cover landing

Hold My Hand(phone)

By Oepha Im


Ponsel Bu Reka ada di laci, berjarak satu setengah meter. Aman.

Ponsel Pak Dodi ada di saku kemejanya, berjarak satu meter. Aman.

Ponsel entah punya siapa berada di atas meja, berjarak setengah meter. Kurang aman.

Delta sebisa mungkin menahan dorongan untuk menjauh atau melempar ponsel itu ke sudut ruangan. Dia mempertahankan punggungnya tetap tegak sambil mengatur napas agar terlihat normal. Tangannya di bawah meja mengepal kuat; sementara tatapannya terarah pada Bu Rika dan Pak Dodi dengan raut wajah serius. Walau titik-titik di wajah kedua orang itu terlihat bersahabat, Delta tahu mereka sedang mengamati dalam diam. Menganalisis, mengaitkan sikapnya saat ini, fakta di lapangan dan alibi teman-teman untuk memutuskan apakah dia si pelaku utama atau bukan.

Delta tidak boleh terlihat gugup. Kalau sampai itu terjadi, akibatnya bisa fatal. Kedua orang yang menahannya di ruang kesiswaan sejak satu jam yang lalu ini bisa menjadikannya tersangka. Mereka akan memberi hukumam dan Delta terpaksa mengucapkan selamat tinggal untuk kehidupan normal yang sudah dua tahun ini dipertahankan.

Jika saja ponsel itu tidak ada di atas meja, Delta tidak akan gugup. Dia bisa bersikap normal dan membantah tuduhan. Sayangnya, benda kecil itu telah menarik penuh kewarasan otaknya. Pikiran Delta terpecah, antara siap siaga—jika sewaktu-waktu ponsel itu meledakdan bersikap tenang supaya Bu Reka dan Pak Dodi tidak semakin curiga. Kalau saja ponsel itu bergeser setengah meter dari posisinya saat ini, atau dia yang bergeser setengah meter menjauhi ponsel, semuanya akan aman terkendali. Sudah pasti dia bisa melewati tahapan krusial ini dengan lancar.

Ponsel sialan!

Ting!

Delta tersentak, pupil matanya melebar. Dia mundur ke belakang dengan napas terhenti. Suara pesan masuk dari ponsel itu membuat pertahanan tubuhnya bertindak. Sadar dengan respons tidak normalnya barusan, Delta pura-pura membenarkan posisi duduk. Untungnya, baik Bu Reka maupun Pak Dodi tidak ada yang menyadariMereka hanya melirik ponsel kemudian bersikap seperti semula.

“Boleh saya bertanya?” Delta melirik Bu Reka dengan alis mengernyit. Tanpa menunggu jawabannya, perempuan itu bersuara, "Kenapa kamu bersikeras membantah tuduhan padahal bukti sudah jelas?"

Delta mendengar tekanan tajam di bagian awal dan ujung kalimat. Cowok berusia tujuh belas tahun itu menghela napas. Pertanyaan serupa dari Bu Reka dan Pak Dodi membuatnya muak. Kalau bukan karena tata krama, sudah pasti Delta akan menjawab:

Pertama, karena gue nggak mencuri.

Kedua, karena gue bukan pencuri.

Ketiga, karena gue nggak minat sama sekali dengan ponsel sialan itu!

Namundia hanya mengangkat bahu singkat dan kembali mengatakan jawaban yang serupa. "Saya bisa membuktikan kalau saya nggak mencuri,” katanya tegas. “Beri saya kesempatan dua minggu untuk menangkap pelaku sebenarnya."

Terdengar suara decak muak, "Selama dua minggu itu, apa kamu akan kabur?” Delta melirik Pak Dodi. Guru kesiswaan yang dikenal ramah tetapi galak saat serius itu menatap tajam. Tentu jenis tatapan merendahkan. Delta mengangkat dagu, balas tersenyum culas. Meniru gerakan Yuda—temannya—saat sedang diceramahi karena berbuat onar. “Tenang saja, Pak. Saya nggak sepengecut itu.”

“Kalau kamu nggak sepengecut itu, katakan siapa saja anggota komplotan kalian sekarang juga.”

Kedua alis Delta menukik. Komplotan? Dia mendelik saat sadar sedang dituduh sebagai anggota Thi—kelompok pencuri terbesar di sekolah.

“Kamu nggak perlu bikin drama cari tahu si pelaku. Bikin ribet saja,” lanjut Pak Dodi.

Delta mengangkat bahu. "Sayangnyasaya bukan anggota komplotan pencuri yang Bapak maksud. Saya nggak tahu siapa saja anggota komplotan itu dan nggak bisa mengatakannya.”

Pak Dodi terkekeh malas mendengar balasan Delta. Dia menegakan tubuh dan menatap muridnya tajam. "Kalau kamu memang bukan pelakunya, jelaskan kepada saya kenapa kamu terekam kamera CCTV? Kenapa kamu berada di TKP dan melempar ponsel ini ke semak-semak tempat si komplotan menyimpan hasil curiannya?"

Delta tersentak, lantas memudurkan kepala saat Pak Dodi mengangkat ponsel di meja ke arahnya. Tenggorokan cowok itu tersekat, ada rasa mual yang muncul dari perut dan berkumpul ke arah kepala. Delta memejamkan mata untuk menahan rasa mual itu, lantas menancapkan kedua kaki di lantai supaya tidak bergerak menjauhi ponsel. Kalau sampai dia melakukan itu, semua orang akan tahu ketidaknormalannya dan dia bisa saja ditetapkan sebagai tersangka.

“Delta?” Kali ini Bu Reka yang bersuara. Ketika Delta membuka mata, ada raut khawatir di bola mata wanita itu. Delta mengernyit lantas melirik Pak Dodi. Tatapannya tidak terbaca, tetapi raut mencemooh yang tadi ditampilkan sudah hilang.

Sialan. Mereka pasti melihat respons spontan gue barusan.

Pak Dodi menyipitkan mata lantas mengangkat alis kanan. "Kenapa kamu gemetar?"

Delta bisa mendengar nada kemenangan di suara pria itu. Rasa tidak suka menggerangi benaknya. Cowok itu mendelik lantas mendengus, mencoba menenangkan diri. Kalau yang ada di posisinya saat ini adalah Yuda, sudah pasti Pak Dodi akan kalah berdebat. Teman sekelasnya yang sangat badung itu penah berkelahi dengan Pak Dodi sampai pria paruh baya ini ketakutan. Kejadian itu terjadi dua bulan, saat Pak Dodi menuduh Yuda sebagai perusak gerbang. Bedanya, tuduhan yang menimpa Yuda tidak dibarengi bukti, sementara tuduhan yang menimpanya saat ini dibarengi bukti yang jelas. Kamera CCTV merekamnya di sudut yang salah. Kamera itu seolah memperlihatkan Delta yang sudah memegang ponsel sebelum duduk di kursi taman.

Kejadian sebenarnya, seperti ini, Delta baru saja selesai olahraga. Semua teman-teman pergi ke kelas untuk berganti baju, sementara Delta mendinginkan tubuh di taman yang berada di samping lapangan. Sesaat sebelum duduk, matanya melihat sebuah ponsel tergeletak di kursi. Tidak ada si pemilik di mana pun. Taman itu seratus persen sepi. Delta berniat menghindar, seperti kebiasaannya jika berdekatan dengan ponsel. Namunentah mendapat ilham dari mana, dia ingin mencoba memegang ponsel itu. Terakhir kali Delta berusaha memegang ponselnya adalah satu minggu yang lalu dan usahanya gagal.

Apa ketidaknormalan ini akan muncul juga saat memegang ponsel orang lain?

Dia bergerak tangkas, mengulurkan tangan dengan yakin ke arah ponsel. Saat ponsel berhasil dipegang, Delta merasdunia sedang bersahabat kepadanya. Namun, satu detik setelahnya, dia melempar benda itu lantas kabur dengan perasaan kacau. Gejala ketakutannya muncul. Debar jantung yang tidak tentu, keringat di dahi, tangan gemetar dan rasa mual yang mendominasi kepala. Delta pusing. Ingin semuanya segera usai.

Cowok itu menggeleng, melupakan sensasi memuakkan saat ketidaknormalannya kambuh.

Oke. Sekarang waktunya tenang.

Delta balas menatap Pak Dodi serius. Walau begitu, suaranya bergetar saat berkata, "Bisa tolong simpan ponselnya dulu, Pak?"

Pak Dodi mengangkat bahu, bersandar ke sandaran sofa lantas melempar ponsel itu ke nakas kecil di sampingnya. Ponsel itu kini berjarak satu meter. Delta menghela napas lega. Aman.

“Saya menemukan ponsel itu di atas kursi taman saat saya akan duduk di sana. Karena tidak ada orang, saya kira itu ponsel tanpa pemilik. Jadisaya melemparnya ke semak-semak lalu pergi.”

“Konyol.”

“Memang.” kata Delta, tetapi dia tidak menyuarakannya. Siapa juga yang akan mengerti sisi ketidaknormalannya ini kecuali ibunya dan Dreval. Tidak tahu harus menjelaskan apa, dia memilih menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dan mendesah gusar. “Terserah Bapak saja, lah. Saya sudah capek terus mengelak.”

Pak Dodi mengerutkan alis, kemudian jemarinya bergerak samar ke saku kemeja. Tiba-tiba, dia menyentakkan ponsel ke arah Delta.

“Aaa!” Delta terbelalak dan spontan mundur dengan pekikan keras. Tubuhnya yang tidak siap siaga terjengkang ke belakang, diikuti kursi yang jatuh menimpa perut. Cowok itu tergeletak di lantai dengan posisi kedua tangan memegang kepala dan mata terpejam. Punggungnya gemetar dan napasnya tidak beraturan.

Kedua gurunya spontan berdiri. Pak Dodi segera menyimpan ponselnya dan mendekati Delta.

“Ponselnya sudah menjauh,” katanya saat menerima penolakan Delta ketika tangannya terulur untuk membentu berdiri.

Delta membuka mata, mencoba menormalkan deru napas dan menenangkan diri. Dia melirik tangan Pak Dodi yang aman dari ponsel. Cowok itu duduk, lalu menatap kedua gurunya. Saat itu lah Delta sadar kalau mereka sudah tahu ketidaknormalannya. Raut wajah Delta mengeras. Sialan. Mereka nggak boleh tahu. Siapa pun nggak boleh tahu!

Delta membuka mulut, hendak menyuarakan alasan dari perilaku tidak normalnya barusan, tetapi Pak Dodi menyela, “Mamah kamu tidak berbohong. Kamu bukan pencurinya.”

Delta menautkan alis. “Maksud Bapak?”

“Kami sudah tahu kalau kamu takut ponsel.”

Sesuatu terasa menusuk dada. Rasa panas merambati tiap sudut tubuh, dan Delta sadar wajahnya memerah. Mereka tahu. Tentu saja, bodoh. Tapi mereka harusnya tidak tahu!

“Bapak salah. Saya tidak takut ponsel,” geramnya.

Pak Dodi mencebikkan bibir lalu meraih ponsel dan mengulurkannya pada Delta. “Kalau begitu pegang!”

Delta menatap benda itu dengan penuh pertimbangan. Napasnya terhenti. Ada sesuatu yang bergejolak dalam benak. Kalau dia memegang ponsel ini, akan ada banyak bencana. Bagaimana kalau ponsel itu meledak? Bagaimana kalau ponselnya beracun? Bagaimana kalau ….

Delta menggeleng pelan lantas dengan tarikan napas kasar meraih ponsel mungil itu, menggenggamnya. Delta terkejut saat respons tubuhnya tidak setakut biasanya. Dia merasa bisa memegang ponsel itu lebih dari lima detik dan terlihat normal. Namun, di detik kedua, pemikiran sialan tentang ponsel menghantam kepala. Ponsel itu terlempar menjauh dan Delta segera menutupi kepala dengan tangan. Napasnya kembali memburu. Keringat terasa tersedot ke luar kulit tengkuknya. “Sialan!”

Pak Dodi berjalan mendekati ponsel itu dan mengamankannya. “Well, kita tahu permasalahannya sekarang.”

Delta berdiri tegak. “Jangan beri tahu siapa-siapa, Pak,” tegasnya gahar. Seluruh tubuhnya masih gemetar.

Pak Dodi mengangguk. “Tidak akan.”

Delta melirik Bu Reka dan perempuan itu mengangguk maklum.

“Jadi saya bebas?”

Pak Dodi menggeleng. “Kamu bersalah karena menyembunyikan ponsel ke semak-semak.”

Delta mengernyit tidak setuju. “Saya nggak menyembunyikannya, Pak. Bapak tahu jelas itu.”

Tidak mau mendengar, Pak Dodi kembali bertanya, “Kenapa kamu tidak melapor saat menemukan ponsel ini?”

“Buat apa? Nggak ada untungnya bagi saya," sungutnya.

"Nggak bisa kayak gitu, Delta."

Delta mencibir. “Jadi, saya dihukum apa?”

Pak Dodi menatapnya serius. “Temukan si pelaku.”

“Hah?” pekiknya. “Kenapa harus saya?”

“Memangnya harus siapa?”

“Kalau saya tidak mau, hukumannya apa?”

“Minus dua ratus lima puluh poin. Itu artinya, kamu tidak bisa ikut SNMPTN saat kelas tiga nanti," kata Pak Dodi. “Kalau pelaku sebenarnya tidak ditemukan, saya akan menjadikan kamu pelaku utama.”

Delta membuka mulut tidak terima. Pak Dodi memotong dengan ancaman, "Saya juga bisa menyebarkan video CCTV ketidaknormalan kamu."

Sial!

Delta mendengus dengan delikan tajam. “Siapa nama cewek itu?” tanyanya. "Siapa si pemilik ponsel?"

“Anulika Kusumaputri, XI MIPA 4.”

***