cover landing

Home Sweet Hope

By AdyaTuti


PROLOG

Jika tidak mengingat bahwa semua yang dilalui manusia telah diputuskan jauh sebelum aku terlahir ke bumi. Telah tercatat dalam rangkaian kalimat pada buku besar kehidupan. Mungkin, aku telah tersuruk dan hancur untuk menenun kisah hidupku.

Aku sendiri tidak percaya apa yang akan kulakukan. Duduk di sebuah kafe di pagi hari untuk menemui seorang wanita. Bukan sahabat, bukan juga seseorang yang akan aku ajak berbisnis. Atau seorang wanita yang ingin membeli tas hasil desainku.

Hanya wanita yang sekilas saja pernah kulihat. Kemudian terhitung bulan, aku harus menemuinya kembali untuk satu kepentingan. Menyerahkan mimpi dan harapanku yang sejak tujuh tahun lalu aku rancang. Yang aku bangun dalam ruang-ruang imajinasiku.

Aku masih tidak percaya mengapa aku mampu setegar ini. Kekuatan itu seringkali hadir menyelinap tanpa aku sadari.

Tanpa keraguan harus kuakui keluarga adalah sumber kekuatan, tempat cinta dan kehangatan berawal. Sebuah tempat di mana aku dapat membagi apa pun yang aku miliki. Meski terkadang, ada yang bisa aku bagi atau harus kusimpan sendiri. Bersama mereka duka-lara tertolak, dan nestapa tak memiliki ruang untuk menetap.

Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk berbagi bersama keluarga, seperti yang aku miliki. Dalam kehidupan yang lain, aku mendapatkan sebuah kemalangan yang tidak pernah kubayangkan. Seorang anak yang terlahir tanpa kehendak, tumbuh dari kerja kerasnya sendiri. Bahkan, untuk menentukan nama pun ia memutuskannya sendiri. Tak ada seorang pun yang mewariskan sebuah nama untuknya.

            Namun, ia tetap mampu berpijar dengan cahayanya, menuntun mereka yang nyaris tersesat. Ia bagai sorot lampu mercusuar di penghujung pulau, yang memandu setiap pelaut mencapai tujuannya.

Liku kehidupan memang tidak pernah pandang bulu. Tuhan memilih siapa saja yang Ia mau. Kemudian Tuhan mengutus seseorang atau sebuah kejadian hanya sekadar untuk mengingatkan. Sekadar. Bahwa manusia hanya serupa bunga dandelion yang tidak memiliki daya upaya meski itu hanya untuk melawan embusan angin.

*

1

 

Semangkok besar nasi goreng mengepul di ujung meja, di sampingnya berderet tempe mendoan dan tahu pletok yang juga hangat. Suara-suara sudah riuh rendah sejak pukul 5 pagi, diawali dengan teriakan Mama yang menyuruh kelima anaknya bangun dan salat Subuh.

            Pukul 6 pagi adalah waktu-waktu krusial yang menegangkan. Bintang yang pelupa akan mencari ponsel atau charger-nya.

            Cakra akan berteriak-teriak agar Daniel tidak memakai motornya, sementara Daniel masih terhuyung-huyung baru bangun sambil menggedor pintu kamar mandi, karena si bungsu Eliza selalu menjadi orang paling lama di sana.

            Aku mengambil tujuh buah piring dan meletakannya di atas meja makan. “Mama, aku nanti enggak pulang ke rumah, ya. Sayang rumahku sudah beberapa hari enggak ditengok.”

            Mama mengangguk, sambil menyerahkan stoples besar kerupuk udang yang baru selesai ia goreng.

            “Aneeez kamu lihat charger-ku enggak?” teriak Bintang dari lantai dua.

            Aku mendongak ke arahnya sambil menggeleng, turut berteriak di dalam rumah yang sedang sibuk dengan hiruk pikuk adalah pilihan yang kurang tepat.

            Jika ada rekor tentang seseorang yang mandi paling cepat, Daniel lah orangnya. Durasi mandinya lebih cepat dari ular yang mencelupkan tubuhnya ke dalam sungai.

            Jika aku mulai melangkah menuruni tangga, maka ketika sampai di tangga paling bawah Daniel telah selesai mandi.

Daniel menyodok pinggangku dengan telunjuknya. Penampilannya masih serupa berang-berang yang baru muncul dari dalam air, dengan rambut yang masih basah dan baju yang belum terkancing seluruhnya. “Kakak Anez.” Mengerutkan dahi, memasang mata sayu memelas.

Jika Daniel sudah memanggilku dengan sebutan kakak sebelum namaku, sudah dapat dipastikan jika tidak meminta uang, ia akan meminjam motorku.

“Bagi duit, dong,” lanjut Daniel, tepat seperti yang kuduga.

            Mama langsung menoleh, melebarkan mata ke arah Daniel. “Niel, kemarinkan sudah Mama kasih! Jangan, Nez, jangan dikasih kebiasaan tuh Daniel. Boros!” pekik Mama.

            Daniel menyeringai, ia tahu kakak tertuanya selalu tidak mampu menolak rajukannya. Tapi aku menggeleng demi membuat Mama tenang. Mata Daniel langsung jelalatan mencari di mana aku meletakan tas dan dompetku.

            Bintang menuruni tangga, dengan mengenakan rok dan blouse milikku. Dadanya yang lebih penuh dariku, membuat beberapa kancing di bagian dadanya terlihat saling tarik menarik. Rok berbahan wol dengan potongan a-line itu baru beberapa kali saja aku pakai.

            Bintang terlihat anggun meski mengenakannya tanpa seizinku. Aku menautkan alis memasang raut wajah keberatan.

            Bintang menyeringai, “Pinjam, ya?!” Aku hanya melengos mengambil secangkir kopi untuk Papa.

            “Awas robek, lho!” desisku ketus.

            Cakra mulai menyendok nasi ke atas piring dan meletakan empat keping tempe di atasnya, “Cakra, ingat yang lain!” teriak Mama mengingatkan agar Cakra tidak menghabiskan tempe mendoan kesukaannya.

            “Mau kemana, Bi? Rapi amat?” tanya Cakra sambil menarik kursi dan duduk di depan meja makan.

            Bintang masih mematut-matut  dirinya di depan cermin, memperbaiki tatanan rambutnya yang baru saja ia potong menjadi sebahu. “Wawancara kerja.”

            “Busyeeet!” pekik Cakra  dengan mulut penuh.

            Aku langsung menatap ke arah Bintang, “What? Wawancara kerja lagi? Kamu kan baru kerja beberapa bulan di kantor auditor itu, Bi, ngapain kamu keluar?”

            “Aku enggak keluar, cuma wawancara saja. Mencari peruntungan yang lain, kalau gajinya lebih baik, kerjanya lebih asyik, aku pindah! Kalau enggak ya lanjut,” jawab Bintang ringan.

            Papa masih menyaksikan berita, sambil sesekali mengintip acara gosip. Aku tidak habis pikir, mengapa ada stasiun televisi yang menghidangkan acara gosip sepagi ini.

Papaku memang aneh, dengan perawakannya yang tegap dan kumis tebal ia menyukai acara gosip. Baginya itu seperti relaksasi, melihat tingkah polah manusia dengan seribu gaya dan perilaku.

Komentar-komentar Papa tentang para artis yang ia saksikan menambah ramai suasana pagi kami, terutama jika Mama ikut bergabung untuk berkomentar. Akan menjadi perdebatan pagi yang sengit, dengan sudut pandang mereka masing-masing yang seringkali berbeda.

 “Bintang, dengar yah.” Papa ternyata menyimak apa yang dibincangkan anak-anaknya. “Kalau kerja itu harus loyal. Jangan melulu perkara gaji tinggi yang kamu kejar, jadi ahli dulu setelah itu kamu bisa pasang harga tinggi.”

“Jangan menclak-menclok kayak tupai.” Akhirnya petuah Papa  pagi ini keluar.

            Bintang tidak mendebat, ia hanya mendelik ke arahku. Mendebat Papa di pagi hari adalah pantangan jika kami tidak ingin sepanjang hari mendapat kesialan. Karena di ujung perdebatan Papa selalu mengucapkan kalimat pamungkasnya, “Awas, kamu kalau enggak nurut orang tua!”

            Kalimat singkat itu saja mampu membuat kelima anaknya merinding, karena efeknya bisa bermacam-macam.

            Bisa menabrak seperti yang pernah dialami Cakra ketika ia berdebat dengan Papa untuk menentukan jurusan kuliahnya dahulu. Aku pernah tercebur ke dalam sumur ketika aku berdebat dengan Papa di pagi hari tentang pacaran ketika SMA.

            Hampir setiap anak pernah mengalami hari yang nahas usai  berdebat dengan Papa. Maka, pilihan Bintang pagi ini adalah menutup rapat mulutnya, daripada ia mendapatkan kesialan sepanjang hari Senin ini.

***