cover landing

I Curse You

By felisurya


Cindy, ini gue Adit. Gue kena kutuk jadi pena. Jangan teriak—

“AAAAAAAAA!!!”

Ya ampun. Baru diminta jangan berteriak, eh, Cindy malah menjerit histeris!

Cindy, jangan teriak-teriak! Ini gue—

Belum sempat Adit menyelesaikan kalimatnya, Cindy sudah melempar pena di tangannya. Cindy terlihat begitu ketakutan, seolah-olah Adit itu setan. Tidak heran juga, sih. Manusia mana yang tidak menjerit histeris saat pena di tangannya tiba-tiba bergerak menulis sendiri? Bukan cuma itu, bobble head Hello Kitty yang biasa menghiasi ujung pena favorit Cindy sekarang berubah menjadi wajah Adit! Adit pasrah. Dia cuma bisa menunggu hingga Cindy kembali tenang.

Semenit kemudian, Cindy meraih pena yang tadi dilemparnya karena ketakutan.

Setelah menggenggam pena itu, Adit kembali membuat tangan Cindy bergerak tanpa bisa dikendalikan. Adit menulis di atas kertas.

Cindy, ini gue, Adit. Pagi ini gue bangun dan kena kutuk jadi pena. Iya, pena Hello Kitty lo yang menggelikan itu sekarang tergantikan kepala gue yang ternyata lebih menggelikan. Jangan lempar—

“H-h-hiiiiiyyy!!!”

Adit menjadi gusar. Otak Cindy konslet atau bagaimana, sih? Dibilang jangan teriak, malah teriak! Dibilang jangan lempar, malah lempar! Tidak heran nilai pelajarannya jongkok semua!

“Cindy!” Akhirnya Adit terpaksa meneriakkan nama Cindy. Adit tahu, pena yang bergerak dan menulis sendiri pasti akan membuat Cindy ketakutan. Tapi, dia juga tahu bahwa Cindy akan lebih takut jika mendengar pena berkepala Adit itu berbicara dengannya. Itu sebabnya, Adit memilih jalur tulisan untuk menjelaskan keadaannya. Namun, kalau Cindy bebal seperti ini … apa boleh buat.

“AAAAAAAA!!! SETAN! SETAN!”

“Ini gue, Adit, teman sekelas lo! Gue bukan setan!” seru Adit. “Lo tenang sedikit bisa nggak, sih?”

Adit melihat Cindy gemetaran. Giginya bergemeletuk. Sebetulnya kasihan juga, tapi mau bagaimana lagi? Cuma Cindy yang bisa membantu Adit.

“Gue nggak ngerti kenapa, bangun-bangun gue malah jadi pena Hello Kitty lo yang najis itu. Lalu, gue dengar suara yang bilang bahwa gue kena azab dan gue harus bantuin lo supaya bisa balik ke tubuh asli gue.” Adit lanjut berbicara, berharap Cindy mendengarkan meskipun wajahnya masih pucat pasi.

“L-l-lo setan!” teriak Cindy, lalu dia mulai membaca-bacakan doa.

“Percuma kalau udah ketemu setan baru berdoa, biasa-biasanya nggak ingat Tuhan.” Adit memutar bola matanya sambil mengkritik Cindy. “Eh, tapi gue bukan setan! Cin, coba lo diem dulu dan tatap muka gue. Ini gue, Adit.”

Disuruh menatap Adit, Cindy malah semakin memalingkan wajah.

“Lo tuh kenapa, sih? Disuruh sesuatu malah melakukan sebaliknya. Gue bukan Medusa! Tatap muka gue, lo nggak bakalan jadi batu, kok.”

Cindy menelan ludah. Setengah mati dia memberanikan diri untuk menatap wajah Adit di bobble head ujung pena. Cindy mengamati pena itu dengan saksama. Apa benar ini Adit? Adit teman sekelasnya yang pintar tapi sombong, yang menolak mengajari Cindy pelajaran MaFiA (Matematika, Fisika, Kimia) dan malah menyuruhnya “berlangganan” contekan?

Tapi, kenapa mukanya jadi begini? Wajah Adit penuh dengan bulu-bulu lebat yang kusut, lebih tepat disebut brewok yang tidak terawat. Mulutnya menghilang, hidungnya menjadi sangat kecil dan nyaris tidak terlihat di antara brewok itu. Cindy hanya bisa menangkap sepasang mata yang menatapnya lebar, nyaris memelotot.

Cindy kembali gemetar. Dia sungguh tidak percaya bahwa pena itu adalah Adit, sebab wajah yang dilihatnya itu memang bukan wajah Adit! Lagi pula bagaimana caranya Adit bisa berubah wujud menjadi sebuah pena?! Cindy menggeleng. Tidak. Ini tidak mungkin Adit. Pasti dia sedang berhalusinasi.

Melihat raut wajah Cindy yang kembali ketakutan dan ragu, Adit mulai panik. Kesabarannya untuk meyakinkan Cindy mulai luntur.

“Cindy, dengerin gue!” seru Adit tegas. “Lo masih nggak percaya juga kalau ini gue yang kena kutuk?! Fine. Biar gue kasih tahu satu rahasia lo yang cuma gue yang tahu. Waktu kelas tiga SD, lo adalah orang yang diam-diam sengaja berantakin bekal makanannya Rio pas nggak ada siapa-siapa di kelas. Bukan cuma karena lo kesal dia sering ngeledekin lo, tapi juga karena lo iri setiap hari Rio dibawain bekal sama nyokapnya. Tapi, lo jadi merasa bersalah waktu udahannya Rio nangis sampai sekelas dihukum gara-gara nggak ada yang ngaku. Udahannya lo cerita ke gue sambil nangis-nangis, nyesel udah jahat sama Rio, dan minta gue janji untuk nggak bilang siapa pun. Terus, karena gue kasihan, besoknya gue ngasihin lo bekal makanan gue yang dibikinin nyokap gue. Tadinya lo nggak mau karena takut gue jadi kelaperan, tapi akhirnya lo setuju setelah gue minta barter traktiran siomai kantin.”

Cindy terperanjat mendengar penjelasan Adit. Mulutnya menganga lebar. Dia sampai kehabisan kata-kata. Melihat ekspresi Cindy, Adit tersenyum lebar. Dia yakin kali ini dia berhasil membuat Cindy percaya.

“I-i-ini beneran lo, Dit?” Cindy mencicit.

“Iyalah, beneran gue! Finally, lo mudeng juga!” Adit bersorak kegirangan.

Cindy melongo. Bagaimana bisa Adit bertransformasi menjadi pena bobble head Hello Kitty kesayangannya?!

“Kenapa muka lo jadi kayak gini?” Cindy masih tercengang.

“Memangnya muka gue kenapa?” Adit balas bertanya.

Mulut Cindy menganga lagi. Jadi Adit tidak tahu sama sekali perubahan yang ada pada wajahnya? Cindy jadi bimbang. Apa dia harus memberi tahu Adit the bitter truth? Atau lebih baik diam saja? Kasihan kalau Adit jadi stres memikirkan wajahnya yang menjadi seperti itu. Tapi, memangnya Adit pantas dikasihani? Cindy kembali teringat saat Adit berbicara dengan angkuh padanya kemarin.

“Lo minta tolong gue ngajarin lo buat ulangan Fisika?” Adit menatap Cindy dengan pandangan mencemooh. “Lo nyadar nggak, lagi minta tolong sama siapa?”

“Sama Aditya Nelen,” Cindy menjawab. “Juara umum kelas 11.”

“Nelen? Apa itu Nelen?” Adit mengernyit.

“Nama Instagram lo Aditya Nelen, kan?”

Adit mengernyit. Saat dia sadar, kedua matanya melebar dan dia langsung keki. “NLN itu artinya no last name, bukan nelen!”

“Oh, maaf.”

Adit memutar bola matanya. Dia paling sebal dengan orang-orang bodoh, terutama kalau orang bodoh itu adalah Cindy.

“Gue bukan bimbel,” ucap Adit. “Enak aja minta diajarin. Lo pengen nilai lo bagus?”

Cindy mengangguk penuh semangat.

“Kalau gitu, ‘langganan’ jawaban aja sama gue.” Adit menunjukkan layar ponselnya.

Cindy menyipitkan mata, berusaha memahami flyer di ponsel Adit yang memuat bermacam-macam harga.

“Pilih mata pelajarannya, pilih jumlah ulangannya, transfer duitnya. Abis itu, lo tinggal duduk manis aja di setiap ulangan, nunggu jawaban dari gue.”

Tapi jelas, Cindy menolak. Bukannya sok suci, soal itu sih dia sudah tidak peduli. Masalahnya Cindy lagi bokek, isi dompetnya betul-betul tiris. Semua gara-gara Astrid, kakaknya, yang mendadak menjadi diktator di rumah!

“Gue bayar pake kartu kredit aja boleh nggak? Cash gue lagi tiris,” tawar Cindy.

“Kartu kredit? Gaya bener lo sok-sokan mau bayar gue pakai kartu kredit!” Adit mendengus. “Nggak bisa. Gue bukan mal. Kalau lo mau jasa gue, bayar tunai.”

Cindy menghela napas. “Kalau gitu nggak bisa, Dit. Gue beneran lagi nggak ada duit!”

Adit nggak percaya saat Cindy bilang dia tidak punya uang untuk berlangganan contekan dari Adit. Padahal Adit sudah berniat memberinya diskon kalau Cindy berlangganan satu paket pelajaran IPA. Cindy itu anak orang kaya. Ke sekolah saja diantar sopir dengan mobil mewah. Rumahnya selayaknya istana, lengkap dengan sejumlah asisten rumah tangga melayaninya bagaikan dayang-dayang.

Ayah Cindy adalah pengacara terkenal, spesialis menangani kasus-kasus sengketa bisnis. Sederet nama konglomerat pernah dan masih menjadi kliennya. Kantor pengacaranya saja terletak di salah satu gedung perkantoran mewah di bilangan Sudirman. Adit tahu dari mana? Ya, jelas Adit tahu. Dia sudah satu sekolah dengan Cindy sejak SD, bahkan hampir setiap tahun sekelas pula.

“Asli, gue beneran lagi nggak punya duit di dompet, Dit,” ulang Cindy, saat Adit menolak untuk membantunya.

“Ya udah, nggak usah cari gue. Lagian, ngapain sih minta bantuan gue segala?” Adit membalas Cindy dengan galak.

“Soalnya, lo kan juara umum. Lo yang paling pinter di satu angkatan ini.”

“Tepatnya satu sekolah. Lo tahu kan, bahkan angkatan di atas kita aja nggak ada tuh yang nilai kenaikan kelasnya setinggi gue.”

“Oh.”

“Terus, lo sendiri, nilai lo berapa, sih?”

“Aduh, malulah.” Cindy mengelak. “Intinya, kalau nilai gue nggak membaik juga, gue bisa-bisa nggak diijinin main basket lagi.”

Cindy adalah anggota tim basket sekolah. Dia bukan kapten, tapi sering mendapat gelar most valuable player setiap kali ikut kompetisi. Sayangnya, perhatian Cindy terhadap pelajaran sekolah tidak sebesar perhatiannya terhadap olahraga basket. Meskipun sudah semester 2 kelas 11, dia tidak terusik dengan nilai-nilainya yang babak belur. Cindy baru mulai bergerak ketika diancam oleh kepala sekolah akan kena suspensi dari tim basket jika nilainya masih terus-terusan amburadul.

“Nah, udah tau nilai lo tiarap, masih berani minta tolong gue? Manfaat gue nolongin lo apa, coba? Sadar diri dong, kita beda level.”

Disemprot Adit dengan sengak seperti itu, sontak darah Cindy langsung mendidih. Walaupun emosi tingkat tinggi, Cindy masih berusaha untuk menahannya.

“Iya, gue tau nggak ada manfaatnya. Tapi, gue yakin kalau lo ngajarin gue, nilai gue bakalan membaik,” ujar Cindy.

“Eh, dengerin, ya. Gue ini juara umum, bukan dayang lo. Lo kira semua orang di dunia ini lahir untuk siap ngebantuin lo? Makanya, jadi anak jangan manja! Ngaca, lo siapa?!”

Kedua mata Cindy mengerjap. Kepalanya terasa berasap. That’s it! Emosinya meledak tanpa bisa ditahan lagi. Adit betul-betul cari ribut dengan mulutnya yang pedas macam sambal roa! Saking kesalnya, Cindy sampai tidak bisa berkata-kata lagi.

Adit heran melihat Cindy yang terpaku, tidak sadar juga kalau dialah yang membuat Cindy seperti itu. Adit memutar bola matanya dan membalikkan badan.

“Adit, kurang ajar lo! Gue sumpahin lo kena batunya!” jerit Cindy akhirnya.

“Sumpahin apaan?” Adit malah menyahut dengan senyum mencemooh. “Lo mau nyumpahin gue jadi apaan? Jangan bacot doang digedein, otak tuh juga! Hahaha!”

Tubuh Cindy gemetar karena amarah. Untungnya bel tanda istirahat selesai segera berbunyi, kalau tidak mungkin Cindy sudah mengejar Adit dan melanjutkan pertengkaran yang tidak ada juntrungannya itu.

Menjawab pertanyaan Adit mengapa Cindy meminta bantuannya untuk mengajari pelajaran, sebetulnya bukan cuma karena Adit pintar dan juara kelas. Dulu, sewaktu SD, Cindy lumayan dekat dengan Adit. Ada kalanya mereka duduk sebangku atau setidaknya berdekatan, jadi mereka sering mengobrol. Bahkan pernah juga beberapa kali Adit membagi bekal makanannya dengan Cindy. Sejak dulu Adit memang pintar, namun tentunya tidak sesombong sekarang.

Lalu, saat mereka masuk SMP, murid-murid perempuan dan laki-laki entah kenapa mulai terbagi menjadi dua kubu. Yang perempuan menjelek-jelekkan laki-laki, yang laki-laki menjelek-jelekkan perempuan. Adit dan Cindy menjadi tidak sedekat dulu lagi. Cindy jadi intens berkumpul dengan teman-teman tim basketnya, Adit lebih sering nongkrong bareng teman-temannya yang laki-laki. Namun, saat itu pun jika mereka kebetulan berdua, mereka masih juga mengobrol.

Kemudian, saat mereka kelas 3 SMP, tiba-tiba Adit tidak masuk sekolah selama seminggu. Usut punya usut, ibunya meninggal, tetapi tidak ada yang tahu penyebabnya. Guru-guru juga berpesan supaya tidak ada yang menyinggung atau nanya-nanya soal itu ke Adit. Kejadian itu membuat Adit berubah. Dia menjadi seorang penyendiri, jarang terlihat menghabiskan waktu dengan teman-temannya lagi.

Sejak saat itu juga sikap Adit berubah menjadi ketus terhadap Cindy. Awalnya, Cindy mengira mungkin cuma karena Adit masih sedih, tetapi seiring berlalunya hari dan bergantinya bulan, sikap Adit kepada Cindy malah semakin dingin dan galak. Hingga suatu hari, Cindy tidak tahan lagi. Dia langsung mengonfrontasi Adit saat pulang sekolah. Cindy mencegat Adit yang berjalan sendirian dan hendak meninggalkan gerbang sekolah.

“Adit!” Cindy memanggil. Begitu Adit menoleh, tanpa basa-basi Cindy segera mencecarnya. “Lo kenapa sekarang jadi dingin sih sama gue? Apa lo masih sedih? Atau gue ada salah sama lo?”

Adit hanya menatap Cindy sekilas, lalu kembali meneruskan langkahnya.

“Dit! Jangan kacangin gue! Kenapa, sih?”

Adit menghentikan langkahnya. Dia menatap Cindy dengan tajam. Saat itu Cindy menyadari sesuatu. Kilat mata Adit berbeda dari biasanya. Bukan cuma rasa kesal, tapi juga ada kebencian yang ditangkap Cindy di sana.

“Karena gue muak sama anak kayak lo,” desis Adit. “Anak manja, orang kaya yang bersikap semaunya. Anak belagu, yang nggak pernah dididik orangtuanya yang juga nggak punya tata krama. Anak berengsek, dari keluarga sampah yang juga bajingan.”

Cindy terperanjat mendengarnya. Mulutnya hanya menganga untuk beberapa saat. Adit melanjutkan langkahnya.

“A-Adit? Lo kenapa ngomong gitu tentang gue? M-memangnya gue salah apa?” ucap Cindy terbata. Cindy masih tidak habis pikir mengapa Adit menghina dirinya terang-terangan, bahkan ikut menyeret-nyeret keluarganya!

“Masih berani nanya salah lo apa?!” Adit mendengus. “Jangan pernah lo ngajak gue ngomong lagi!”

Cindy betul-betul bingung. Sejak saat itu, dia tidak pernah berani lagi mengajak Adit mengobrol. Jangankan mengobrol, menyapa saja tidak berani. Terus terang, Cindy sedih dan marah. Mengapa Adit menghina dirinya sampai segitunya? Apa salahnya terhadap Adit? Tetapi, seiring dengan waktu, Cindy perlahan-lahan mulai menerima bahwa Adit mungkin memang tidak mau lagi berteman dengannya, entah apa alasannya. Walau terus terang, Cindy tidak pernah bisa melupakan kata-kata Adit yang begitu pedas dan menyakitkan.