku tidak tahu sih nama wanita ini. Berani-beraninya dia menghina wajahku dan juga jurusanku. Lagipula apa urusannya aku anak teknik? Terus anak teknik harus jago dandan gitu? Hmmm... dia belum melihat saja bagaimana kalau aku dandan. Aku yakin lebih cantik beribu-ribu kali lipat daripada dirinya. Dan masalah temanku rata-rata cowok? Hellooow aku itu anak IT jadi wajar kalau satu jurusan dominan cowok.

"Hehe... belum saatnya. Nggak mudah lepasin Jeta. Tunggu bentar ya. Pasti kok demi kamu." Dasar Botak gombal.

Air mataku tak sengaja menetes. Aku pacaran dengan Tauvan sudah dua tahun. Ya memang selama ini kami sering putus nyambung. Tauvan itu anak ekonomi. Dia satu kampus dulu denganku. Tak kusangka ternyata ini alasan dia sering mengucapkan putus. Pasti ini hanya salah satu wanita yang pernah berkencan dengannya.

Duh, Jeta. Kenapa dirimu bodoh sekali sih? Kenapa tidak pernah percaya dengan omongan para pria di kampusmu bahwa Tauvan sering jalan bersama wanita lain? Ya bagaimana mau percaya. Kan selama dua tahun aku tidak pernah menangkap basah kelakuan Tauvan seperti saat ini. Dasar Botak jahanam.

"Nih ya, Yang. Ya aku tahu sih Jeta itu anak teknik, tapi percaya deh lebih enak sama aku dan aku kan satu gelar sama kayak kamu. Bayangin deh Felisha Vanda S.E dan Tauvan Brasta S.E. Ya ampun kurang sempurna apa coba," ucap wanita itu dibuat-buat. Menyebalkan.

Aku tak tahan lagi. Mulut perempuan itu sungguh kasar. Oke. Kalau dia hanya menghina penampilanku, tapi kalau sampai menghina teman-teman dan jurusanku itu tidak bisa ditolerir lagi. Ada yang salah gitu kalau aku anak teknik? Aku pun menarik napas. Meskipun kondisi panggilan alamku sudah benar-benar di ujung, sebaiknya aku tahan sebentar saja. Tak ada lagi kesempatan yang lebih pantas selain saat ini.

"Tauvan!" teriakku kuat memanggil namanya.

Tauvan dan wanita yang baru saja kuketahui bernama Felisha Vanda S.E terlonjak kaget melihatku. Aku tersenyum miring melihat wajah wanita itu. Mana? Katanya anak ekonomi cantik? Masih cantikkan aku kok anak teknik.

Tauvan gelagapan. "Jeta...."

Aku tertawa terbahak-bahak. "Haha... tadi katanya sibuk nggak bisa datang ke wisuda aku. Eh tahunya malah datang, tapi nemuinnya bukan aku dan malah si pelakor ini. Ckck... Tauvan Tauvan," decakku sembari melihat Felisha Vanda S.E ini dari ujung kaki sampai ujung rambut.

"Ta, biar aku jelasin."

Kupotong kalimat Tauvan. "Stop, Van. Kamu tahu nggak udah berapa banyak teman cowok aku bilang kalau kamu itu sering jalan sama cewek lain, tapi aku nggak pernah percaya karena aku nggak pernah lihat di depan mata kepala sendiri. Tapi ini apa?! Ternyata kalian udah pacaran!"

Aku ingin melanjutkan acara marahku namun, perutku rasanya sudah tak mampu kutahan lagi. Aku harus ke toilet segera. Ini gawat.

"Ta, kamu dengarin dulu penjel—“

"Stop, Van! Perut aku sakit banget. Jadi tolong jang—“

Belum selesai aku bicara, tiba-tiba seseorang menabrak tubuhku sehingga aku yang dalam kondisi memegang perut dan pantatku langsung terhuyung. Seketika kemampuanku dalam menahan pembuangan makanan ini terlepas seketika.

Dan.

Broooot!

Aku pun terjatuh ke lantai. Pantatku tidak begitu sakit namun, tiba-tiba tubuhku membatu. Ya aku merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuhku bagian bawah. Tidak. Jangan-jangan ini adalah....

"Astaga, kamu kentut, Yang? Bau banget sih!" teriak Felisha Vanda S.E. pada Tauvan.

Tapi Tauvan malah menghampiriku dan mengabaikan teriakan si Anak Ekonomi perebut pacar orang itu. Ia berniat mengajakku bangun, tapi dengan secepat kilat langsung saja kudorong tubuhnya sekuat tenaga. Jangan sampai dia mendekatiku dan tahu bahwa sekarang di balik rokku ada... hiks.

"Kamu pergi sana! Jangan dekat-dekat aku. Pergi!" pekikku kuat. Entah karena malu atau sakit hati air mataku turun begitu saja dari pelupuk mata.

Tapi saat ini yang kuinginkan adalah aku pergi dari tempat ini dalam keadaan tanpa hinaan. Apa coba kata si Felisha Vanda S.E jika mengetahui bahwa aku titik-titik di celana pada saat hari wisuda. Umi... Abi... Cacan... tolong Jeta....

"Yang, ini bau parah deh. Sumpah semerbak banget! Tadi nggak ada bau gini kan?" Si Felisha ini benar-benar kampret. Bisa tidak sih dia diam saja? Kulirik ia sinis, sekarang ia sedang sibuk mendengus-denguskan hidungnya mencari asal bau. Dasar tidak ada kerjaan.

Aku harus mencari cara agar mereka berdua segera enyah dari sini. "Hey, detik ini juga gue kasih deh Tauvan buat lo, tapi plis gue mohon lo berdua pergi dari hadapan gue. Sekarang!" pintaku kuat.

Air mataku tak berhenti mengalir namun, Tauvan yang kutahu bukanlah pria gampang menyerah. Ia sekarang tiba-tiba malah memelukku. Sial! Semoga ia sedang pilek atau kemampuan menciumnya mendadak disable.

"Sayang, maafin aku. Janji deh aku nggak akan...."

Mati aku mati aku. Pasti Tauvan mencium bau dari hasil olahan perutku.

"Beb, kok kamu bau banget? Kamu..." ucapnya pelan padaku dan seketika matanya membesar.

Entah aku bisa sebut sebagai pahlawan atau tidak. Seorang pria berambut panjang hitam pekat sepunggung dengan alis badai seperti bentuk iklan Nike mendadak menghampiriku. Ia berjalan dengan cool. Matanya sangat indah, bibirnya tipis, dan baru kali ini aku melihat pria yang sangat cantik. Tunggu, pria ini dandan?

"Maaf, tadi saya yang menabrak kamu. Kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya pria cantik ini. Suaranya sangat berat ternyata. Ia pun mendekatiku lalu mengulurkan tangannya padaku namun, terhenti karena hidungnya mulai bergerak-gerak merasakan sesuatu mengganggu penciumannya.

Sudahlah. Aku pasrah. Aku pasrah.

Entah mungkin Tauvan yang mengerti diriku, ia langsung bangkit dan menarik tangan Felisha Vanda S.E jauh dariku. Sebelumnya ia sempat membisiku. "Nanti kita bicara, Ta."

Aku langsung menangis tersedu-sedu saat itu juga. Sakit hati, marah, malu, semuanya bercampur aduk menjadi satu. Pasti Tauvan tahu bahwa aku titik-titik di celana. Huaaaa. Umi... Abi....

"Sori, bau ini berasal dari kamu ya? Kamu buang air besar?!" tanya pria ini makin membuatku tertohok.

Kampret, kampret, kampret!

Sudahlah. Rasanya aku mau mati saja. "Kenapa? Ini gara-gara lo begok, nabrak gue sembarangan!" tuduhku dengan tangis yang tak henti-henti.

Pria itu tertegun menatapku bingung sambil menutup hidungnya. Ia mengernyitkan dahi. "Masa iya sih gara-gara nabrak seseorang bisa buat orang itu pup di celana?" tanyanya polos.

Cabut nyawaku sekarang Tuhan!

***