cover landing

Janda Ketemu Duda

By Icha Rizfia


"Bagaimana, para saksi? Sah?"

"Sah!" Jawaban serempak terdengar. Tamu undangan kemudian menengadahkan tangan, pun kedua mempelai. Doa khusyuk diaminkan.

Mala kemudian mencium tangan suaminya, Izar. Laki-laki yang ia kenal setahun lalu. Pacaran setelah pedekate sebulan, hingga kini keduanya telah resmi menjadi suami dan istri.

Di belakang pengantin, ibu Mala meneteskan air mata haru. Akhirnya, anak sulung mereka melepas masa lajang juga. Ia sempat khawatir, karena sejak patah hati tiga tahun lalu anak gadisnya tak menunjukkan memiliki pasangan. Takutnya belum move on, atau malah tak mau menikah seumur hidup akibat ditinggal nikah mantannya.

"Hadap sini, Mbak, Mas."

Seorang tukang foto memberi instruksi. Mala dan Izar menempel, menyatukan kedua buku nikah dari KUA ke depan dada. Senyum keduanya terbit menawan dan penuh kebahagiaan.

Satu jepretan foto diambil. Wajah Mala terpancar cerah. Bibirnya ditarik ke samping, dengan deretan gigi yang menyembul bersih. Kilatan sinar dari lensa kamera membuat senyumnya semakin merekah.

Mala ingat, ia sempat patah hati karena Ridwan meninggalkannya menikah atas pilihan orang tuanya. Sakit hati tak terkira membuatnya putus asa. Tak doyan makan, kerja sebagai desain grafis sebuah percetakan pun jadi kurang fokus. Sampai-sampai saat mendesain, ia pernah salah konsep. Permintaan pelanggan membuat banner soto ayam kampung malah ia beri konsep hati yang retak di setiap sudut dan tengah banner.

Pertemuannya dengan Izar mengubah segalanya. Salah seorang pelanggan yang pernah ia hubungi karena barangnya tertinggal di kantor, membuat keduanya dekat. Izar yang ramah, jenaka, dan perhatian perlahan mengikis rasa sakit yang pernah Mala derita. Bersama Izar ia yakin, bahwa jatuh cinta tak sesakit itu. Mungkin dengan Ridwan dulu, ia tak jodoh saja. Hingga setahun setelah kenalan, kabar serius itu menjadi kebahagiaan tak terperi untuk orang tua kedua pihak.

Begitu paman dan bibi Izar datang melamar, orang tua Mala segera menerima. Pernikahan itu pun terjadi. Hari ini, Sabtu pagi di pertengahan bulan. Akad nikah di kediaman Mala disulap sejak kemarin menjadi acara akad dan resepsi nanti malam.

Satu jepretan foto diambil lagi. Kini dengan tangan kanan Izar dicium Mala, sementara tangan kiri diletakkan di ubun-ubun sang istri.

Suka duka menjalani masa pacaran dengan Izar, laki-laki yang Mala yakini sebagai jodohnya.

***

Mala malu-malu saat Izar masuk kamar dan mendekatinya. Wajahnya memerah, pandangannya menunduk dengan tangan saling meremas gugup. Begitu ranjang bergerak, ia makin menunduk dalam.

"Akhirnya, ya, kita nikah juga." Izar membuka suara, sambil mencoba geserkan pantat. Menempel, lengan saling bersentuhan. Kejut listrik dirasakan Mala. Jantungnya berdegup kencang.

"Hem, iya," Mala menjawab setengah mendesah.

Bukan ia mencari sensasi di malam pertamanya. Namun, sentuhan tiba-tiba Izar di pinggang sedikit membangkitkan sesuatu. Gelenyar aneh ia rasakan. Tangan Izar mulai bergerak ke ritsleting gaun yang Mala kenakan, belum dilepas sejak tadi. Hanya ikatan pada rambutnya saja yang sudah dilepas, dan kini rambut panjangnya terurai.

Izar menyibak rambut Mala, agar ritsleting yang hendak ia tarik tak ada penghalang. Tangan kanan Izar memegang ritsleting itu, sementara tangan kiri mengusap pinggang ramping Mala. Perlahan malah bergerak ke depan lalu naik ke atas.

Tarikan ritsleting dilakukan perlahan. Izar sangat berhati-hati, atau memang ia terlalu sabar untuk tidak langsung mengoyak sang istri.

"Wangi," bisik Izar di telinga Mala.

Gadis itu tersenyum ringan. "Hem? Masa, sih?" godanya balik.

Izar menarik ritsleting sampai ke tengah. Ia tatap punggung mulus Mala yang kini terpampang sebagian. Ia kecup perlahan, diiringi embusan napas yang bagai menyengat sanubari Mala. Otomatis Mala mendongak. Ia tahan desahan yang tak tahu kenapa malah ingin dikeluarkan dari bibirnya yang berpoles warna merah.

Kecupan Izar tak hanya di satu tempat. Geser ke samping, ke atas daerah tengkuk, lalu gigitan-gigitan itu terjadi. Mala menggigit bibir, lagi-lagi menahan desah geli.

"Jangan, geli," lirih Mala memohon pada Izar agar menghentikan gerilya Izar di punggungnya yang kini semakin terbuka menampilkan garis panjang hitam, kain branya.

"Hem, bener nggak mau?" goda Izar. Tangan lelaki itu lantas melepas tali bra. Ia ingin bermain sejenak dengan sang istri. Dibuatnya garis dengan telunjuk, mulai dari tengkuk dan turun ke punggung. Sesekali ia mainkan lembut membentuk garis lingkaran di punggung telanjang Mala. Kecupan bertubi-tubi diluncurkan. Menerjang batas pertahanan Mala untuk tetap senyap. Hingga yang keluar adalah desah putus asa lalu kenikmatan, hanya karena sentuhan dan kecupan Izar di punggung, tengkuk dan kini merambah ke leher Mala. Tangan kiri Izar malah sudah bermain di gundukan yang masih tertutup gaun putih. Menekan lembut, membuat lingkaran kecil dengan telunjuk di puncak, lalu meremas lembut sampai Mala hanya bisa memejam.

Bagaimanapun, ini baru pertama bagi Mala. Selama ia pacaran dengan Izar, paling jauh hanya berciuman. Mala selalu suka saat Izar bermain dengan bibirnya. Kecupan Izar memabukkan. Lidah laki-laki itu selalu lihai memanjakan lawannya. Bagaimana ia membuai, mencari celah, lalu menunjukkan kepiawaiannya membangkitkan gelora. Tak ayal Mala selalu kalah telak jika bertahan. Mau tak mau, pun ia menikmati.

Sama seperti sekarang, saat lidah dan bibir Izar menginvasi Mala. Punggung, tengkuk, leher, dan bibir.

Izar memeluk Mala dari belakang. Sedikit menolehkan kepala, Mala mengimbangi ciuman Izar. Awalnya hanya kecupan, mulai dengan lumatan, lalu sedikit jilatan pada bibir Mala yang menggunakan lipstik matte. Desahan mewarnai kamar berhias bunga itu. Aroma semerbak dan remang lampu begitu mendukung pergerakan dua insan yang tengah dimabuk asmara.

Lumatan Izar dan Mala semakin panas. Tangan Izar mulai berusaha melepas gaun yang dikenakan Mala. Ia memang tak begitu sabar, apalagi lampu juga remang. Ia melepas paksa ciumannya, untuk mencari cara melepas gaun Mala yang terjuntai panjang.

***

Angga sudah siap dengan jas putih yang akan ia kenakan. Setengah jam lagi ia akan mengucap janji di hadapan-Nya, untuk mengesahkan Anita sebagai istrinya.

Berada di kamar tamu rumah mempelai wanita, ia disiapkan oleh seorang laki-laki kemayu manjalita agar tampil menawan. Celana warna putih sudah ia kenakan. Setelah mendapat perintah dari MUA, Angga segera mengenakan jasnya.

Mematut diri di cermin, Angga tersenyum Sepsoden. Giginya rapi dan bersih, karena sudah gosok gigi dengan pasta gigi berbahan arang. Senyumnya mengandung kebahagiaan haqiqi. Tentu saja, karena hari ini ia akan resmi menjadi suami. Sudah sah untuk menggauli sang kekasih, dan harus kerja keras lagi dalam mengais rupiah agar rezekinya lancar. Nafkah untuk Anita dan anak-anaknya nanti juga harus ia perhitungkan.

"Uh, you ganteng cucok meong, deh," celetuk lelaki lenjeh yang terkagum-kagum menatap pantulan Angga.

"Oh, jelas. Gue gitu, loh. Laki-laki tampan, mapan, dan idaman. Angga Restawan," sombongnya, kemudian terkekeh di depan cermin.

"Endes. Kalau you batal kewong gegara servis dese kurang tarancancam, you bisa hubungin eike, yak. Dijamin, you bakal berkeringat sama eike." Sambil tangannya menjawil pinggang Angga lalu meremas gemas otot berbalut jas tersebut.

Angga meringis ngilu. Tahu sih, dia memang tampan paripurna. Tapi jangan jadi idaman  kalangan abu-abu begini juga. Cukup ciwi menggemaskan, ibu-ibu arisan, tante-tante kurang dibelai basah. Jangan makhluk lenjeh di sampingnya.

"Eits, pegang-pegang. Bayar!" sewot Angga.

***

Anita berjalan diapit ibu dan kakak perempuannya. Memakai kebaya, ia lalu duduk di samping Angga. Keduanya saling melirik dan tersenyum. Melemparkan getar bahagia lewat kedipan.

"Cantik," puji Angga lirih.

"Makasih."

Penghulu memulai. Ayah Anita yang duduk di dekat Angga memberi isyarat. Angga mengangguk pasti. Ia sudah siap, belah duren nanti malam. Ah, tapi ijab kabul dulu sekarang. Mengesahkan Anita sebagai istrinya.

Anita, perempuan manis yang sepuluh bulan lalu ia jadikan kekasih. Berbekal bunga palsu dan dirangkai oleh mbak-mbak bergingsul di sebuah toko bunga, lalu makan malam romantis di kafe Instragam-able, Angga menembak Anita.

Tiga bulan sebelumnya ia bertemu Anita, di sebuah pusat perbelanjaan. Tak sengaja duduk di bangku depan gerai sambil sibuk dengan belanjaan dan minuman di tangan, obrolan pun terjadi. Perkenalan yang hangat, obrolan yang mengasyikkan, lalu janjian yang semakin sering.

Angga dan Anita merasa cocok. Anita yang masih kuliah, berjiwa muda nan riang, menyita hati Angga yang tiap hari berkutat dengan karyawan kebanyakan laki-laki. Ia pemilik usaha servis komputer dengan dua orang karyawan. Kalau ada anak SMA magang (PSG) bisa lebih ramai.

***

Acara berlangsung khidmat. Ucapan selamat dan doa mengiringi kebahagiaan sepasang pengantin baru. Tamu-tamu berdatangan, meski sudah pukul sepuluh malam. Karena lelah, Anita sampai duduk saja di pelaminan sementara Angga tetap berdiri.

"Capek, ya?" tanya Angga khawatir. Anita mengangguk. "Ih, jangan, dong. Ntar malem gimana? Makan dulu, ya, habis ini. Biar ada tenaga buat nanti di kamar," bisiknya,

Anita mencubit gemas suaminya yang jenaka.