cover landing

How to Turn A Husband On

By ReeeanaBullton


Jakarta, Indonesia

 

Air mata Arabella rasanya sudah habis. Arabella masih menatap handphone yang sedari tadi dia genggam, Tatapannya sendu memikirkan apa kesalahannya sehingga dirinya dipecat.

Arabella Camelia, Gadis yang berusia 22 tahun yang selama dua tahun terakhir bekerja di kafe Goedkoop daerah Jakarta Pusat. Arabella memiliki wajah yang sangat cantik dan manis. Ada beberapa dugaan yang muncul di benak Arabella mengapa dirinya bisa dipecat. Namun yang menurutnya paling masuk akal karena dia selalu izin bekerja untuk merawat ibunya sedang sakit. Arabella memang perlu memantau perkembangan wanita yang telah melahirkannya itu secara rutin.

Seharusnya, tiga tahun yang lalu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Namun semua rencana yang sudah disusun sangat rapi itu beratakan karena takdir. Tiga tahun lalu keluarganya berencana pergi berlibur. Namun saat di perjalanan, kedua orang tua Arabella mengalami kecelakaan yang sampai detik ini membuat ibunya terbaring koma. Ayahnya tidak selamat dalam kecelakaan itu. Arabella memilih tidak melanjutkan pendidikannya demi bekerja untuk melunasi utang sang ayah dan membayar biaya pengobatan sang ibu.

Arabella tidak ingin memikirkan masa lalu yang membuatnya trauma itu. Apalagi, semenjak kecelakaan itu Arabella selalu menelan kepahitan dalam hidup.

Lamunan Arabella buyar saat handphone-nya berbunyi.

[Bell, gimana?] Ucap Caroline di seberang telepon. Caroline adalah teman SMA Arabella.

"Nanti gue pikirin lagi, Car."

[Keep strong, Bell.]

"Sumpah pikiran gue kacau banget." Jawab Arabella sembari menghela napas.

[Are you okay?]

“I’m not okay, Car. Gue kacau banget," jawab Arabella.

Arabella membuang napas sejenak sebelum melangkahkan kakinya keluar dari kafe, Tujuannya sekarang pulang dan kembali ke rumah sakit untuk melihat perkembangan sang ibu.

Omong-omong soal Caroline, sahabatnya ini berprofesi sebagai wanita panggilan. Namun, Caroline bukan wanita panggilan biasa. Gadis itu selalu memasang tarif tinggi untuk setiap klien. Kehidupan Caroline sangat pahit sedari kecil, di mana dirinya diperkosa oleh mantan pacarnya dan berakhir bekerja menjadi seorang wanita panggilan.

Hari ini tujuan Arabella menghubungi Caroline adalah untuk bertanya tentang pekerjaan. Ya, Arabella sudah lelah bekerja keras membayar biaya rumah sakit ibunya yang mahal. Apalagi selang pernapasan ibunya akan dicabut jika Arabella tidak membayar tagihan tepat waktu. Meski begitu, Arabella bahagia, setidaknya Arabella masih bisa melihat wajah wanita yang sudah melahirkannya ke dunia.

***

Mobil Ferrari warna putih membelah jalanan kota Jakarta dengan kecepatan sedang. Di dalamnya ada seorang pria yang berusia sekitar 26 tahun. Reviano Walter, laki-laki yang sudah mapan dan memiliki wajah yang begitu sempurna sedang menuju kafe di dekat tempat kerja sang kekasih. Senyum tampan di wajah Reviano tidak pudar sedari tadi. Jarinya mengetuk kemudi mengikuti irama lagu yang sedang diputar. Namun, tiba-tiba musik itu terputus saat nama kekasihnya tertera di layar ponsel. Laura.

“Halo?” Reviano menyapa dengan riang

[Kamu lagi di mana, sih?] Nada lawan bicaranya terdengar kesal.

“Ini bentar lagi sampai kok, sayang,” jawab Reviano.

[Udah dari tadi aku nungguin kamu tapi kamu gak dateng-dateng.]

“Astaga Ra, sabar. Aku juga udah ngebut ini.”

[Tapi kamu tuh lama banget. Aku udah nunggu kamu satu jam loh, Rev.] Respons Laura dengan nada yang masih terdengar kesal.

“Iya, sabar dong,” jawab Reviano.

[Sabar kamu bilang? Kamu tuh kebiasaan selalu gak nempati Janji, Rev.]

“Ini udah sampai lampu mer—“  

Belum sempat Reviano menyelesaikan kalimatnya, Laura sudah menutup panggilan.

Pertengkaran memang bukan hal baru. Mereka sudah sering bertengkar padahal keduanya sedang menyiapkan acara pertunangan yang akan digelar dalam tempo dua bulan.

***

 

Reviano

Bentar ya sayang. Ini bentar lagi sampe kok. Maaf lama.

 

Sebuah kafe mewah menjadi tempat pilihan Laura menunggu Reviano. Banyak yang datang ke Anomali Coffee hanya untuk melepas penat atau hal lainnya.

Laura sudah menjalin hubungan dengan Reviano sejak kuliah sampai sekarang keduanya bekerja di tempat yang berbeda. Reviano bekerja di perusahaan orangtuanya untuk mengembangkan perusahaan, sementara Laura bekerja di butik terkenal sebagai designer.

Laura hanya membaca pesan singkat yang dikirimkan Reviano tanpa berniat membalasnya. Laura sudah sangat lelah menunggu sang kekasih. Padahal tujuan keduanya bertemu adalah untuk membahas acara pertunangan mereka yang akan digelar 2 bulan dari sekarang.

Reviano baru saja tiba. Meski terhalang dinding kaca kafe, Reviano sudah menemukan sosok Laura meskipun tampak belakang. Seorang wanita dengan rambut dicepol dan mengaduk minumannya dengan malas itu sudah pasti calon tunangannya. Reviano tersenyum tipis meskipun Laura sering kali mengomel, tetapi melihat sosok kekasihnya membuat penat yang sedari tadi lelaki itu pikul hilang begitu saja.

Saat masuk ke kafe, aroma kopi langsung masuk ke indra penciuman Reviano. Laura mengangkat pendangannya dengan malas saat Reviano mengacak rambut dan duduk di hadapannya dengan kemeja kantor yang masih melekat. Membuat ketampanan lelaki itu bertambah tentu saja.

“Maaf ya, lama. Jangan ditekuk gitu dong mukanya,” ucap Reviano.

“Kamu tuh lama, Rev. Aku tuh capek tau habis pulang kerja, apalagi kopi yang aku pesenin buat kamu aja sampai dingin,” protes Laura.

Tanpa Laura ketahui, Reviano juga baru saja pulang bekerja dan melakukan meeting kilat agar bisa menemui sang kekasih. Laki-laki itu masih tersenyum dan meminum kopi yang tadi sudah dipesankan oleh Laura.

“Iya. Maaf ya.”

“Kamu lama!”

“Iya, maaf. Aku tadi habis meeeting,” jawab Reviano

“Aku capek tau, Rev,“ keluh Laura, kemudian mengeluarkan notes dengan malas untuk memberi tahu Reviano apa saja yang diperlukan di hari pertunangan mereka. Rasanya Laura ingin menangis saking stresnya.

“Jangan memaksakan diri, Ra,” komentar Reviano.

Bukan hanya Laura yang lelah, Reviano sendiri juga merasa badannya sangat lelah meskipun pekerjaanya sudah dibantu oleh sang sahabat, Sean.

Reviano bangkit dan berjalan ke arah kasir tanpa mengucapkan satu kalimat pun pada Laura. Saat itu Laura baru menyadari baju kantor yang digunakan Reviano kusut, bahkan beberapa kali Reviano menyisir rambutnya ke belakang. Laura baru menyadari bahwa Reviano juga sama lelahnya setelah seharian bekerja. Namun, yang dilakukan Laura sedari tadi hanya mengomel saja.

“Kita bahas pertunangan nanti aja, ya. Kamu lagi capek. Sekarang pulang ya, aku anterin.” Kata Reviano setelah membayar pesanan.

Laura mengangguk dan berjalan di belakang Reviano sampai keduanya memasuki mobil. Reviano bukannya ingin menghindari masalah, tetapi tubuhnya juga lelah. Jika mereka memaksa menyelesaikan urusan pertunangan hari ini, sudah pasti hanya tersisa pertengkaran saja setelahnya.

“Aku udah beliin makanan kesukaan kamu tuh, di belakang.” Reviano menunjuk ke jok belakang mobil.

Laura menoleh. Benar saja, ada beberapa makanan kesukaan gadis itu. Reviano mendekati Laura, memasangkan seatbelt dan mencium singkat pipi gadis itu. Sontak perlakuan itu membuat Laura merasa bersalah.

“Maafin aku yang egois ya, Rev,” lirih Laura. Matanya berkaca-kaca ketika mengucapkan hal itu. Mungkin saja Reviano datang terlambat karena mengantre makanan kesukaannya.

“Jangan diulangi. Lain kali kalau capek istirahat ya, Ra.” Laura sempat terkejut dan berpikir apa mungkin Reviano lelah dengan segala tingkahnya.

“Kamu hari ini juga tidur ya, Rev. Inget, jangan begadang.” Sahut Laura diikuti senyum tipis.

“Tidurnya ditemenin kamu, ya?” Laura sontak tertawa.

Hari ini lagi-lagi keduanya belum selesai membahas pertunangan karena ego masing-masing. Di mobil, keduanya hanya bercerita tentang keseharian dan pekerjaan mereka tanpa sedikit pun menyinggung rencana pertunangan.

                                                                            ***

“Aku duluan ya, Rev. Inget ya jangan begadang.” Pamit Laura sebelum keluar dari mobil Reviano.

Baru saja Reviano membelokkan mobilnya dan meninggalkan perumahan Laura, denting ponsel membuat keningnya berkerut sebab ada satu pesan dari sahabat sekaligus sekretarisnya.

Reviano membalas pesan tersebut dan langsung menuju apartemen mewah milik sahabatnya yang berada di kawasan Jakarta Pusat. Laki-laki itu mengendarai mobil dengan cepat. Mungkin dengan bertemu dengan Sean beban pikiran Reviano tentang pertunangannya bisa sedikit mereda.

Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya Reviano sampai. Ia memarkirkan mobilnya di basemen dan langsung masuk ke apartemen Sean.

“Berantem sama Laura lagi?” Tanya Sean saat Reviano memasuki apartemen dan langsung duduk di sebelahnya. Saat itu Sean tengah membaca berkas kantor.

“Enggak. Lo ngapain sih?” tanya Reviano. Melirik Sean sebentar, setelahnya memejamkan mata.

“Baca berkas perusahaan lo, bego. Lo mah main pergi aja, tanda tangan juga belum.” Jawab Sean singkat.

“Elah…. Ada makanan gak? Gue laper,” curhat Reviano.

“Pesen aja lah, ya. Lo juga aneh, habis ketemu pacar masa kagak makan siih?” Protes Sean tetapi Reviano tidak menggubrisnya.

“Kenapa sih, mau tunangan aja banyak banget masalahnya?” Keluh Reviano dengan tiba-tiba.

“Loh, kok nanya gue, sih? Kan hubungan lo berdua emang gak sehat sejak awal.” Jawab Sean tanpa dosa.

“Heh, mulut lo kek titisan dakjal!”

“Dibanding lo, setan.” Jawab Sean dengan singkat sembari menyodorkan berkas pada Reviano yang memang sangat penting dan harus ditandatangani sekarang juga.

“Lo tuh jangan terlalu santai sama hubugan lo, Rev. Kalau lo santai-santai terus soal hubungan lo sama Laura, bakal berantakan terus yang ada. Gue sebenernya gak mau peduli sih, tapi hubungan lo itu udah lama. Bahkan lo udah sering tidur bareng sama Laura. Ya kali, baru mau tunangan doang udah pusing. Giliran tidur bareng aja pikiran lo cuma enak.” Sindir Sean dengan nada yang mengejek tanpa melihat ekspresi Reviano yang sudah berubah seram.

“Dasar emang mulut dakjal,” respons Reviano.

Laki-laki itu kemudian melempar pulpen yang dipegang. Sayangnya lemparan itu meleset sehingga tidak mengenai Sean. Kejadian itu otomatis menciptakan tawa. Sean memang sudah lama berteman dengan Reviano sejak keduanya masih duduk di bangku SMA. Reviano bersyukur masih ada Sean yang selalu menjadi support system-nya.

***