cover landing

How Can I Love You, You're The One I Hurt

By Laraschae


PROLOG

“Jadi,” Frans menggenggam kedua tangan Yui yang mengepal di atas meja. "Bolehkah aku melakukan sesuatu?"

Genggaman tangan Frans pada Yui jauh lebih lembut dan menghangatkan. Tak hanya itu, mata Frans masih menatap takjub atas ketegaran Yui semalam ini.

"Ya, sesuatu seperti apa?" Yui menjawab tanpa membalas senyum.

"Bukan hal besar, hanya sesuatu yang jauh lebih kecil dari sulapku," kata Frans sambil mendekatkan diri. Mata Frans berbinar. Air yang sempat tertampung di sana mendadak lenyap. Tekadnya sudah bulat. Ia harus melakukan ‘itu’.

"Apa itu?" balas Yui sambil menahan rasa sesak di dada. Bibirnya basah sepersekian detik setelah ia bertanya. Frans menciumnya. Sebuah kecupan tipis yang terasa sangat menyakitkan di hati. Yui kembali mengenang ketika mereka bertemu pertama kali dengan konyolnya, ketika ia menjadi asisten pria itu, sikap kasar pria itu padanya, bagaimana hubungan mereka semakin dekat, hingga tiba akhir di antara mereka berdua: keputusan Yui untuk tidak mengkhianati wanita lain yang menyayangi Frans lebih dari dirinya.

"Maaf," gumam Frans di sela-sela kecupannya.

"One," dengan suara parau Frans berbisik. "Two ...."

"Frans, jangan!" jerit Yui. Yui tahu apa yang akan terjadi.

"Three." Frans menjentikkan jari. Tangan kirinya melingkar erat di pinggul Yui yang melemas seketika itu juga.

"Lupakan—" katanya terbata, mengucapkan ‘mantra’. Suaranya parau, gemetar, serak menahan sesak. "Lupakan aku, lupakan semua tentang kita, agar aku mampu melihatmu pergi bersama orang lain." Frans tak mampu menahan air mata yang mengalir deras di hadapan Yui yang tak sadarkan diri.

 

1.     Mawar Putih

Yui mengutuk dirinya sendiri. Ia adalah wanita yang memang tidak terlalu cantik, tetapi serba bisa, dan juga serba sial. Setelah sembuh dari sakit, ia tak kunjung mendapat pekerjaan. Ia juga tidak berhasil mendapatkan program beasiswa S2 dari dua puluh lima lembaga yang telah ia coba. Tidak juga menemukan tambatan hati, bahkan selalu dikhianati teman sendiri. Jika diumpamakan, maka ia hidup segan, mati pun kebanyakan dosa. Ia bahkan sudah berjanji kepada ibunya bahwa ia akan sukses dengan pekerjaannya, namun nihil.

Jepang bukan negara yang mudah bagi seorang perantau sepertinya. Ia sudah lama hidup susah, selalu menjadi beban keluarga, dan masih belum mapan. Hidupnya masih terlunta-lunta. Selalu bertemu penipu, pengkhianat, penjudi, dan sejenisnya. Karena hal-hal itulah Yui berencana akan kembali ke Indonesia.

Ketika Yui baru saja berbalik arah menuju kantor terakhir yang ingin dilamarnya, sesuatu berhasil menarik perhatiannya. Sebuah keramaian terlihat di sekitar area Lapangan Ampitheater Taman Yoyogi. Sebenarnya, Yui sendiri bukan orang yang suka keramaian. Hidupnya dipenuhi kesendirian hingga membuatnya sulit beradaptasi. Beberapa sorakan penonton semakin histeris. Dari kejauhan ia bisa melihat orang-orang mulai mendekat ke suatu titik dengan wajah berbinar. Akhirnya ia paham apa yang sedang dikerumuni orang-orang. Sirkus.

Bukan, bukan sirkus yang penuh hewan apalagi akrobat. Tidak ada adegan itu di sana. Yui mencari-cari di mana tempat para sirkus itu beraksi? Kenapa mereka diam saja seolah keramaian itu bukan tentang mereka? Bahkan para pemain sirkus yang mengenakan pakaian ketat dan beberapa cosplay tokoh kartun juga ikut bersorak histeris. Pemimpin mereka juga tampak senang hingga tidak peduli lagi soal penampilan timnya.

Yui melihat sesosok pria mengenakan kemeja biru berlapis jas putih dengan celana hitam melempar seikat bunga mawar putih ke udara. Bunga tersebut menghilang dalam sekejap. Seketika itu juga Yui merasa bahwa pria itu mendekat ke arahnya, semakin dekat, dan nyaris memeluknya dari depan. Pria itu menyelipkan tangan kanannya ke pinggang Yui, dan dia pun mengeluarkan seikat bunga dari balik rambut Yui yang panjang.

Pria itu duduk bersimpuh layaknya seorang pangeran yang melamar pasangannya. Dengan suara lembut, pria itu menyatakan hal yang membuat Yui tersipu, “Kuberikan bunga cantik ini kepada wanita manis di hadapanku.” Seketika seluruh penonton ikut menjerit.

Semua mata tertuju padanya. Dengan sedikit keraguan Yui menerima bunga itu. Pria itu tersenyum ke arahnya, senyum yang ia yakini tidak akan pernah lupa seumur hidup. Bagaimana bisa seorang wanita besar kepala sepertinya mendadak merona di hadapan seorang pesulap jalanan?

Setelah Yui menerima bunga itu, semua orang mulai tersenyum padanya. Mau tak mau ia balas tersenyum kepada mereka. Nyatanya ia sendiri bukan wanita yang mudah tersenyum kepada orang asing. Meski malu, Yui sempat mengucapkan terima kasih kepada si pesulap bermata biru itu. Di tengah teriknya mentari, pria itu kembali melanjutkan pertunjukan sulap demi menyenangkan hati para penonton. Yui mendengar bisikan orang yang mengatakan bahwa pesulap itu awalnya hanya pengunjung biasa namun akhirnya memulai pertunjukan sulap untuk menghibur seorang anak kecil yang tak berhenti menangis. Awalnya pesulap itu hanya menyulap permen dari udara kosong, tetapi kemudian terus melakukan aksi menakjubkan termasuk lemparan bunga mawar putih yang sudah ada di tangan Yui ini. Sesaat Yui terenyuh mendengar bisikan tersebut. Ternyata masih ada orang baik di dunia yang peduli pada orang lain.

“Bagaimana? Apa hatimu sudah membaik?” Seorang pria muncul dari kerumunan di hadapan wajah Yui.

“AAA!” seru Yui kaget. “Kamu pesulap yang tadi?” tanyanya.

Pria itu mengangguk. Kulit pria itu sangat putih hingga ke leher, berbeda dengan kulit Yui yang sedikit gelap. Matanya tidak begitu sipit, rambutnya berwarna hitam kecokelatan yang tampak alami, bibir tipisnya merah merona, hidungnya sangat mancung, dan yang paling menarik adalah warna mata biru yang ternyata bukan lensa kontak.

“Hai?” sapa pria itu. Yui mulai merasa aneh. Ia takut pada pria asing. Apalagi bahasa Jepang pria ini terdengar sangat fasih. Ia takut jika pria ini hanya mau mempermainkannya saja kemudian membuangnya setelah memanfaatkannya.

“Hai?” kata pria itu lagi sambil terus memandang wajah Yui.

“Ah, maaf, tampaknya aku terlalu agresif, ya?” tambahnya karena Yui masih bergeming.

“Aku tak sengaja melihatmu sedih tadi. Di antara pengunjung yang senang hanya wajahmu yang begitu. Jadi, aku melakukan ini untuk menghiburmu,” ucapnya.

“Maaf, bahasa Jepangku tidak begitu bagus. Maaf juga kalau aku tidak terbiasa dengan orang asing. Terima kasih sudah menghiburku,” balas Yui. Wajahnya merona merasakan tatapan lekat pesulap itu.

“Ah, aku mengerti, kok! Terima kasih juga sudah mau menerima bunga dariku. Kamu cantik kalau tersenyum. Keep smiling! See you next time!” Pria itu membalas Yui dengan bahasa Inggris yang lebih baik darinya. Lalu pria itu menghilang di tengah keramaian.

Yui mencium aroma pada bunga pemberian pria itu; wangi mawar bercampur citrus yang segarRasanya ia sedikit bahagia setelah bertemu dengan pria itu. Yui menjadi lebih semangat untuk mendatangi kantor terakhir. Ia tahu bahwa dirinya tidak berpendidikan tinggi apalagi pernah menempuh jurusan sekretaris dan administrasi. Tapi ia percaya diri dengan kemampuannya dalam mengendalikan diri. Meski tidak memenuhi kriteria, ia tetap berusaha untuk datang ke tempat terakhir. Jika ia kembali ditolak, maka sudah saatnya kembali ke habitat.

Yui memasukkan bunga mawar putihnya ke dalam goodie bag yang selalu ada di tasnya. Sesampainya di kantor terakhir, ia pun menitipkan bunga itu di resepsionis dan segera menuju lantai tempat ia harus melangsungkan wawancara. Dengan sedikit gugup, ia berdiri di lantai tujuh. Gedung besar ini dibagi menjadi dua bagian, sisi kanan dan sisi kiri. Ia menuju ke salah satu pintu yang namanya tertulis di pintu masuk sebelah kanan. Pintu itu tampak berbeda dari pintu kebanyakan. Pintunya berlapis cat putih dan tampak seperti keramik yang mengilap. Nama perusahaan tertulis jelas di depannya: Frans Que Company.

Di lantai bawah, seorang pria berkemeja biru dengan jas putih, berambut hitam kecokelatan, bercelana hitam dan sepatu modis dilengkapi kacamata hitam yang bertengger di hidung, datang dengan aura penuh keyakinan dan kebahagiaan. Semua karyawan di sana menundukkan wajah sambil menyapanya.

“Selamat pagi!” sapa mereka dengan senyum merekah.

“Pagi semua! Ingat, jangan lupa tersenyum! Tersenyumlah sebelum tersenyum itu berbayar!” balas pria itu. Ketika pria itu melewati meja resepsionis menuju barisan lift, matanya teralihkan oleh sesuatu: seikat bunga putih yang menonjol dari dalam tas di rak penitipan.

“Hai, Manis! Boleh kutanya itu milik siapa?” tanyanya genit pada salah seorang resepsionis yang langsung tersipu malu.

“Ini milik seorang wanita yang melamar pekerjaan di sini, Pak,” jawabnya sedikit malu.

“Oke, deh! Di lantai berapa dia?”

“Oh, lantai tujuh, Pak,” jawab resepsionis sambil memasukkan helaian rambut ke sisi telinga. Tanpa bicara apa pun, pria itu segera berlari ke lift dan berdoa dalam hati agar sampai tepat waktu.

Ketika pintu lift yang dinaiki pria itu terbuka di lantai tujuh, lift di seberangnya baru saja menutup dan menampakkan wajah wanita yang berdiri di tengah dengan wajah datar. Pria itu spontan berteriak, “TUNGGU!”

Wanita di dalam lift terlihat kaget sesaat sebelum tertutupnya pintu lift.

“SIAL!”

Pria itu melihat beberapa lift yang tampak sangat lama untuk berhenti di lantai tujuh. Tanpa buang waktu ia berlari ke arah pintu putih mengilap dan membukanya dengan segera.

“Pagi! Di mana daftar para pelamar?! Ada yang diterima atau tidak?!” tanyanya tergesa-gesa.

“Selamat pagi, Tuan Muda. Ini daftar pelamar hari ini. Belum ada yang diterima karena tidak sesuai dengan—” Belum selesai lawan bicaranya menjawab, pria yang disapa Tuan Muda itu berlari meninggalkan ruangan hingga membuat beberapa orang di sana penasaran. Belum lagi daftar pelamar juga dibawanya.

Pria itu menaiki lift yang berbeda dan langsung memelesat keluar saat tiba di lantai bawah. Matanya melirik meja resepsionis, dan bunga itu hilang.

“Di mana? Di mana bunganya? Bunga putih tadi yang ada di sana, ada di mana?” tanyanya pada resepsionis.

“Seorang wanita mengambilnya dan baru saja keluar—”

“Terima kasih!” Tanpa mendengar lebih jauh, pria itu berlari keluar dari gedung. Ditatapnya orang yang berlalu-lalang. Tidak ada sosok wanita yang menenteng bunga putih. Pria itu akhirnya membuka kacamata hitamnya dan berlari ke arah Taman Yoyogi, taman tempat ia tadi berada.

Sirkus itu masih di sana sambil memainkan beberapa adegan lucu yang membuat segelintir orang tertawa. Pria itu memasuki area taman.

“Maaf!” Tanpa melihat, pria itu meminta maaf ketika menabrak seseorang. Saat ia ingin kembali berlari, ia melihat sekelebat bayangan kelopak bunga putih yang menonjol di balik tas hitam. Tanpa basa-basi ia pun mundur agar bisa menarik tangan wanita yang ditabraknya barusan.

“COPET!!!”

Pria itu salah pegang! Ia memegang erat tas Yui. Tanpa disadari siapa pun, pria itu memasukkan tangannya ke tas yang sedikit terbuka dan mengambil dompet Yui dengan gerakan tak kasat mata. Yui berlari ke arah satpam yang berdiri di dekat pintu taman.

Panik, pria itu berhenti ketika satpam menghampirinya. Dengan terburu-buru ia menjelaskan apa yang ia lakukan, bahkan ia memberikan kartu nama kepada satpam itu agar bisa kembali menghubunginya. Setelah itu ia langsung berlari lagi mencari wanita yang memanggilnya copet.

Lelah karena terus berlari-lari, pria itu kembali ke area taman tempat para pemain sirkus masih beraksi. Hanya tempat ini yang terhindar dari panas, mungkin karena itu ada sekelompok sirkus membuka acara di sini. Sambil terengah ia memasuki sebuah toko minuman dan membeli satu kaleng minuman soda dinginKemudian ia pun duduk di dekat pohon sakura yang belum berbunga. Sambil menatap ranting pohon, ia membuka minuman kaleng itu.

“WHAT IS THIS?!” serunya ketika meminum susu kaleng.

“Maaf, apa ini punyamu? Itu milikku.” Suara wanita mengagetkannya. Ia pun berbalik dan menatap wanita itu, wanita yang sedari tadi dicarinya. Tak mau kehilangan kesempatan, pria itu menarik tangan Yui yang langsung oleng dan limbung ke dekapannya. Jantung pria itu nyaris copot.

“PESULAP MESUM!!!”

PLAK

Satu tamparan diterima pria itu di pipi kiri yang langsung memerah. “Tunggu! Dengarkan aku! Aku benar-benar minta maaf!”

“Apa maumu?!” jawab Yui.

“Anu, apa kamu baru saja melamar di perusahaan yang itu?” tanyanya hati-hati sambil menunjuk sebuah gedung putih pencakar langit.

“Ya, kenapa?!”

“Dompetmu terjatuh,” lanjutnya sambil menyodorkan dompet hitam.

“AH! A-ada di mana tadi?” tanya Yui terbata. Jantungnya nyaris copot menyadari ia telah mengira pesulap mesum ini adalah tukang copet. “Baru saja aku ingin menghubungi polisi,” sambungnya dengan wajah memerah malu sambil menerima dompetnya kembali.

“Tadi, aku melihat dompetmu terjatuh di depan gedung, makanya aku terus mengejarmu, tapi sialnya aku malah terlihat seperti copet sampai orang mesum,” jawab pria itu sambil terkekeh puas karena sedikit berbohong.

“Maafkan aku, aku sangat panik tadi. Maaf! T-terima kasih banyak!” kata Yui akhirnya. Meski ia tahu bahwa pria itu berbohong, yang penting isi dompetnya tidak berkurang sama sekali. “Aku sungguh-sungguh berterima kasih. Apa ada yang bisa kubantu untukmu? Aku hanya pendatang di sini. Aku benar-benar minta maaf!”

“Tidak, tidak perlu. Aku hanya ingin mengembalikan itu saja. Hati-hati, ya!” ucap pria itu. Yui akhirnya pamit dan segera berlalu meninggalkan pria itu sendirian.

“Maaf, aku harus melihat namamu,” gumam pria itu sambil memandang punggung Yui yang telah pergi menjauh. “Yui Julian. I got you!