cover landing

How to Move On in 7 Days

By rinasuiii


Small talk, no conversation

That look makes me impatient

I can’t tell what you’re thinkin’

Please tell me what you’re thinkin’

Jika ada satu lagu yang menggambarkan bagaimana perasaanku yang tengah duduk berdua di kursi mobil bersama pacar tiga tahunku ini, aku akan menyerahkan piala pertama untuk lagu Mean It milik Lauv. Kebetulan, lagu itu berputar di radio mobil sore ini. Layaknya ada pendengar radio Prambors FM yang menonton kami lewat kamera tersembunyi yang dipasang di kaca mobil lalu sengaja me-request lagu itu sebagai gambaran perasaan hatiku.

Hari ini, Patrick mengajakku kencan. Namun, yang ia lakukan hanyalah diam sambil menyetir selayaknya aku tamunya dan dia supir yang kusewa. 

Sikapnya ini bertolak belakang dengan dirinya yang memohon-mohon di telepon untuk bisa bertemu denganku pasca pertengkaran kami. 

Aku tidak tahu apa yang ada di benaknya, mengapa dia bersikap dingin begini ketika sebelumnya dia berniat mengajakku rujuk, dan ke mana dia akan membawaku. Yang bisa kupastikan adalah keheningan ini mengisyaratkan sesuatu serius sedang terjadi, dan aku membencinya. 

“Hari ini kita ke Ancol, ya,” katanya.

Itu kejelasan pertama yang kudapat, namun itu sama sekali tidak menenangkan. Patrick tidak suka taman bermain atau semua yang berbau kekanakan, karenanya kami tidak pernah kencan di taman bermain. Dia juga selalu melarangku untuk mengenakkan rok tutukatanya itu membuatku tampak seperti anak SMA. Dia selalu bilang hanya anak-anak yang pergi ke sana dan aku harus bertingkah sesuai umurku. 

Tetapi, hari ini dia mengajakku ke taman bermain. Ia juga memakai kemeja warna salem bercorak daun yang selalu dikatakainya norak. Dia bahkan menata rambutnya gaya pompadour meski aku tahu sekali betapa bencinya dia dengan gel rambut.

Sepanjang hari, dia menemaniku naik banyak wahana, mulai dari kora-kora, tornado, roller coaster, bianglala, dan bahkan mengiakan request-ku untuk berfoto memakai bando macan tutul. Setelah itu, dia menanyakan mau makan malam di mana, sesuatu yang jarang ia lakukan. Biasanya, Patrick selalu menjadi pemimpin kencan kami. Namun, hari ini dia menanyakan kesediaanku makan di mana.  

Dia melakukan segala hal yang kusukai dan kudambakan darinya.

Dan, semua itu buatku makin gugup.

Aku menanyakan keganjilan yang kudapat ketika kami makan malam di Kokkiyoo, salah satu restoran bbq Korea yang ada di Kuningan. Kusimpan foto polaroid kami di dompet yang menampilkan kami memakai bando macan tutul. Aku dengan senyum lebarku dan merapatkan pipi kami, sedangkan Patrick dengan muka datarnya.

“Kamu kenapa, sih, hari ini?” tanyaku ketika pelayan selesai mengantarkan sebotol soju dan pesanan daging kami. “Aneh banget. Ada masalah sama kerjaan?”

Nope.” Bunyi plop terdengar waktu segel soju ia buka. “Kalaupun ada masalah pasti sudah kutangani. You know me.

Aku mengiakan ucapan itu dalam hati. Memang, dibanding aku yang masih mahasiswi, aku tidak punya pengalaman dan penilaian yang cukup untuk menilai kemampuan bekerja seseorang. Tetapi, aku tahu Patrick cakap bekerja. Buktinya, setahun lalu dia diangkat sebagai manajer pemasaran di salah satu perusahaan ritel terkemuka di Jakarta.

“Jadi, kenapa kamu bertingkah kayak gini? Kamu minum minuman beralkohol yang dulunya kamu benci. Kamu mengajakku kencan dan melakukan segala hal yang kuimpikan untuk sebuah kencan, tapi enggak tersenyum sama aku. Kamu bersikap seolah-olah sedang menatapku, meski kepalamu sedang enggak ada di sini. Kamu, kenapa?”

Patrick meneguk segelas soju secara one-shot, mengisi gelasnya, lalu meneguk soju lagi. Dia tidak menjawabku. 

“Kamu bisa menyakiti tenggorokanmu.” Kutahan tangannya ketika ia sedang mengisi gelas ketiga. Ia melepas genggamanku dan meminum soju lagi. Aku hampir memekik kesal.

“Aku sedang mikir,” katanya sambil mengelap sisa soju di bibirnya.

“Soal apa?” Walau masih jengkel, kubalas katanya juga.

“Kalau mungkin aku enggak bisa nepatin janji kita.”

Patrick melepas cincin di jari manisnya dan meletakkannya di genggamanku. Aku mengenali cincin perak payah yang ia beli sepasang dengan milikku di toko aksesoris memakai gajinya yang terbatas saat masih pegawai magang dulu. Waktu itu, kami berjanji untuk selamanya bersama.

Di waktu itu pula, aku tahu hatiku selamanya miliknya. Dan, dia selamanya milikku.

“Aku menyukai orang lain.”

Kuangkat netraku ke wajahnya. Patrick selalu tampan dengan garis wajahnya yang tegas, kulit sawo matang, dan matanya yang sebentuk biji almond dengan ujung lancip. Dia berubah menjadi sosoknya yang dewasa selama tiga tahun kami bersama. Tetapi, saat ini, aku merindukan pemuda cupu berkacamata kedodoran, memakai kemeja warna merah bercorak, dan menyisiri rambutnya klimis karena mendengar kata orang aku menyukai pria berpenampilan seperti itu. Pemuda dengan tampilan ceroboh dan berhati hangat yang mencintaiku. 

Hari ini, pada orang yang sama, aku tidak menemukan kilau hangat itu. Yang kudapatkan adalah tatapan sedihnya.

Sorry, Pam. Aku mau kita putus.”


****