cover landing

Hilal Halalan Thayyiban

By ravistara


Arti bahagia dalam hidup Risma sederhana; dapat antrean mandi pertama sebelum dua saudaranya, ditraktir Abang Becak di tengah jalan terik membara, kemudian lulus bertiga dengan Arka dan Aida. 

Hari ini Sabtu, luar biasa indah di mata Risma. Penuh berkah karena semua hajatnya tadi terkabul! 

Setelah pengumuman kelulusan SMA ditempel di depan ruang guru, dunia serasa berada dalam genggaman Risma. Takkan ada lagi kelas IPA yang menguras isi kepala, ego, dan air mata. Risma terseret ke kelas ini juga lantaran hasutan sahabatnya yang senantiasa berjodoh di kelas sama. Arka. Cowok itu sedang asyik menggores pena di atas kertas, lalu rambut mengilap belah pinggir yang tren di era 90-an itu bergerak saat wajahnya terangkat menatap Risma di seberang. 

“Ris, aku sukanya sayur asem sama ikan patin. Kalau kamu suka apa?”

Nyaris Risma tersedak saliva karena Arka menangkap basah sedang diperhatikan olehnya-kecanggungan tadi justru diselamatkan oleh pertanyaan Arka sendiri. Risma pun tampak sibuk berpikir sebentar. Ia mencoba mengingat nama masakan yang berkesan, tetapi gagal karena rasa malu telanjur membuncah. Risma pun mengulum senyum serbasalah.

“Apa aja, Ka. Yang penting halal dan nggak bikin sakit perut.”

Arka terkekeh. Sebetulnya, ia hanya mencari topik obrolan agar punya alasan untuk bertahan di meja bersama Risma. Sementara itu, Aida seolah paham dan memberikan ruang kepada mereka berdua dengan menyingkir ke tempat lain. Berkali-kali Aida mencuri pandang ke arah mereka dengan tatapan penuh makna. 

“Sebentar lagi, kita udah nggak SMA. Jalan masing-masing. Kamu nanti mau ke mana?”

“Hm, ke mana, ya?” Euforia membuat Risma lupa akan pertanyaan satu ini. Terang ia menggeleng. "Aku belum tanya Umi."

“Anak solehah.” Arka bertepuk tangan, menghujani Risma dengan pujian dan senyum menawan yang kian membuat hati gadis itu jengah.

“Anak solehah pantasnya dapat hadiah. Kebetulan, besok aku mau ke Marabahan. Ada festival rakyat. Kamu mau kubawakan oleh-oleh apa lusa?” tanya Arka lugas.

Duh, Arka baik betul. Belum cukup, apa, kebaikannya selama ini?

“Ris? Ditanya, kok, malah diam?”

“Eh, apa, Ka?” Tanpa sadar, pikiran Risma mengembara ke mana-mana hingga menelantarkan pertanyaan Arka barusan.

“Kamu mau minta oleh-oleh apa?”

“Oh, memangnya kamu mau ke mana?”

Senyum di bibir Arka menegaskan kalau ada topik mereka yang terpenggal di tengah jalan akibat ketidakhadiran pikiran Risma kala itu.

“Besok, aku mau pulang ke Marabahan, diajak orang tuaku ikut festival hari jadi kota. Nah, aku mau kasih kamu oleh-oleh hari Senin nanti. Kamu minta apa?”

Risma pun mendesah diam-diam. Sejak dulu, keistimewaan perlakuan Arka terhadap dirinya sungguh meresahkan karena dia belum bisa membalas kebaikan cowok itu. Arka persis arti namanya, bagai sang surya menyinari dunia.

“Aku nggak minta apa-apa, Ka. Aku cuma minta kamu balik ke sini dengan selamat.”

Arka terperangah sejenak mendengar jawaban Risma, lantas tersenyum. Ada rona bahagia yang gagal cowok itu tutupi karena sepertinya jawaban dari Risma tadi telah menyanjung perasaannya hingga ke langit ketujuh.

“Terima kasih, Ris.”

“Lo? Emangnya aku baru ngapain?” tanya Risma bingung.

“Terima kasih karena kata-katamu tadi. Berarti, kamu akan menungguku, ‘kan?”

Oalah, pahamlah Risma sekarang penyebab binar meletup-letup dari mata Arka yang menyipit saat tertawa.

“Ya, iyalah, Ka. Masa nggak ditunggu. Kita masih harus ambil ijazah kelulusan."

"Setelah itu, kamu mau, ‘kan, kuajak ke rumah buat ketemu orang tuaku?” kejar Arka mendadak.

“Eh, itu ….” Risma kembali dihinggapi serbasalah, menyadari betapa canggungnya isi obrolan mereka, apalagi ingat pesan Umi yang melarangnya berkunjung ke rumah lelaki.

“Kenapa mau ajak aku ketemu orang tua kamu?”

“Silaturahim, Ris. Kita, kan, udah berteman lama? Sebenarnya, aku yang duluan ke rumahmu juga boleh.”

Risma panas dingin seketika. Jika pembicaraan mereka sudah menyasar topik kedekatan hubungan macam ini, ia tidak tahu bagaimana cara mengelak. Namun, ia juga tidak punya keberanian untuk meluluskan permintaan tersebut. Akhirnya, Arkalah yang mengalah karena melihat mendung di wajah Risma.

“Hm, kapan-kapan sajalah, Ris. Nanti setelah kita sudah beres semua urusan sekolah, bakal ketemu juga di acara perpisahan."

Betul juga. Risma pun mengangguk. Itu akan jadi saat yang tepat untuk mengenalkan Arka sebagai sahabat pada sang ibu. Begitu pula sebaliknya. Pasti ada acara ramah tamah selepas pengukuhan kelulusan nanti.

“Aku udah enggak sabar mau kenalan sama ibu kamu!” Arka menyeringai, tak urung membuat hati Risma berdebar. Ia tidak bisa mencegah kegugupan yang tiba-tiba melanda karena membayangkan bagaimana ekspresi Umi jika berkenalan dengan Arka dan keluarganya nanti. Satu hal yang membuatnya tenang adalah kualifikasi Arka yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan fisik menarik dan kepribadian santun, pasti tidak susah bagi cowok itu menarik simpati dari siapa saja.

“Orang tua dan keluargaku biasa saja, Ka.” Risma merendah dengan tujuan memupus angan Arka yang mungkin melambung terlalu tinggi.

“Udah kubilang dari dulu … aku kagum sama kepribadian kamu, pasti ada alasan spesial di baliknya.”

“Enggak ada yang spesial, Ka. Cuma Umi pernah bilang kalau Allah semata-mata menilai seorang hamba dari takwanya, bukan penampilan.”

“Nah, itu dia!” Arka bersorak seolah baru saja menjawab soal dengan benar. Risma tidak berusaha mencampuri pendapat Arka kemudian. Biarlah, ia serahkan saja penilaian Arka pada pendapat cowok itu pribadi. Lagi pula, percakapan mereka lantas terputus oleh interupsi beberapa siswa dari kelas lain. Tim basket Arka. Aida pun kembali ke meja setelah Arka pergi bersama teman-temannya. Gadis itu memandangnya penuh curiga.

“Arka baik, ya, Ris?” ujar Aida dengan nada terdengar sedikit iri.

“Iya, sih, Da. Naksir?”

“Enggaklah. Dari dulu, kami tahu kalau Arka sukanya sama kamu.”

“Hah?”

“Ya ampun, Ris. Kamu polos atau pura-pura, sih? Mana ada cowok sebaik itu kalau benar-benar enggak suka sama kamu?”

“Arka itu teman, Da. Dia memang baik, tapi lebih kayak saudara.”

“Itu, mah, alasan basi, Ris.”

“Maksud kamu?”

“Saudara seiman, kek. Apa, kek. Ujung-ujungnya, aku yakin kalau Arka nggak lama lagi bakal ngomong serius sama kamu.”

“Astagfirullah, Da. Pikiran kamu terlalu berlebihan.”

“Ris, nggak ada yang namanya pertemanan murni antara cowok dan cewek, ya! Salah satu pasti lama-lama bakal naksir juga. Atau jangan-jangan, sekarang pun kamu sudah mulai naksir sama dia, ya?” tembak Aida yakin.

Risma mengembus napas perlahan. Dengan penuh kehati-hatian, ia berbicara sambil berpikir bagaimana cara berargumentasi jika ditanya begini. “Da, masih ingat nggak sama wejangan Pak Janggut?”

Aida meneguk ludah. Ia berlangganan ceramah Pak Janggut saban minggu karena ketahuan pacaran dalam kelas.

“Ukhuwah, Da. Ukhuwah! Sesama kaum muslim itu bersaudara.”

“Ibuku aja nggak ribut pacarku datang ke rumah. Pak Janggut rese, ah. Sok teu?"

"Da, itu kata Rasulullah, loh." Risma menatap sahabatnya satu ini dengan rasa horor. 

"Tapi, Rasulullah itu beda, Ris. Kita manusia biasa.”

“Iya, memang, tapi bukannya Rasulullah diutus jadi suri teladan, ya? Nggak boleh bilang nggak mungkin kalau belum dicoba, Da. Kamunya sendiri mau atau nggak?”

"Mencoba nggak pacaran?" imbuh Aida setengah hati. Risma mengangguk mengiakan.

"Kayak kamu dan Arka?"

"Aku dan Arka ngapain, coba?" Risma protes.

“Oh, hehe. Mungkin, akunya aja yang kurang dalam memahami ilmu agama, ya, Ris. Tahunya selama ini cuma nonton sinetron cinta-cintaan di TV.” Aida terkekeh tanpa malu.

“Nggak apa-apa, sih, Da. Nonton TV boleh aja, tapi saring dulu mana yang bisa kita ikuti. Idola nomor satu tetap Rasulullah, kata Umi.”

Aida menggaruk kepala. “Nggak heran kenapa Arka nggak bisa berpindah hati dari kamu, Ris.”

“Udah, ah, cukup omong begituan,” tegur Risma jengah, ditimpali oleh kekehan sahabatnya.

“Omong-omong, nih. Kamu dan Arka nanti gimana setelah lulus SMA? Masih ukhuwah-ukhuwahan?”

“Insyaallah.”

“Moga kalian langgeng, ya. Cocok. Apa pun statusnya nanti.”

Bibir Risma terkunci karena ucapan dan sorot mata Aida terkesan tulus.

***

Ucapan adalah doa. Risma berharap semua harapan tulus yang terlontar dari orang-orang di sekitarnya sesuai garis terbaik yang ditentukan oleh Allah ‘azza wa jalla. 

Apa pun statusnya. Bagi Risma, Arka istimewa, baik sebagai teman ataupun saudara. Lantas, hari ini ia mendapat kejutan luar biasa yang mencengkeram segenap jiwa.

Ia dan Aida heran, pagi cerah di hari Senin seakan disergap mendung kelabu yang menggelayuti seisi kelas. Suasana terasa begitu muram. Ia pun merasakan keanehan yang nyata serta debaran jantung yang tidak bisa dijelaskan sebabnya ketika semua orang memandang ke arahnya dengan wajah kelam. Seseorang membisiki Aida pelan hingga wajah gadis itu memucat, lantas sepasang tangannya menangkup mulut seraya mundur. Mata Aida memerah tatkala menghindar dari tatapan keheranan Risma.

“Ris.” Ketua kelas maju mendekat ke arahnya.

“Kamu sudah dengar kabar pagi ini?”

Risma menggeleng.

“Malam tadi ….” kalimat itu menggantung di udara dengan nada tercekik samar, “Arka kecelakaan.”

Mata Risma membulat.

“Arka sudah berpulang, Ris. Kita semua akan ke rumahnya hari ini untuk acara pemakaman.”

Suara sahabatnya bergetar. Namun, sekejap saja getaran itu kalah oleh gemuruh yang merajam seluruh indra perasa. Risma merasa tubuhnya mendadak lumpuh.

***