cover landing

I'm Proud to be Me

By Della


Prolog

Gadis itu gugup tidak keruan.

Aula yang awal mulanya sepi, kini hampir dipenuhi lautan manusia. Aula yang tadinya hanya diisi alunan musik lembut, kini mulai heboh dengan teriakan penonton yang tidak sabar menunggu penampilannya. Kedua tangan gadis itu saling bertautan, mencoba mengusir dingin yang datang untuk mengganggu rasa percaya dirinya.

Masih tidak terbayangkan, bahwa hari ini akan datang di dalam hidupnya. Gadis yang dulu terabaikan bakatnya, yang dulu tidak pernah dilirik ketika beraksi....

Justru kini, ialah yang menjadi pemeran utamanya.

“Jika kau masih ragu-ragu, maka masa lalu itu masih membayangimu.”

Kalimat itu membuat sang gadis refleks meloncat ke depan. Jantungnya berdetak hampir tiga kali lipat dari biasanya, membuat tubuh kecil itu kini gemetar lebih hebat lagi. Lambat-lambat, ia memutar kepala ke belakang. Penasaran dengan orang yang baru saja membisikkan itu kepadanya.

“Loh, Kak Wulan?” tegurnya linglung ketika melihat seorang gadis berada di belakangnya sambil tersenyum.

“Hai, maaf aku datang terlambat, ya,” balas gadis bernama Wulan itu.

“Gapapa, Kak. Lagian, acaranya ‘kan belom dimulai.” Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala, meski kedua tangannya masih terpaut untuk mengusir dingin yang menggerayangi dirinya.

“Ris, ini waktunya,” tutur Wulan setengah berteriak, untuk mengalahkan sorak-sorai penonton di luar sana. “Kamu merasa gugup karena ini kali pertama kamu berada di atas panggung seorang diri. Tapi percayalah, tidak ada orang lain yang bisa menandingi kamu. Kamu tetap juaranya, dengan atau tanpa masker, Ris.”

Ucapan Wulan bagai sihir yang mampu menenangkan kegelisahan gadis itu. Tangannya tidak lagi terasa dingin, bahkan tubuhnya yang tadi gemetar hebat kini tidak bersisa lagi.

Dia telah siap sepenuhnya.

Salah satu kru acara datang menghampiri, memberitahukan jika pembukaan akan dilaksanakan sebentar lagi. Gadis itu mengangguk, mengatakan ia akan bersiap-siap.

“Kak Wulan, aku ke panggung dulu, ya! Terima kasih advice-nya, Kakak!” serunya dengan riang.

Wulan tersenyum sembari menganggukkan kepala, “Tapi, itu bukan dari gue, Ris.”

Langkah gadis itu terhenti, ia kembali melihat ke belakang dengan tatapan bertanya. “Lho, terus dari siapa, Kak?”

“Dari dia, si Bintang Penunjuk Jalan.”

*

I

Kuputuskan untuk menggunakannya

Karena tidak ada yang peduli jika aku memilikinya.

 

“Seluruh siswa baru harap menuju lapangan segera! TIDAK ADA YANG PULANG!”

Lengkingan membahana dari suara pemimpin MPLS bergema hingga ke sudut terjauh sekolah, membuat sebagian besar siswa baru mendecak kesal. Semua ini gara-gara apel sore yang wajib mereka ikuti, padahal bel sekolah telah berbunyi lebih dari lima menit yang lalu.

Di antara langkah-langkah gontai siswa baru itu, terdapat satu langkah kaki yang justru berjalan amat gelisah. Langkah itu milik seorang gadis kecil dengan rambut yang dicepol berantakkan. Hampir setiap detik, gadis itu melihat arloji perak yang melingkar di tangan kirinya, kemudian kembali berdecak kesal ketika ia menurunkan tangan.

“Ch-Cheresse...”

Gadis pemilik nama Cheresse ini menoleh ke asal suara yang terbata-bata itu. Suara yang berasal dari gadis di sebelahnya. Ia dapat melihat pergerakan gadis itu yang salah tingkah, membuat Cheresse menaikkan sebelah alisnya, “Ada apa?”

“B—bisa mundur s—sedikit, ga? Biar b—barisannya rapi....”

Cheresse yang mengerti permintaan gadis itu langsung saja mengikuti perintahnya. Kemudian ia kembali melihat kepada gadis itu, bermaksud untuk menanyakan apakah tindakannya sudah benar atau belum. Namun, gadis itu lebih dahulu memalingkan wajahnya, sembari memukul-mukul kepalanya sendiri.

Apa gue ada salah tindakan, ya? Sampai-sampai nih cewek takut ngomong sama gue sampai segitunya? Batin Cheresse tidak mengerti.

Sementara itu, butuh waktu lama bagi panitia untuk merapikan barisan yang kacau-balau. Tidak ada satu pun siswa baru yang berinisiatif untuk merapikan posisinya, walaupun setiap penanggung jawab kelas telah berteriak hingga suara mereka serak. Hal ini mereka anggap sebagai balas dendam, karena telah menahan jam pulang mereka.

Di tengah keributan seperti pasar ini, salah seorang panitia berjalan mendekati podium yang sedang ditempati Sang Pemimpin MPLS.

“Johan,” panggilnya ketika ia telah berada di samping pemuda itu.

Tidak perlu waktu lama bagi Johan untuk mengerti kode yang dilayangkan temannya. Sedetik kemudian, ia telah memberikan mic kepada pemuda itu sembari menuruni podium.  Saatnya orang yang paling disegani se-SMA Bintang Utara mengambil alih keadaan.

Test, satu, dua, tiga,” ucapnya menggunakan pengeras suara. “Buat Kakak-kakak PJ, dimohon untuk berhenti berteriak!”

Suasana yang ramai bak di Pasar Senen seketika hening begitu saja. Perasaan capek, lelah, dan marah ikut menguap bersama hilangnya keramaian itu. Sekarang, justru terasa dingin dan mencekam, mengalahkan hangatnya matahari sore yang sedang menyinari mereka.

“Kakak-kakak PJ, tadi sudah menunjuk ketua kelas bukan?”

Pertanyaan ringan dari pemuda itu langsung dibalas dengan anggukan oleh panitia-panitia MPLS lainnya.

“Kalau begitu, silakan ketua kelas berdiri di depan dan pimpin teman-temannya untuk merapikan barisan—”

Seluruh peserta maupun panitia MPLS sampai menahan napas mereka ketika pemuda ini menggantungkan kalimatnya di udara.

“Saya hitung sampai satu...”

“Dua...”

Penanggung jawab kelas mendadak panik dan mulai menarik ketua mereka. Keadaan kembali ricuh dengan suara, tapi kali ini memiliki tujuan yang sama.

“Tiga...”

CEPAT RAPIKAN POSISINYA!

 “Empat... dalam hitungan kelima tidak ada lagi yang bersuara! Dan ketika selesai, ketua kelas harap mengambil tempat di samping kanan barisan masing-masing,” perintah pemuda itu dengan tenang. Namun, aura yang ia pancarkan justru membuat seluruh siswa baru ketakutan.

“Empat setengah...”

Beberapa ketua kelas terlihat tidak keruan, beberapa terlihat berlari begitu saja untuk mengambil tempat di samping kanan barisan.

“Lima. Oke, tidak ada lagi gerakan tambahan.”

 Pemuda itu mengedarkan pandangannya dari kelas yang satu ke kelas yang lainnya. Mata tajam pemuda itu dengan cepat meneliti satu per satu siswa hingga di barisan belakang.

“Itu cewek yang nunduk di IPS-3, tinggalkan dulu jam tangan kamu kalau mau pulang cepat!”

 Cheresse tahu jika pemuda itu sedang menegur dirinya. Hal ini membuat si gadis langsung menegapkan badan dan meluruskan pandangannya. Ia tidak ingin mengambil risiko lebih lanjut. Bisa saja pemuda itu menahan dia pulang lebih lama, ‘kan?

“Selamat Sore, teman-teman SMA Bintang Utara. Saya Felix. Hari ini, saya menggantikan ketua OSIS kita yang berhalangan hadir.”

Meski pemuda yang bernama Felix itu tidak lagi berbicara sedingin yang pertama, tapi atmosfer yang ada di sekitarnya justru semakin mencengkam.

“Sebelum Pak Soetarji memulai apel sore, saya ingin memberi sedikit pengumuman. Hari ini banyak sekali siswa yang melanggar peraturan sekolah. Pertama, banyak siswa perempuan yang masih memakai kaus kaki hanya setinggi mata kaki. Jika besok teman-teman masih mengabaikannya, siap-siap pulang sekolah dengan kaki ayam!”

Seluruh siswa perempuan yang melanggar aturan hanya bisa menghela napas berat, sembari mengangguk-anggukkan kepala dengan lesu.

“Kedua…” Felix kembali mengedarkan mata elangnya, meneliti satu per satu ekspresi siswa-siswi yang berada di barisan. “Saya mendapat informasi jika ada siswa baru yang membawa motor. Apa benar?”

Bisikan-bisikan lebah tiba-tiba menguar begitu saja. Bahkan suaranya lebih keras daripada dengungan siswa perempuan yang mengeluh tentang aturan kaus kaki tadi. Sepertinya, banyak sekali siswa yang terjerat dengan aturan yang satu ini.

“Dimohon untuk tenang!” seru pemuda itu tegas. Membuat peserta apel sore kembali bungkam.

“Kami panitia MPLS telah menyita motor siswa baru yang ada di parkiran sekolah. Jika kalian menginginkan motor itu kembali…” Sudut bibir kanan pemuda itu terangkat, meski sedikit samar. “….kalian harus menjemputnya dengan orang tua masing-masing.”

“Sial!”

Gadis berarloji perak itu mulai menjambak rambutnya sendiri. Entahlah, tiba-tiba kepalanya mendadak pusing dengan pengumuman yang terakhir itu. Dia adalah salah satu siswa yang terkena razia dadakan ini, dan ia tidak bisa memenuhi syarat yang diberikan pemuda itu.

Apel sore pun dimulai, seiring dengan Cheresse yang kini sedang mencari cara untuk kabur.

***

Sial!

Gadis itu berkali-kali mengumpat di dalam hati. Mempercepat langkah yang nyaris seperti berlari. Pukul 16.35, tertulis di arlojinya. Ia telah terlambat 30 menit jika acara yang sedang ia tuju itu mulai tepat waktu.

Cheresse langsung saja berbelok ke salah satu toilet umum yang berada di dekat lokasi acara. Ia langsung membanting salah satu pintu toilet dan menutupnya dengan gusar. Tidak butuh waktu lama, gadis itu telah selesai menukar seragamnya dengan satu set pakaian olahraga yang serba hitam. Kemudian, mengambil masker dan topi yang selalu ia simpan di kantong kecil tas sekolahnya.

Cheresse mulai mendekati lokasi. Langkahnya yang tadi cepat justru mulai memelan. Kedua tangannya saling terpaut, kuku-kukunya mulai terasa dingin. Lagu-lagu yang diputar secara random pun mulai terdengar, membuat adrenalin gadis itu semakin meningkat. Dengan hati-hati, ia meletakkan ranselnya di antara kumpulan ransel peserta lain. Sekali lagi, ia memastikan ransel itu benar-benar terkunci sebelum menyusul memasuki arena.

Lagu berganti. Cheresse merasa familiar dengan bridge lagu ini. Gadis itu langsung berlari ke tengah—menempatkan diri untuk ikut menarikan tarian lagu ini.

“HEY! THE BLAND MASK SUDAH DATANG!”

Meski tidak terlihat, gadis itu tersenyum simpul di balik masker yang ia kenakan. Sorakan itu tidak menggoyahkan gerakannya, justru ia semakin terpacu dan bersemangat untuk menari. The Bland Mask menarikan La Vie en Rose seperti lagu miliknya sendiri.

Tiba-tiba, musik itu mendadak menghilang. Sedetik kemudian digantikan dengan reff dari lagu lain. Cheresse terdiam beberapa detik untuk mengetahui beat dari lagu yang terputar. Ia tahu jika lagu ini berjudul Killing Me miliknya Ikon! Dengan cepat gadis itu membungkuk sembari mengentak-entakkan kaki kanannya persis seperti koreografi lagu itu. Sorak-sorai penonton semakin seru. Orang yang mereka beri julukan The Bland Mask itu benar-benar melakukannya dengan baik. Sorakan bertambah nyaring ketika lagu berganti dan si gadis di balik masker itu bisa menyesuaikan gerakannya hanya dalam waktu satu detik.

Ini bagian bridge kedua dari lagu Adios milik Everglow. Tentu saja gadis itu merasa tidak asing lagi, karena akhir-akhir ini dia menyukai lagu itu. Dengan energik Cheresse mulai menyilangkan tangan ke bawah, kemudian memutar ke atas seperti gerakan memanggil seseorang. Siapa pun yang melihat gerakan ini pasti akan terkesima, termasuk panitia yang menyelenggarakan acara ini. Saking terkesimanya, panitia sampai-sampai membiarkan lagu itu terputar hingga akhir.

Berakhirnya lagu itu, menjadi pertanda bahwa Random Dance Challange in Public telah selesai.

Cheresse membetulkan topinya yang hampir saja copot, kemudian secepat mungkin berlari, menyambar tas, dan menghilang dari arena. Beberapa orang yang ingin berfoto dengannya sempat mengejar jejak gadis itu. Namun, sia-sia. Gadis itu menghilang terlalu cepat di balik kerumunan orang yang tengah sibuk menunggu kereta.

Dialah The Bland Mask. Sisi lain dari seorang Cheresse Damia yang belum pernah terungkap. Baginya, cukup orang-orang mengetahui The Bland Mask sebagai si genius K-pop dancer, bukan identitasnya sebagai Cheresse Damia.

***

“Felix, lo sampai kapan betah di sana?”

Teriakan yang datang dari seseorang dikenal sukses membuat pemuda itu mengecek jam yang tertera di layar ponselnya. Pukul 16.15, sudah satu jam lebih ia berdiri di parkiran ini. Namun, masih ada beberapa motor siswa baru yang pemiliknya belum kunjung datang juga.

“Lima menit lagi,” jawab pemuda itu kepada seorang gadis yang kini tepat berdiri di sampingnya.

Mendengar jawaban yang keluar dari temannya itu, membuat gadis ber-name tag Wulan Raina Noela berkacak pinggang. Kedua matanya berotasi, pertanda gadis itu benar-benar kesal dengan tindakan Felix yang terlihat sia-sia ini.

“Mau Lo tungguin sampai Magrib pun, pemiliknya ga bakalan datang! Mending lo pulang, besoknya lo bisa patroli keliling kelas baru buat tanyain itu motor milik siapa.”

“Lo duluan aja kalau ga betah, Lan,” balas Felix enteng. Tampaknya pemuda itu baru saja mengabaikan masukan dari teman baiknya itu.

Wulan menjadi bersungut-sungut akibat jawaban dari pemuda itu. Tanpa permisi, gadis itu langsung saja mengangkat tote bag-nya dan menimpuk Felix tanpa ampun.

“Apa lo lupa udah janji sama gue buat nganterin beli bakmi?!” Gadis itu menggembungkan kedua pipinya. Ia masih mencoba untuk sabar, tapi wajahnya yang kini merah padam justru mengisyaratkan jika emosinya kepada Felix telah berada di tingkat atas.

“Habisnya lo dari tadi bawel banget! Kuping gue capek, Lan, dengernya.” Gantian, sekarang Felix balas memarahi gadis yang sedikit tidak sabaran itu.

Pemuda itu kembali melihat penunjuk jam yang berada di lockscreen ponselnya. “Yaudah, lo tunggu di sini. Gue mau ke dalam dulu ambil tas gue.”

Wulan hanya bisa menghela napas panjang, diam-diam sudut mata gadis itu tetap mengikuti pergerakan Felix hingga pemuda itu menghilang setelah melewati gerbang. Gadis itu jadi bertanya-tanya sendiri, jam berapakah pemuda dingin itu akan pulang jika tadi ia memutuskan untuk pulang duluan?

Tak berapa lama, pemuda yang sedang memenuhi pikiran gadis itu mulai terlihat dari kejauhan. Tanpa banyak bicara, Felix pergi ke tempat motornya terpakir, menghidupkannya, dan membawanya tepat ke hadapan gadis itu.

“Cepetan naik!” titahnya sambil membulatkan kedua mata.

“Bawel, ini gue juga lagi naik!”

Motor itu pun melesat membelah jalanan ibu kota. Beberapa menit kemudian, Felix memutuskan untuk berbelok dan masuk ke salah satu gang kecil. Gang ini tersebar layaknya jaring laba-laba. Dengan melewati gang-gang kecil ini, mereka akan sampai di tempat tujuan lebih cepat, apalagi di saat jam-jam pulang kantor seperti ini.

Lima belas menit kemudian, Felix dan Wulan hampir tiba di warung bakmi tujuan mereka. Sekarang, pemuda itu hanya perlu melewati kerumunan orang di alun-alun itu dan—

Stop, Felix, stop!”

Tiba-tiba si gadis mengguncang-guncangkan bahu pemuda itu agar ia menghentikan laju motornya. Hampir saja motor itu oleng dan rubuh ke kanan, beruntung Felix dengan sigap mengendalikan kemudinya.

“Lo kenapa sih, Lan!” sewot Felix yang dengan cekatan menarik rem motornya. Pemuda itu membuka kaca helmnya dan melirik Wulan dengan tatapan berapi-api. Namun, si gadis tidak memedulikan tatapan itu. Justru Wulan sudah turun dari atas motor, dan bersiap-siap untuk mendekati kerumunan di alun-alun itu. “Bentar, gue mau lihat The Bland Mask dulu di sana!”

“Hah? The Blender?”

THE BLAND MASK! Telinga lo kepenuhan tai atau gimana, sih?!” tanggap gadis itu, sebelum berlari dan meninggalkan Felix yang masih clueless.

Melihat Wulan yang antusias, pemuda itu hanya bisa pasrah dan mulai menepikan motornya. Setelah memastikan kendaraannya akan aman ditinggal sebentar, Felix mulai menyusul Wulan sembari menenteng helm yang ia kenakan.

Musik yang tadinya tidak begitu terdengar kini mulai menusuk telinga. Pemuda itu merasa tidak asing lagi dengan lagu yang terputar ini. Lagu ini sempat viral beberapa tahun belakangan. Di tengah-tengah kerumunan, ada beberapa orang yang sedang menarikan tariannya. Namun, netra pemuda itu hanya terpana pada satu orang.

“Lan, yang itu ya, si Blender?” Felix sedikit berteriak kepada gadis di samping kanannya, agar suaranya bisa mengalahkan speaker yang mahadahsyat itu.

THE BLAND MASK, FELIX! BUKAN BLENDER!” seru Wulan sambil memutar matanya entah untuk keberapa kalinya hari ini .

Felix memilih untuk tidak menanggapi lagi. Daripada berdebat dengan gadis ini, lebih baik ia menonton aksi peserta di tengah kerumunan itu. Mata pemuda itu kembali terpaku pada sosok yang mengenakan pakaian olahraga serba hitam itu. Sosok itu tambah menyita perhatian akibat ia juga mengenakan masker bewarna hitam dengan bucket cap bewarna senada.

Namun, sesuatu yang lebih menyita perhatian pemuda itu adalah tarian itu sendiri.  Meski ia tidak begitu hafal koreo asli dari lagu itu, tapi ia bisa merasakan jika gerakan gadis itu sangat akurat mengikuti beat lagunya.

Ketika pemuda itu baru saja hanyut dalam suasana, tiba-tiba musik yang terputar berhenti. Digantikan dengan riuh redam tepuk tangan orang-orang di sekitar kerumunan. Felix tersadar, pemuda itu dengan cepat mengeksplor keberadaan si Blender. Namun, gadis itu entah berada di mana sekarang.

“Lix?” Seseorang tiba-tiba menepuk bahu pemuda itu, mau tidak mau ia harus mengalihkan perhatiannya sekarang?

“Lo cari siapa?” tanya Wulan sembari mengedarkan pandangannya di antara kerumunan itu lagi. Mungkin, gadis itu bisa menemukan orang dicari Felix.

“Gue ga cari siapa-siapa. Ayo pulang.”

***