cover landing

Her Last Smile

By Atika Lestari


"Di hadapan Allah, Imam, orang tua, dan saksi; saya, Jerome Hilaire Alexandre, dengan niat yang suci dan ikhlas hati memilihmu, Florence Raphael, menjadi istri saya. Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, pada waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidupku ... demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan menolong saya."

***

Aku mendesah sembari menjejalkan kedua tangan ke dalam saku jaket yang tengah membungkus tubuhku. Meski setiap pijakan langkah ini terus menghancurkan daun-daun berwarna kuning hingga jingga kemerahan, udara terasa dingin. Sepertinya musim gugur harus segera mengakhiri kunjungan di Prancis lebih cepat dari tahun biasanya.

Embusan angin tanda kehadiran musim dingin yang semakin jelas di Kota Paris—tempat tinggalku—sama sekali tidak mengendurkan semangatku untuk berlari kecil, membuat beberapa dedaunan kering yang hampir senada dengan warna langit saat ini terbang rendah terhempas ke sembarang arah.

Kuperhatikan udara yang keluar dari mulut saat aku mengembuskan napas kasar. Tidak ada uap putih seperti yang kupikirkan. Meski bagi orang lain udara tidak terlalu dingin, ini sudah cukup membuat tubuhku menggigil.

Langkahku melambat, kemudian berhenti tepat pada jajaran para penjual bunga. Salah satu bunga di sana berhasil menarik perhatianku, bunga dengan banyak helaian kelopak putih kesukaan seseorang yang kukenal baik. Ah, tidak terasa besok hari itu akan tiba. Ponsel yang kusimpan dalam saku celana kembali bergetar, membawa kembali pikiranku yang sempat melayang.

Sebenarnya, aku malas harus mengeluarkan tangan dari dalam jaket dan kembali merasakan sensasi dingin. Namun, aku tahu betul siapa yang menelepon. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengangkatnya.

"Ya, Sayang. Sebentar lagi papa sampai di rumah. Tunggu, ya, Darrell. Katakan pada Aimee, jangan mencuri start di taman. Kita lakukan bersama-sama. Okay?" Terdengar suara Darrell bersorak kegirangan dari ujung speaker phone.

Kupandangi layar benda hitam pipih di tanganku. Panggilannya sudah terputus, tapi senyum di wajahku masih merekah sempurna. Kini aku berlari, tidak peduli seberapa banyak terpaan udara dingin yang terus menusuk wajah. Selelah apa pun aku bekerja, semuanya tergantikan ketika mendengar suara mereka. Semuanya terelakkan, karena aku tahu anak-anak selalu menanti kepulanganku di rumah.

***

"Bukan seperti itu, Darrell. Potong bagian tangkainya lebih ke bawah." Kuperlihatkan cara yang benar memotong tangkai bunga di taman belakang rumah. "Nah, bagus, kan?"

"Uwah! Aimee, lihat!" Bocah berusia enam tahun itu memanggil kakaknya yang tidak jauh berada di depan. "Sini, cepat!"

Dengan tidak bersemangat, Aimee datang menghampiri kami. "Begitu saja aku juga bisa. Huh!" protesnya. Gadis remaja itu memotong dua tangkai bunga sekaligus dalam waktu singkat. "Nih, mudah, kan?"

Darrell memasang wajah masam. Ia menatapku.

"Aimee, sekali-sekali kau perlu memuji adikmu. Dia juga ingin perhatian darimu," kataku sembari membelai puncak kepala Darrell.

Gadis itu tidak menjawab. Ia terus fokus mencabuti daun yang masih menempel pada bagian bawah setiap tangkai bunga yang baru saja kami kumpulkan, lalu meletakkannya pada vas besar berisi air. Kulihat dia sedang menikmati aroma dari tiga tangkai bunga terakhir di tangannya. Matanya terpejam.

Aimee membuang napas perlahan, diikuti kedua kelopak matanya yang perlahan terbuka. Ada siratan kerinduan besar dalam sorot matanya. Ia memeluk lembut ketiga tangkai bunga tersebut.

"Chrysanthème fleur. Ini bunga kesukaannya," ucapnya lirih.

Hatiku bergetar saat mendengarnya. Aku mendekat, lalu mengusap belakang pundak Aimee.

"Dan semua bunga ini untuknya," hiburku. "Kau sudah siap bertemu dengannya besok?" Kuperlihatkan senyum terbaik, yang langsung dibalasnya kembali.

Sesuai dengan namanya, Florence Raphael—istriku—sangat menyukai bunga. Namun, ada satu jenis bunga yang paling ia sukai, bunga krisan putih, yang kini tumbuh memenuhi halaman belakang rumah kami. Setiap hari, istriku merawat bunga-bunga itu dengan cintanya. Ia rajin mengganti vas bunga di ruang keluarga setiap dua hari sekali. Aroma khas selalu merasuki indra penciuman siapa pun yang masuk ke dalam rumah kami.

Aku menyebutnya sebagai aroma istriku. Ke mana pun aku pergi, ketika aku mencium semerbak harum dari bunga ini, aku akan langsung teringat dia. Bahkan, aku merasa seperti dia sedang berada di sekitarku. Haha. Benar-benar, deh. Seperti parfum alami saja.

Sebenarnya, dulu aku sering sekali protes. Kenapa tidak mengganti bunga yang lain saja? Selama bertahun-tahun mencium bau yang sama setiap hari, wajar jika aku merasa jenuh, kan? Namun, wanita itu selalu bilang bahwa ia hanya akan menyukai krisan, sama seperti ia hanya akan mencintaiku. Ah, aku tidak bisa protes lagi setelahnya.

***

Usai mengikuti misa di gereja Katedral Notre Dame—salah satu warisan dunia dari UNESCO—aku dan anak-anak berjalan kaki bersama dengan rombongan lainnya. Masing-masing setiap kelompok orang membawa buket bunga krisan yang baru saja dibeli dari para penjaja bunga dadakan di sekitar katedral. Bedanya denganku, krisan mereka berwarna-warni. Setiap angin yang berembus membawa aroma khas bunga itu dari segala arah.

Di Prancis, bunga krisan sendiri menandakan bahwa bulan November akan segera datang, diikuti dengan berakhirnya musim gugur. Satu November adalah hari perayaan La Toussaint, hari raya untuk semua orang kudus. Semua orang tampak bersuka-cita. Mereka saling menyapa dan berpelukan pada sanak saudara yang hanya dapat berkumpul pada hari-hari seperti ini saja.

Matahari terlihat masih malu-malu untuk menampakkan wajahnya. Padahal, hari sudah mulai siang. Mungkin benar kata seseorang yang tidak sengaja kudengar tadi, bisa saja turun salju dalam waktu dekat! Aku mengamati pohon-pohon sekitar yang tampaknya belum siap menghadapi musim dingin. Daun-daun mereka belum sepenuhnya hilang.

Kuletakkan buket krisan putih asli hasil dari perawatanku dan anak-anak tepat di bawah sebongkah batu marmer besar. Aku menyuruh Darrell agar membuat tanda salib dengan tangan dahulu sebelum berdoa. Dia selalu melewatkan hal ini meski sudah diingatkan berkali-kali.

"Ikuti papa, ya.” Kuangkat tangan kanan dan meletakkannya pada dahi. “Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus ... amin." Kali ini Darrell serius mengikuti gerakan tanganku membentuk tanda salib. Bahkan, dia mendahuluiku mengecup jari tangan kanannya.

Aku tersenyum melihatnya. Kemudian, kami mulai melipat tangan dan berdoa. Tepat ketika bibirku berucap 'amin', aku mendengar Darrell sesenggukan kecil.

"Kau kenapa, Sayang?" Anak itu terlihat bersusah payah menahan air mata.

"Papa," panggilnya dengan suara parau melalui bibirnya yang mungil.

Aku berjongkok di depannya, menyamakan tinggi kami, lalu menunggunya bersuara kembali.

"Apa aku boleh menangis?"

Hatiku seketika merasa pilu. Aku tahu dia sedang berusaha menahan sesenggukan meski hidung dan matanya telah semerah tomat. Kupaksakan agar guratan senyum di wajahku tidak memudar. "Memang papa pernah melarangmu, ya?"

Kedua lengan bocah laki-laki itu langsung menyambar tubuhku, memeluk begitu erat. Tangisnya yang sedari tadi ia tahan seketika pecah.

"Mama bilang, aku tidak boleh menangis," ucapnya di sela tangisan, "kecuali kalau sedang berada di pelukan Papa."

Kuangkat tubuh Darrell yang masih mendekapku, menggendongnya. Berat sekali. "Mama bilang begitu?" tanyaku.

Tanganku refleks mengelus dan sesekali menepuk punggungnya. Aku bisa merasakan pelupuk mataku yang menghangat. Sungguh, rasanya aku ingin menangis bersamanya.

Mata Darrell terus tertuju pada bangunan marmer di hadapannya. Florence Raphael, nama yang terukir di batu itu, di bawah tanda salib putih. Aku terus mengusap punggungnya ketika Darrell terus memanggil mamanya, sedangkan Aimee hanya diam mematung memandangi makam ibunya.

Jika krisan menandakan November telah tiba, maka November mengingatkanku pada dirimu yang telah pergi. Jika di sini krisan melambangkan duka, kematian, dan pemakaman, maka aku menyakini bahwa makna sebenarnya adalah pembawa tawa dan kebahagiaan dalam keluarga, seperti yang wanita itu imani.

Hei, istriku. Pada hari ini, tepat satu tahun kau meninggalkan kami. Aku membawa Aimee dan Darrell ke sini. Lihat mereka. Anak-anak sangat merindukanmu. Ah, tentu aku juga. Satu tahun terasa seperti sepuluh tahun tanpamu. Bagaimana tidak sekali pun kau mengeluh saat mengurusku serta anak-anak selama ini di kala dirimu menahan sakit? Jujur, aku sendiri sangat kewalahan.

Maaf, aku belum bisa memaafkan diriku. Kau tahu, kan? Setahun ini hidupku menderita. Aku sangat merasa bersalah padamu. Sungguh, aku menyesal karena tidak menepati janji yang kuucapkan di depan pastor pada hari upacara pernikahan kita, hari yang paling bahagia waktu itu.

Seharusnya, aku ada di sisimu saat kau sakit. Seharusnya, aku lebih peka pada dirimu yang bersembunyi di balik topeng itu. Seharusnya, aku menemanimu di saat kau takut. Seharusnya, aku tidak kasar padamu. Seharusnya ....

Rasanya air mataku akan tumpah, tapi tidak boleh kubiarkan. Aku harus terlihat tegar di depan anak-anak. Mereka berdua satu-satunya alasanku hidup sekarang. Andai aku tak memikirkan Aimee dan Darrell, mungkin aku sudah menyusulmu, Sayang.

Kau baik-baik saja di sana? Bagaimana rasanya tinggal di surga? Setidaknya, segala sakitmu sudah diangkat. Satu-satunya hal yang paling aku syukuri.

Bapa, tolong jaga istriku. Bisakah Kau beritahu padanya bahwa kami baik-baik saja? Sepotong doa yang kupanjatkan tadi. Aku berharap ia memaafkanku karena telah menjadi suami yang buruk baginya.

"Aku membawa bunga krisan kesayanganmu. Bukan karena bunga ini wajib dibawa oleh para peziarah saat hari raya La Toussaint, melainkan karena ini hari spesial bagimu. Selamat ulang tahun, istriku."

***

Fun Fact:

Mengutip salah satu berita daring dari CNBC Indonesia, pada tanggal 15 April 2019, Prancis menangis. Katedral Notre-Dame di Paris yang telah ditetapkan UNESCO sebagai salah satu warisan dunia, mengalami insiden kebakaran dahsyat sehingga merusak sebagian bangunan bersejarah itu. Butuh waktu sembilan jam untuk melumpuhkan lidah-lidah api. Dana triliunan rupiah didonasikan untuk pembangunan kembali katedral tersebut.