cover landing

Januari Untuk Ari

By Oepha Im


Tiga tahun lalu

(2015, SMP kelas 9)

 

"Ari!"

Kirei Syahira berteriak lantang sebelum berlari mendekati Januari Pratista yang sedang bermain layang-layang di tepi lapangan. Tas Ari berada dalam pelukannya, sementara tas miliknya sendiri berada dalam gendongan. Ari menoleh sekilas ke arah Kirei, lalu kembali fokus pada permainan layang-layangnya. Kirei menghela napas, sudah terbiasa dengan respons Ari.

"Ini tas kamu," katanya saat sampai di dekat Ari.

Kali ini, Ari tidak menoleh sama sekali. "Simpan aja di samping pohon!"

Kirei menurut. Ia berjalan ke bawah pohon belimbing di pinggir lapangan yang hanya berjarak beberapa meter dari Ari dan menyimpan tas lelaki itu di sana. Kirei mendongak, mendapati layang-layang berwarna merah milik Ari tampak kontras dengan birunya langit. Sepoi angin menerpa wajahnya, menggoyangkan rambut sebahu dan bulu mata lentiknya. Kirei tersenyum tipis.

Layang-layang.

Benda kesukaan Ari dan Riyu.

Mau tidak mau, layang-layang menarik ingatannya ke masa lalu. Membuat kilat sendu terlihat di manik matanya saat menatap Ari.

Punggung lelaki itu terlihat sempit jika dilihat dari belakang. Wajahnya yang kini lebih sering menampilkan ekspresi datar tidak terlihat. Ari tampak kaku. Jauh berbeda saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Hampir setiap hari ia akan berceloteh ini dan itu.

"Pak Raga bakal hukum kamu karena bolos!"

Tanpa sadar Kirei bersuara. Ia ingin memastikan apakah nada suara Ari akan berbeda jika lelaki itu sedang memunggunginya. Tapi seperti biasa, respons Ari selalu terdengar malas. Lelaki itu hanya merespons “oh” singkat, menganggap ucapan Kirei angin lalu.

Kirei kembali memancing suara Ari. "Kok gitu responsnya? Kamu nggak takut?"

Kali ini Ari menambahkan gelengan saat bersuara. "Enggak."

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Kok nggak apa-apa?"

Ari menghela napas jengah sambil memutar bola mata. "Bawel. Diem, deh!"

Kirei langsung menutup mulutnya dengan tangan. Ia mencibir lalu berlari meninggalkan Ari dengan tampang cemberut. Memutuskan pulang ke rumahnya tanpa lelaki itu.

 

***

 

Dua tahun lalu

(2016, SMA kelas 10)

 

"Ari, kamu nggak apa-apa?"

Ari meringis, matanya terpejam. Tubuh lelaki itu gemetar hebat dan napasnya tidak beraturan. Tidak ada banyak oksigen yang masuk ke dalam hidungnya. Kirei yang ada di sampingnya khawatir bukan main. Gadis itu memeluk Ari saat merasakan tubuh lelaki itu sangat dingin.

"Ari... " panggilnya namun tidak mendapatkan respons apa pun.

Kirei dan Ari sedang menjelajah dalam acara perkemahan antar ekskul dan mereka terpisah dari kelompok. Ari maupun Kirei tidak mendapat petunjuk jalan yang seharusnya ada di jalur yang mereka lewati. Ari meyakini mereka tersesat, namun Kirei bersikukuh kalau mereka tidak tersesat, hanya kurang jeli melihat tanda arah. Mungkin karena Ari terlalu lelah mendengar rengekan Kirei, ketika mereka berusaha menemukan jalan pulang, asmanya kambuh.

"Coba kamu atur napasnya, rileks," kata Kirei sambil membopong tubuh Ari dan menyandarkannya pada batang pohon.

Tangan Ari menunjuk-nunjuk tas miliknya yang berada tidak jauh dari Kirei. "O-oksigen.... "

Kirei langsung mencari keberadaan nebulizer kecil dari dalam tas, kemudian memberikannya pada Ari. Lelaki itu menghirupnya, lalu terkapar di samping Kirei dengan napas yang mulai kembali normal.

"Maaf, gara-gara aku, asma kamu kambuh lagi," cicit Kirei dengan ekspresi wajah bersalah. Ari menarik napas dalam-dalam lalu menggerakkan tangannya untuk mengacak rambut Kirei.

"Nggak usah merasa bersalah. Ini salah aku."

"Ari.... "

Ari benci mendengar rengekan Kirei. Karena itu, ia mendekap Kirei sebentar sebelum mereka mencari jalan pulang ke tempat perkemahan antar ekskul.

Dan lagi, dugaan Kirei benar tentang keberadaan mereka; kurang jeli melihat tanda arah.

 

***

 

Satu tahun lalu

(2017, SMA kelas 11)

 

"Ari...."

Kirei memanggil Ari dengan suara pelan. Lelaki yang berada di barisan terpisah dengannya itu menoleh dengan alis terangkat.

"Kamu nggak bawa topi, ya?"

Ari menyahut dengan anggukan malas. Kirei langsung berjalan mendekat pada barisan siswa yang melanggar aturan, kemudian menyerahkan topi pada Ari. "Ini, aku bawa dua topi! Cadangan kalau kamu lupa bawa."

Ari menggeleng cuek. "Nggak usah. Aku mau di sini aja."

Bola mata Kirei membulat sementara alisnya bertaut. "Hah? Kok mau di sini?"

Ari menunjuk barisan kelas dan barisan tempatnya berdiri dengan dagu. "Di sini teduh. Di sana panas."

Mata Kirei mengikuti gerakan Ari kemudian mengangguk paham. Barisan siswa yang melanggar aturan teduh karena terhalangi pohon, sementara barisan kelasnya tidak. Kirei tidak bicara lagi dan berjalan kembali ke barisannya. Ari memang begitu. Ia melakukan hal sesukanya tanpa berpikir apa pun.

 

***

 

Mereka berdua lahir di hari yang sama, berteman sejak lama dan dekat satu sama lain.

Ari tidak pernah nyaman akan kehadiran Kirei, berbanding terbalik dengan Kirei yang merasa nyaman akan kehadiran Ari.

"Pokoknya, aku akan selalu ada di mana pun kamu berada."

Ari tidak suka dengan perkataan Kirei. Namun, takdir tidak selalu sejalan dengan pemikiran dan keinginan kita. Apalagi mereka selalu sekelas sejak SD sampai sekarang, kelas dua belas SMA.

 

***