Anna Rosie adalah seorang wanita muda yang sangat memperhatikan kesehatan. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah menyentuh junk food. Lemari esnya dipenuhi dengan sayuran, buah, air mineral, susu, serta smoothie yang dia buat sendiri. Tidak ada setetes alkohol pun di dalam rumahnya.
Setiap pukul 5.30 pagi, Anna keluar rumah untuk berlari. Hari ini pun tidak berbeda. Pagi itu, cuaca lebih dingin daripada biasanya karena semalaman turun hujan. Anna berlari menelusuri tepian hutan di belakang rumahnya, lalu berbelok ke arah danau, dia berhenti sejenak untuk memandangi kabut yang melayang di atas permukaan danau. Dia senang menikmati kesunyian pagi hari. Tetapi hari ini, paginya akan sangat berbeda.
Anna sudah dapat melihat tepian danau yang kelabu. Dia menambah kecepatan kakinya untuk dapat segera sampai di sana. Dia berlari menuju pohon besar tempat dia biasa berdiri menatap permukaan air, sampai kabut menghilang.
Semakin dekat jaraknya ke pohon, Anna dapat melihat ada sesuatu tergeletak di samping akar yang mencuat. Dia memicingkan mata berusaha mengenali benda tersebut, dan memperlambat lajunya. Dalam jarak sepuluh meter dia dapat mengenalinya. Sengatan hawa panas dari jemarinya merayap ke sekujur tubuh, tangannya membungkam mulutnya yang terbuka. Sesaat dia hanya terpaku memandang tubuh tak bernyawa yang tergeletak di samping akar pohon itu.
Tubuh itu dulunya adalah seorang gadis kecil memakai gaun tidur berwarna putih. Kepalanya tergolek, wajahnya tertutupi rambut. Pada bagian depan, warna merah sudah menggantikan warna putih pada gaun tidurnya. Seseorang atau sesuatu telah mengambil organ dalamnya.
Secara naluriah otak Anna memerintahkannya untuk segera menjauh dari sana. Anna berbalik dan berlari sekencangnya menjauh dari tempat itu. Bayangan mengerikan yang dilihatnya mengikuti setiap langkahnya.
Namun, makin jauh dari tempat itu, otaknya makin bekerja dengan baik. Kemudian dia berhenti, meraih ponselnya, dan menelepon polisi.
***
Mountain Side High memiliki halaman luas yang rimbun. Pohon-pohon menaungi halaman berumput dengan meja dan bangku yang berjajar rapi di bawahnya. Meja dan bangku tersebut digunakan para siswa Mountain Side High untuk berkumpul di bawah bayang-bayang pohon, menghindari sinar matahari yang pada waktu-waktu tertentu sangat menyengat. Tiap pohon “dihuni” oleh sekelompok siswa tertentu yang masing-masing sudah memiliki teritori tak tertulis.
Aidan Reid terbiasa mengambil posisi duduk yang agak tersembunyi dari keramaian. Dia benci bergerombol. Kadang-kadang, dia memandang rendah manusia yang hidup dari pengakuan orang lain. Dia tidak begitu suka bergaul, terlebih lagi dengan kebanyakan anak muda yang menganggap penting status dalam pergaulan media sosial. Aidan Reid memiliki pagar tak kasatmata yang dia bangun di sekeliling dirinya, dan hanya orang-orang tertentu yang dia izinkan masuk. Salah satu orang itu adalah Joshua Dawson, pemuda jangkung dengan perawakan ramping yang memiliki sifat urakan.
Joshua Dawson sepuluh senti lebih tinggi daripada Aidan, padahal Aidan sendiri sudah sedikit lebih tinggi daripada rata-rata siswa Mountain Side High. Tidak seperti Aidan yang memiliki pembawaan tenang dan pendiam, Josh lebih terlihat ramah dan terbuka. Namun, dia juga tidak banyak bergaul dengan para siswa Mountain Side High. Teman-teman Josh banyak dari kalangan di luar sekolahnya, kebanyakan berasal dari tempat-tempat agak mencurigakan yang Aidan sendiri tidak ingin tahu.
Mereka bertemu dua tahun lalu saat masih berumur lima belas tahun, setelah tanpa disengaja terlibat dalam pembasmian ghoul yang mengganggu salah satu tempat makan di pinggiran kota. Peristiwa yang mereka alami bersama itu membawa ikatan erat sampai sekarang.
Josh hanya hidup berdua dengan pamannya, seorang yeger tua. Aidan hanya mendengar cerita tentang orang tua Josh dari paman pemuda itu, sedangkan Josh sendiri tidak pernah membahasnya. Aidan pun tidak pernah bertanya.
Seperti biasa, siang itu mereka duduk bersama sambil menikmati makanan. Aidan mengeluarkan dua kantong makan siang, satu untuknya dan satu lagi untuk Josh. Mrs Reid—ibunya—selalu memaksa Aidan membawakan makan siang untuk Josh. Wanita itu ingin memastikan bahwa teman satu-satunya anak tunggalnya itu tidak kekurangan makan.
Aidan meletakkan laptop di atas meja. Sambil menyalakan laptop, dia melongok ke dalam kantong makan siang dan mengambil sandwich ukuran besar dari sana. Sambil mengunyah sandwich-nya, Aidan mulai mencari-cari hal menarik di internet. Mereka berdua sering mencari cerita-cerita tidak masuk akal dari berita lokal. Berharap mendapat hal menarik untuk objek perburuan mereka.
“Ada yang menarik?” Josh menempelkan kepala di bahu Aidan, melihat layar komputer.
Aidan menggerakkan bahu, berusaha menyingkirkan kepala Josh. “Seriusan? Josh, singkirkan kepalamu, kecuali kau ingin menegaskan anggapan orang tentang hubungan kita.”
“Apa yang ibumu bawa untukku?” tanya Josh tidak memedulikan protes Aidan.
Aidan melemparkan kantong makan siang satunya ke samping.
Josh mengangkat kepala dan membuka kantong makan siangnya. Dia melahap satu gigitan besar sandwich. “Ibumu memang yang terbaik. Sampaikan salam sayangku padanya,” katanya sambil cengar-cengir.
“Datanglah ke rumah. Beberapa hari ini Ibu bertanya tentangmu terus. Memangnya, kau sedang terlibat masalah apa? Seminggu ini sepertinya kau sering menghilang.”
“Sedikit masalah.” Josh merangkul bahu Aidan. “Bagaimana kalau sore ini kau ikut denganku?”
“Masalah macam apa?” tukas Aidan curiga.
“Kau sudah tahu, kan, jika aku memiliki pekerjaan sambilan di Rumah Pensiun?”
“Ya. Lalu?”
“Matt, kau ingat dia, kan?” tanya Josh. “Seharusnya, dia bertugas di Rumah Pensiun hari Senin, Selasa, dan Rabu, sedangkan aku Kamis, Jumat, dan Sabtu. Namun, seminggu ini dia tidak muncul. Mau tidak mau, aku menggantikan gilirannya. Entah apa yang terjadi dengannya. Mungkin dia mendapatkan pekerjaan dengan uang lebih banyak, siapa yang tahu? Karena itu, aku membutuhkan bantuanmu.”
“Bantuan macam apa?”
“Jelas untuk menggantikan Matt.” Josh memandang Aidan. “Ayolah, bayarannya memang tidak seberapa. Tetapi terkadang para orang tua itu suka memberi tip lumayan.”
“Jadi, kau mengambil keuntungan dari para orang tua itu?’
“Tip, mereka memberi tip. Itu adalah hak mereka memberi kita tambahan uang dan adalah hak kita untuk menerimanya. Bagaimana?”
Aidan menatap laptop sambil mengelus-elus dagu.
“Dengar, jika merasa menerima tip dari mereka adalah kecurangan, kau bisa menolaknya,” tambah Josh.
“Baiklah, tetapi hanya untuk sementara. Oke?”
“Tidak masalah,” jawab Josh senang. “Sore ini, akan kuperkenalkan kau pada Miss Wilde. Dia kepala pengawas di Rumah Pensiun. Wanita akhir tiga puluhan, belum menikah. Pasti dia akan menyukaimu, Aid.”
“Apa maksudnya?” tanya Aidan sangsi.
Josh hanya tersenyum penuh arti.
Rumah Pensiun terletak pada sisi Mountain Upper Side, berbatasan langsung dengan hutan serta pegunungan. Upper Side adalah sisi paling tenang dari kota Mountain Side. Rumah Pensiun sendiri adalah kompleks yang terdiri atas dua puluh bangunan rumah berjajar berhadapan dengan warna-warna pastel. Tiap rumah terdiri atas dua atau tiga orang yang hidup bersama, semuanya adalah para manula. Bisa dikatakan Rumah Pensiun adalah rumah jompo mewah. Untuk dapat hidup di lingkungan ini tidaklah murah, kebanyakan dari penghuninya memiliki tabungan tidak sedikit ataupun disokong anak-anak dengan penghasilan di atas rata-rata. Pada bagian depan kompleks itu, terdapat pos penjagaan yang memeriksa tiap pengunjung. Tak jauh dari sana, terdapat klinik yang agak besar dan kantor kepala pengawas.
Josh memimpin jalan saat memasuki kantor kepala pengawas. Dia menggunakan kartu pengenal bertuliskan “Karyawan”, sedangkan kartu pengenal Aidan bertuliskan “Pengunjung”. Josh menghampiri meja resepsionis.
“Hai, Judy. Miss Wilde ada di dalam? Kemarin, dia memintaku mencari pengganti Matt.” Josh menunjuk Aidan dari balik bahunya.
Judy menatap Aidan dari balik meja, terang-terangan menilai remaja itu. Dipandangi seperti itu membuat Aidan berdiri dengan canggung. Dia menundukkan kepalanya agar tidak bertemu mata dengan Judy.
Setelah membuat Aidan canggung, Judy kembali menatap Josh, “Kau tunggu saja.” Dia mengangguk ke arah kursi di lobi. “Miss Wilde sedang ada urusan di klinik. Sebentar lagi juga dia kembali.”
Tak lama kemudian, Miss Wilde muncul. Judy memanggilnya dan menunjuk ke arah Josh dan Aidan. Miss Wilde mengangguk dan berjalan ke tempat dua pemuda itu menunggu. Josh bangkit dan merapikan jaket.
“Mr. Dawson, kita bicara di dalam.” Miss Wilde memimpin mereka berdua ke kantornya.
Miss Wilde adalah wanita yang teratur dan apik. Kantornya tertata dengan baik, mirip dengan cara berpakaiannya yang konservatif dan formal. Dia mempersilakan Josh dan Aidan untuk duduk di seberang meja. Miss Wilde duduk dengan posisi tegak sempurna, menangkupkan kedua tangan di atas meja. “Baiklah, Mr. Dawson. Apa yang bisa saya bantu?”
Josh menelan ludah, berusaha bersikap seprofesional mungkin. “Miss Wilde, kenalkan ini teman saya, Aidan Reid. Hem, waktu lalu Anda meminta saya untuk mencarikan seseorang untuk menggantikan Matt. Teman saya ini, Aidan, ngg … saya pikir dia bisa Anda pekerjakan sebagai pengganti Matt.”
Miss Wilde memandang Aidan, menilai kepribadian remaja itu dari penampilannya. “Mr. Reid, Anda bersedia bekerja di sini? Saya hanya ingin mengatakan, kadang-kadang para anggota masyarakat senior ini memiliki perasaan yang melankolis. Itu membuat mereka terlalu mudah percaya pada orang lain. Terutama, kepada orang-orang muda seperti kalian, entah kalian mengingatkan kepada cucu atau anak ataupun mereka sendiri selagi muda. Saya tidak ingin karyawan saya memanfaatkan kondisi-kondisi semacam itu, juga tidak akan menoleransi jika Anda menyalahgunakan kepercayaan para penghuni Rumah Pensiun. Selayaknya, kita menghormati dan menjaga para senior ini. Saya berharap Anda bisa mengerti hal tersebut, Mr. Reid.”
“Saya mengerti.” Selama duduk dan mendengarkan ucapan Miss Wilde, Aidan berpikir pantas saja wanita itu belum menikah. Mungkin para lelaki yang pernah mendekatinya merasa terintimidasi hanya dengan kehadirannya karena hal itulah yang dirasakan Aidan saat ini.
“Baik, karena Mr. Dawson yang merekomendasikan, saya tidak akan meragukan kemampuan Anda. Kapan Anda bisa mulai bekerja?”
“Minggu depan, saya rasa?” Entah mengapa Aidan merasa harus meminta persetujuan Miss Wilde atas keputusannya.
Miss Wilde mengangguk. “Bagus. Kalau begitu, sekarang kita bisa membicarakan masalah aturan bekerja, upah, dan segala macamnya.”