cover landing

Kalibata 1980

By Sarashiba Nanda


Namanya Selly Ahyani dan Nazwar Imam Santoso—atau biasa menyebut dirinya Awang. Kata orang-orang di sekitar mereka, mereka adalah Dua Anak Emas. Mereka terlahir serba berkecukupan. Memiliki ayah dan ibu dari kalangan keluarga yang sama-sama berada. Ayah yang asli Kalibata, dan ibu yang seorang pendatang dari Bugis, Makassar, yang kemudian menetap di Kawasan Cawang.

Ayah Selly dan Awang, Ahmad Bahlan, adalah seorang manajer operasional di sebuah hotel bintang lima di Jakarta Pusat. Seorang pria membanggakan, penuh prestasi baik formal maupun nonformal. Seorang pria yang tenang dan memiliki pandangan hidup yang positif. Tak mudah goyah apalagi untuk urusan keimanan. Meski begitu, Ayah juga bukan orang yang mudah menilai orang lain. Ayah adalah orang yang selalu menjalani hidupnya dengan hati-hati.

Beralih pada sosok ibu yang dikenal tegas, Tati Sugriyati namanya. Terlahir sebagai sulung dari tujuh bersaudara membuatnya terbiasa mengurus anak-anak kecil. Jadi tidak heran kalau ibu Selly dan Awang itu berwatak tegas. Ketegasan sangat diharapkan dalam menjaga enam adik yang setiap kepalanya hanya berjarak usia satu tahun. Meski hanya lulusan sekolah menengah atas, bukan berarti Ibu tak memiliki kemampuan apa pun. Ibu pandai memasak dan bekerja di salah satu restoran piza di kawasan Sarinah Thamrin.

Setelah Selly lahir, setahun kemudian Awang lahir, yang mana Selly saat ini sudah berusia sepuluh tahun. Jarak usia mereka yang cukup dekat membuat keduanya lebih seperti teman ketimbang saudara. Cara bertengkar mereka juga selayaknya teman, terlalu menggebu-gebu. Kalau salah satu di antara keduanya belum ada yang menangis, mereka tidak akan berhenti menggoda.

Tapi, kecenderungan bertengkar mereka hilang setelah teror mistis mulai menghantui kehidupan mereka. Teror tersebut terjadi di rumah mereka sendiri. Rumah satu lantai yang terbilang besar dan megah, dengan arsitektur yang terlihat kuno, ditambah perpaduan cat krem dan putih hampir di seluruh penjuru rumah. Halaman belakang rumah mereka ditumbuhi banyak pohon buah-buahan kesukaan Ayah. Ada pohon jambu, pohon kelapa, pohon sawo, pohon duku, dan pohon pete cina. Sedangkan halaman depan mereka ditanami tumbuh-tumbuhan kesukaan ibu. Pohon bunga mawar dan melati, pohon rambutan, pohon jeruk, pohon pepaya, dan pohon pinang. Dengan adanya pembagian itu, sungguh mereka keluarga yang adil.

Di rumah mereka juga tinggal dua orang pekerja rumah tangga, yaitu Minah dan Irah. Minah sudah bekerja cukup lama, dari awal Ayah dan Ibu menikah, sementara Irah baru bekerja di rumah mereka dalam hitungan bulan. Minah seorang wanita periang yang cukup dekat dengan Ibu, bahkan sifat Minah yang pandai bergaul membuat Ibu merasa Minah adalah temannya sendiri, bukan seorang pekerja rumah tangga yang mengabdi di rumahnya.

Sementara itu, karakter Irah cenderung tertutup. Setiap selesai mengerjakan pekerjaan rumah, Irah lebih memilih diam di dalam kamarnya. Bahkan, Minah yang pandai bergaul saja merasa kesulitan untuk mendekati sosok Irah. Irah juga tak banyak bicara, ia hanya akan bicara seperlunya.

***

Selama Ayah dan Ibu bekerja, Selly dan Awang dititipkan di rumah kakek dan nenek mereka, Makkaran Tuwos dan Siti Marry, di Cawang. Mereka biasa dipanggil dengan sebutan Bapak Tuwos dan Ibu Marry. Di sana Selly dan Awang tak kesepian karena adik-adik Ibu tinggal bersama di Cawang. Enam adik Ibu, dari yang paling besar: Sudarso, Anton, Liliana, Neniyati, Sugianto, dan si Bungsu Kurniwati. Semua hidup rukun dalam satu rumah yang juga cukup besar.

Selly dan Awang sangat dekat dengan dua adik Ibu yang bernama Neniyati dan Sudarso. Mereka lebih sering menginap di rumah Selly dan Awang ketimbang adik-adik Ibu yang lain.

"Ly, mau pulang? Mau aku anterin?" tanya Neni.

Selly diam. Berpikir. "Emang Ibu nggak jemput?"

"Nggak tau. Tapi kalau Selly mau pulang biar aku anterin, sekalian mau nginep di rumahmu."

"Ayo, pulang aja. Awang mau main di kebon," rengek Awang.

Ibu Marry keluar dari dalam rumah, melihat Neni, Selly, dan Awang meriung di halaman. "Mau ke mana kalian?"

"Aku mau anter Selly sama Awang pulang, Bu."

Ibu Marry melongok ke arah jam dinding. Sudah pukul tujuh malam ternyata dan dua anak itu belum dijemput juga. "Ya udah, kamu anterin sana. Kamu pulang apa mau nginep di rumah kakakmu?"

"Aku mau sekalian nginep. Kak Sudar juga mau nginep katanya."

"Ya udah, sana. Keburu malam."

Ibu Marry mengambilkan tas ransel Selly dan Awang di dalam rumah, sementara dua anak kecil itu hanya menunggu di halaman. Neni juga bersiap-siap, mengambil barang-barangnya untuk dibawa menginap.

"Kok bawa lilin, sih?" tanya Awang bingung.

Neni cepat-cepat menutup mulut Awang sebelum didengar Ibu Marry. "Aku mau nyari kepala jatoh yang kamu bilang waktu itu. Jangan berisik. Nanti dimarahin Ibu kalau ketauan."

"Ih, setan kok dicari?" cicit Awang, matanya menyipit ngeri. "Duit dicari. Malah setan."

Selly menceletuk, "Gak usah dicari. Nanti juga dia dateng sendiri."

***

Dengan menaiki angkutan umum mikrolet, Neni mengantar Selly dan Awang pulang ke rumah. Tiap-tiap rute dari Cawang ke Kalibata pada zaman itu memang cukup mengerikan. Harus melewati jembatan Kali Ciliwung yang dikenal seram sebagai tempat persinggahan arwah-arwah orang yang bunuh diri. Konon, teriakan-teriakan histeris dan minta tolong kerap kali terdengar.

Selly dan Awang sudah terlampau biasa menghadapi teriakan-teriakan mistis, karena sejatinya mereka sudah sering diganggu dengan cara yang cukup ekstrem. Tapi lain dengan Neni. Gadis pemberani itu malah tak pernah mendapatkan sensasi mistis yang selama ini ia cari-cari. Menganggap diri sebagai seorang ghost hunter, tapi tak pernah merasakan hal-hal yang mengerikan sepanjang sepak terjangnya menjadi ghost hunter.

"Loh, Ibu sama Ayah udah pulang toh?"

Neni, Selly, dan Awang menatap bingung.

Ibu tersenyum kecut, sementara Ayah memutar balik tubuhnya menghadap ke dalam rumah. "Iya, Ibu baru banget pulang, Wang,” jawab Ibu. Kemudian melihat Neni yang datang bersama kedua anaknya. "Kamu mau nginep di sini, Nen?"

"Iya, Mbak. Kak Sudar udah dateng belum?"

"Belum, tapi tadi Sudar nelpon ke tempat kerja Mbak. Katanya datang agak malaman. Dia masih ada kerjaan."

"Nen, kau tidur di kamar Selly, ya?" kata Ayah, di sela-sela pembicaraan Ibu dan Neni soal kehadiran Sudar. Wajahnya tampak pucat dan khawatir. "Awang nanti tidur sama Kak Sudar."

Neni mengangguk cepat. "Iya, Kak Ahmad."

Awang ikut setuju. "Iya, Yah."

"Bu, Bi Irah mana? Selly mau minta dibuatin nasi goreng,” kata Selly. Ikut nimbrung.

Ibu dan Ayah bertukar pandang sejenak.

"Minta buatin sama Bi Minah dulu aja, ya? Bi Irah lagi jemur di belakang," jawab Ibu. Gelagatnya aneh. "Sekalian minta bikin buat Awang sama Mbak Neni. Semuanya makan malem bersama."

Ayah mencolek lengan Ibu. "Ayo, Bu ...."

"Ibu tinggal ke rumah Babeh sebentar, ya," kata ibu, sambil membelai puncak kepala Selly. Kemudian menatap Neni. "Titip anak-anakku sebentar, ya, Nen. Gak lama, kok. Jangan ke mana-mana. Habis makan langsung pada masuk kamar aja."

***

Babeh adalah panggilan dari ayahnya Ayah yang juga tinggal di Kalibata. Nama aslinya Muhammad Bahlan. Seorang tetua yang cukup dikenal karena memiliki banyak anak dan banyak tanah warisan di sekitar sana. Namanya juga orang zaman dulu, semua harta disimpan dalam bentuk tanah untuk anak dan cucu.

Babeh kini seorang guru ngaji, dulunya seorang pensiunan pegawai negeri sipil. Anak-anak di sekitar Kalibata senang mengaji di rumah Babeh. Sebab sepulang mengaji, mereka semua langsung pergi bermain di kebun karet tepat di depan rumah Babeh. Meski menyeramkan, bagi anak-anak di tempat pengajian, kebun karet adalah tempat bermain yang asyik.

Jarak dari rumah Selly ke rumah Babeh hanya sejauh satu kebun jengkol dan dua rumah. Terbilang cukup dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja.

"Assalamualaikum, Beh ...."

"Oi, Mat!"

Namanya juga orang Betawi. Nama Ahmad, berubah jadi Amat.

"Ada apa malem-malem begini ke rumah?"

Ibu salim lebih dulu sebelum Ayah menjelaskan pada Babeh.

"Jadi gini, Beh ...."

"Duduk, duduk. Duduk dulu," pinta Babeh dengan tangan mengajak ke arah sofa. "Kenapa? Kayaknya serius banget?"

Ibu menghela napas berkali-kali. "Itu Beh .... Bi Irah ...."

Babeh mengernyit. "Kenapa sama dia?"

"Pas pulang kerja barusan, saya ngeliat Bi Irah duduk di depan pohon melati. Dia kayak nyembah-nyembah gitu, Beh. Saya gak tegur, cuma saya penasaran, saya liatin dari deket pohon rambutan. Terus gak lama dia petikin melati saya, dia makan."

"Terus?" tanya Babeh, serius.

Ayah angkat bicara. "Terus rambutnya tiba-tiba jadi panjang."

Ibu lantas mengangguk-anggukkan kepala. "Saya sama Ahmad liat pake mata kepala sendiri. Saya jadi takut banget, Beh. Gimanapun Bi Irah kan tugasnya ngurusin anak-anak. Apalagi dia metikin melati yang depan kamarnya Selly."

Babeh menundukkan kepalanya sejenak. Tampak berpikir keras. Tapi ia tak punya kuasa atas Bi Irah. Perempuan itu tetaplah pekerja di rumah Ahmad dan menantunya, Tati.

"Apa Amat pulangin aja, ya, Beh?" tanya Ayah, hati-hati. "Sulit toleransinya kalau ternyata Bi Irah nyembah-nyembah hal gaib. Takut berimbas pada orang-orang di rumah, Beh."

Babeh mengangguk setuju. Ia menghela napas pelan. "Babeh, sih, setuju kalau Amat lebih pilih pulangin si Irah. Tapi tetap kasih uang saku ke dia. Dia kan gak tau kalau Amat sama Tati udah pergokin dia. Biar nggak ada kesalahan ke depannya. Kalau dibiarkan juga bakal berimbas ke rumah, karena dia lakuin ritualnya di rumah Amat sama Tati."

"Ya udah, Beh. Kita pulangin aja kalau gitu," cetus Ibu, pasrah. Meski sebenarnya cara kerja Bi Irah tak ada yang salah sama sekali, Ibu tidak bisa menoleransi hal-hal yang berkaitan dengan mistik terjadi di rumahnya. "Besok pagi kita kasih uang sakunya ke Irah. Biar dia bisa langsung pulang."

***

Bi Minah memasak nasi goreng untuk Selly, Awang, dan Neni di dapur belakang. Dapur yang tersekat langsung ke arah kebun belakang. Sambil memasak, bulu kuduknya terus-menerus meremang. Meski ia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu, tetap saja rasanya tidak nyaman.

Tiba-tiba, Bi Minah melihat sesosok kain putih masuk ke dapur. "Eh, copot!” teriaknya, sedikit terlonjak. Ia menepuk-nepuk pelan dadanya yang berdegup kencang.

"Kenapa, sih, Bi Minah?"

"Selly ngapain, sih, pake mukena ke dapur? Ngagetin Bi Minah aja! Untung enggak Bibi sambit pake centong," omel Bi Minah kesal, menunjuk-nunjuk Selly pakai centong yang ada di tangannya. "Ngapain ke dapur? Ini nasi gorengnya bentar lagi juga mateng."

"Selly udah laper tau!"

"Ya, sabar! Untung Bibi gak punya penyakit jantung."

"Ya udah, jangan lama-lama kenapa, sih. Masak nasi goreng kayak masak rendang lamanya. Dihayatin banget. Heran."

Bi Minah mencubit bibir Selly gemas. "Ih, kalo bukan anaknya Bu Tati, pasti udah Bibi—"

"Apa hayo, apa?! Aduin ke Ibu, nih!"

"Jelek. Mainnya ngaduan," cibir Bi Minah sebal, lalu mendorong-dorong Selly ke arah meja makan. "Tunggu di sana. Duduk yang anteng. Siapin minumnya sendiri. Lima menit lagi Bibi bawain."

Selly menurut.

Hubungan di antara kedua orang itu terbilang unik. Bi Minah selalu gemas dengan tingkah ketus Selly, sementara Selly juga gemas dengan keberanian Bi Minah terhadapnya. Satu-satunya pekerja yang kebal dengan sikap acuh tak acuhnya. Salah satu pekerja kesayangan Ibu di rumah.

"Allahuakbar!"

"Apaan lagi, sih, Bi?!" teriak Selly dari ruang makan sesaat setelah mendengar Bi Minah berteriak lagi.

Bi Minah tak sanggup bicara. Yang ada di otaknya hanya buru-buru memasak. "Jangan ganggu …. Nabsi-nabsi aja, ya …."

"Bi Minah, ini saya ...." Ada suara perempuan dari arah luar jendela dapur. Suaranya pelan, hampir seperti berbisik.

"Saha eta teh?" tanya Bi Minah tanpa menoleh. Tangannya sibuk menuang nasi goreng ke tiga piring, masing-masing untuk Selly, Awang, dan Neni. Ia tak mau melirik. Tangannya sudah gemetar hebat. "Jangan ganggu!”

"Irah, Bi Minah. Ini Irah," ucap suara perempuan itu lagi disertai tawa cekikikan. Yang ternyata wujudnya sedang berada di atas pohon duku. Pohon yang terlihat jelas dari jendela tempat Bi Minah memasak. Perempuan dengan pakaian serba putih, berambut panjang berantakan hampir selutut. Wajahnya pucat, namun samar-samar memang terlihat seperti wajah Irah. "Sini .... Jangan takut ...."