cover landing

Justice Collaborator

By rinoevans


Duar!

Iwan membuka matanya. Ia terbangun karena suara nyaring yang tiba-tiba terdengar diselingi dengan riuh suara-suara manusia yang ketakutan. Bocah sepuluh tahun itu memaksa tubuhnya bangun dari kasur. Apakah bapaknya masih asyik menonton film laga seperti biasanya? Hal itulah yang pertama kali terbesit dalam kepalanya. 

Sembari mengucek-ucek matanya, ia turun dari tempat tidur kemudian menyibak gorden pintu kamar. Tidak ada siapa pun di ruang tengah, bahkan televisinya mati. 

“Pak… Bu…?” panggil Iwan. 

Tak ada jawaban, tapi suara riuh itu semakin terdengar jelas. Pendaran cahaya jingga muncul dari jendela. Tidak mungkin cahaya itu adalah sinar matahari karena jam masih menunjukkan pukul satu dini hari. Iwan memberanikan diri untuk melangkah ke arah pintu dan membukanya.

Klek!

Iwan dikejutkan dengan pemandangan yang mengerikan. Para tetangga berlarian histeris menjauhi sekelompok orang yang membawa senjata api. Orang-orang bersenjata itu menembakkan peluru ke sembarang tempat. Beberapa mengenai orang, beberapa lagi mengenai rumah.

Tubuh Iwan bergetar hebat melihat kejadian itu. Bola matanya mengedar pada mayat-mayat yang tergeletak di tanah. Ia semakin terkejut ketika melihat kedua orangtuanya juga ikut tergeletak tak berdaya.

Iwan sontak menjerit. “Bapak! Ibu!”

“Iwan!” Seseorang dari samping rumah berlari terhuyung-huyung menghampiri Iwan. Tubuhnya sudah lusuh karena keringat yang bercampur dengan tanah. 

“Mang Badrun!”

Badrun—pamannya—langsung memeluk Iwan sekencangnya. “Wan, kita harus segera pergi dari sini!”

Masih dengan isak tangis, Iwan menjawab, “Tapi… Bapak sama Ibu gimana?”

Badrun mengendurkan pelukannya, ia menatap Iwan dengan tatapan sayu. “Bapak sama ibu kamu sudah nggak ada. Di sini bahaya, kita harus pergi!”

Seseorang dari kelompok bersenjata itu melihat Iwan dan Badrun. Ia memanggul senjata panjang yang belum pernah dilihat Iwan. Dari senjata itu, meluncur sebuah roket yang mengarah ke rumahnya.

“Iwan, awas!” Badrun menarik tubuh Iwan secepat mungkin hingga keduanya tergeletak di tanah.

Duar!

Roket itu menghantam rumahnya hingga terjadi ledakan yang memekakkan telinga. Setelah itu, api mulai menjalar dengan cepat. Bola mata Iwan melihat jelas kilatan api yang melumat seluruh penjuru rumahnya.

***

Dua jam setelah kejadian.

AKP Arga Wibisana—Kepala Unit Reserse Kriminal Polres Jakarta Barat—menghela napas melihat puing-puing rumah yang hancur serta mayat-mayat berlumuran darah. Tangis orang-orang selamat dari malapetaka ini bagai elegi yang mewarnai kesunyian malam. Aura mengerikan terpancar jelas di setiap sudutnya, seakan-akan tempat ini bisa menelan setiap kebahagiaan orang-orang yang melihatnya.

Kampung Rimbun adalah salah satu sudut di Kota Jakarta Barat yang tadinya tempat ramai. Setiap malam, gemerlapnya tak kalah dari kemilau kota metropolitan—tempat orang-orang metroseksual melepas penat dari kesehariannya menjadi budak korporat di ibu kota yang kejam—lainnya

Sebagian besar warga di kampung ini mencari nafkah dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum. Mereka membangun kafe remang-remang, diskotek low-budget, bahkan tempat prostitusi ilegal. Kampung ini terlindungi oleh sekelompok preman kejam, hanya saja preman-preman itu tidak dibekali senjata-senjata penghancur seperti para penyerangnya.

AKP Arga menelusuri setiap sudut puing-puing yang tersisa, memantau tim forensik dan anak buahnya yang mengumpulkan barang bukti. Lalu ia memerhatikan seorang petugas forensik yang memeriksa salah satu rumah.

“Apa itu?” AKP Arga berjongkok agar bisa melihat dengan jelas benda yang sedang dimasukkan ke dalam plastik klip oleh si petugas forensik.

Si petugas itu membeberkan benda alumunium berbentuk persegi dalam plastik klip berukuran sedang. “Kalau dilihat secara sekilas, ini semacam roket, Pak.”

“Roket?!”

“Iya, Pak. Roket semacam ini biasanya ada di RPG—Rocket Propelled Grenade, atau granat berpeluncur roket.”

“Hah? Itu, ‘kan, senjata militer!” Keterkejutan tampak di mata AKP Arga. “Mana bisa ada di tempat seperti ini?”

Si petugas forensik itu tak bisa menjawabnya. Ia sama terkejutnya dengan AKP Arga karena bisa menemukan senjata macam itu di sini.

AKP Arga bangkit dari posisi sebelumnya. Pikirannya masih menerawang. Apa mungkin ini merupakan operasi militer? Tapi mengapa bisa segamblang ini?

“Lapor, Pak!” Seorang petugas polisi muncul di hadapan AKP Arga, menginterupsi lamunannya.

“Iya, apa saja yang didapat?”

“Kami telah memeriksa jumlah korban yang bisa diidentifikasi. Terdapat 34 orang meninggal dunia, 65 orang luka tembak, 11 orang luka-luka, dan 2 orang hilang. Selain itu, di TKP kami juga menemukan puluhan selongsong peluru di berbagai penjuru tempat.”

AKP Arga mengembuskan napas berat. “Baiklah, setelah ini kamu buat laporan dan langsung berikan pada Komandan.”

“Baik, Pak!”

Setelah seorang petugas pergi, datang lagi seorang polwan berpakaian kasual berlarian kecil menghampiri AKP Arga.

“Gimana? Dapat sesuatu dari kampung sebelah?” sambut AKP Arga setelah si polwan berada di hadapannya.

“Iya, Pak. Ketua RW dan beberapa warga di sana memberitahu saya kalau Kampung Rimbun akhir-akhir ini sedang berkonflik dengan salah satu perusahaan properti yang diberi kewenangan oleh pemerintah kota untuk menata ulang Kampung Rimbun.”

“Kamu udah dapat nama perusahaannya?”

Si polwan mengangguk. “Setelah saya mengecek beberapa tempat di sini, terdapat satu plang yang menjelaskan bahwa tanah di kampung ini dilimpahkan kewenangannya kepada PT Cahaya Purnama.”

“Oke, itu bisa dijadikan petunjuk awal. Kamu cari tahu siapa pemiliknya dan bagaimana cara dia mendapatkan konsesi pemerintah kota itu.”

“Baik, Pak.”

Sepeninggal si polwan, AKP Arga merogoh ponselnya dalam saku. Setelah mendapatkan beberapa petunjuk dari TKP, ia berniat untuk menghubungi seseorang. Nama yang tertera pada kontak ponselnya adalah Letnan Johan Bramantyo.