cover landing

Hening

By Briistory


Tidak ada suara sama sekali, gemerisik semilir udara bergerak pun tidak ada. Apa karena di dalam ruangan? Apakah karena sedang di dalam rumah? Mungkin saja, tapi masa iya sampai sehening ini?

Karin yang sejak beberapa menit lalu sudah terjaga masih diam memerhatikan sekeliling, antara bingung dan ditambah masih mengantuk, “Kok aneh? Ada yang beda,” begitu pikirnya dalam hati.

Kelambu kusam jadi salah satu bagian yang diperhatikan. Kelambu yang mengelilingi tempat tidur, hanya bagian depan saja yang terbuka. Masih dalam posisi berbaring, pandangan Karin hanya bisa melihat ke atas dan sedikit kanan dan kiri.

Sangat sepi, hening.

Sama sekali tidak ada suara sedikit pun.

Cukup lama situasi ini berlangsung. Makin terasa lama karena sepertinya makin mencekam.

Namun, tiba-tiba, “Tong..”

Mbah memang memiliki satu jam besar berbahan luar kayu setinggi orang dewasa yang diletakkan di ruang tengah. Bentuknya klasik, desain zaman dulu, tapi masih bekerja dengan baik. Jam besar ini akan berbunyi sejumlah angka yang ditunjuk. Apa bila sudah jam satu akan berbunyi satu kali, jam dua akan berbunyi dua kali, begitu seterusnya. Walau bunyinya nyaring, tapi suaranya tidak keras meski terdengar di setiap sudut rumah.

Kali ini jam berbunyi satu kali, membuat Karin bisa tahu kalau saat itu sudah jam satu lewat tengah malam.

Bunyi jam tadi merupakan satu-satunya suara yang Karin dengar sejak terjaga, setelah itu suasana menjadi hening, kembali seperti semula. Tapi, setelah dentang suara jam, Karin akhirnya mendengar suara detik jam besar itu. Sangat kecil, namun masih terdengar, “Tik, tik, tik, tik,…”

Karin kembali melempar pandangan ke sekeliling. Berusaha semaksimal mungkin menjangkau penglihatan. Tubuh Karin tak bergerak sama sekali. Bukannya tidak bisa, tetapi memang berusaha untuk tidak menggerakkan anggota tubuhnya, karena sepertinya setiap gerakan pasti akan terdengar jelas di tengah keheningan ini. Karin tidur di sisi kanan ranjang berbahan dasar rangka besi yang umurnya sudah cukup tua. Salah satu alasan Karin berusaha untuk tidak bergerak karena satu gerakan kecil akan membuat tempat tidur berdecit.

Menoleh ke kiri, Karin melihat Pras masih tertidur pulas menghadap dinding. Setelahnya Karin  menoleh ke kanan bawah, tempat Dewo terlelap beralas kasur tipis. Mereka bertiga memang tidur dalam satu kamar. Melihat itu semua, Karin tersadar kalau sedang terjaga sendirian, kedua adik sepupunya masih lelap di alam mimpi.

Detik kembali berjalan…

Malam bergulir lagi…

Perlahan-lahan Karin menyadari ada sesuatu yang terjadi.

Kelambu yang ada di atas kepalanya tiba-tiba bergerak seperti tertiup angin. Aneh? Tentu, karena Karin sama sekali tidak merasa ada udara bergerak di sekitarnya. Kelambu itu memang bergerak sendiri…

Kelambu itu membuat Karin menengadah, matanya terus menatap kelambu yang masih saja terus bergerak. Sebentar, setelah diperhatikan dengan saksama, ternyata kelambu itu bukan sedang tertiup angin, tapi seperti ada yang menggerakkannya dari ujung terjauh, dekat dinding. Penerangan kamar hanya bersumber dari lampu 5 watt, jadi cahayanya tidak mampu menjangkau ke tempat yang sedang Karin perhatikan. Tempat yang sepertinya terdapat sesuatu sedang menggoyang-goyangkan kelambu.

Tidak bisa, Karin tidak bisa melihat pojok ruangan dengan jelas, hanya gelap dalam serpihan kecil cahaya redup lampu.

Sementara itu, kelambu terus bergerak pelan, sangat perlahan…

Berlangsung selama beberapa menit, sampai akhirnya berhenti.

Kelambu diam lagi…

Masih hening, ketika kelambu masih bergerak pun tetap tidak ada suara.

Setelah itu Karin mengalihkan pandangannya lagi. Tidak menengadah, sejenak melupakan pergerakan kelambu yang baru saja terjadi karena ada hal lain yang menarik perhatian.

Ternyata, kali ini tiba-tiba kelambu bagian bawah yang bergerak, letaknya dekat dengan kaki. Sambil sedikit menunduk, Karin memerhatikan.

Pergerakannya sama, seperti ada sesuatu yang menggerakkan, tetapi sesuatu itu sama sekali tidak terlihat.

Kelambu terus bergerak perlahan, melambai pelan. Di sisi ini pun, Karin masih tidak bisa melihat sesuatu yang sedang menggerakkan kelambu. Sama sekali tidak terlihat.

Namun, lagi-lagi selang beberapa belas detik, kelambu berhenti bergerak, diam.

Suasana makin mencekam. Karin lalu menarik selimut sampai sebatas leher ketika dia tiba-tiba mendengar sesuatu. Memang ada suara detak detik dari jam besar di ruangan depan, tapi bukan itu. Bukan suara jam yang membuat Karin ketakutan.

Ada suara langkah kaki!

“Deg, deg, deg..” Kira-kira seperti itu.

Langkah kaki ini terdengar dari sudut kamar dekat jendela, sudut kamar yang lebih dekat dengan kaki Karin.

Karin menajamkan pendengaran, terus mendengarkan suara langkah kaki misterius itu yang tidak keras, tapi cukup jelas.

“Deg, deg, deg..”

Suara kaki tanpa alas yang langsung bersentuhan dengan ubin. Jarak dari satu langkah ke langkah berikutnya agak berjeda, tidak berdekatan. Terdengar seperti langkah yang lambat.

“Deg…”

“Deg..”

“Deg..”

Dari suaranya, langkah kaki seram itu bergerak dari ujung kamar menuju ujung yang berlawanan. Ya, pintu yang letaknya di sebelah kanan belakang.

Lalu, langkah kaki itu sempat menghilang beberapa belas detik. Seperti sang empunya sedang berhenti. Saat itu juga, Karin menahan napasnya, menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

“Deg…”

Kembali terdengar, pijakan pertama setelah berhenti.

Kali ini suaranya berpindah, bukan lagi dari pojok kamar, tetapi sudah dekat lemari kayu. Di depan lemari, pencahayaan cukup terang, karena cahaya redup lampu tidak terhalang apa pun, tapi tetap saja Karin tidak bisa melihat apa-apa.

“Deg…”

Terdengar pijakan kedua.

Kali ini sepertinya sangat dekat dengan kaki Dewo yang masih berbaring di lantai. Langkah itu seperti berhenti dekat kaki Dewo karena tidak lagi terdengar suaranya.

Tapi hanya beberapa detik, suara langkah itu terdengar kembali.

“Deg…”

“Deg…”

“Deg…”

Terdengar tiga langkah, tapi sangat perlahan. Masing-masing langkah berjarak selama beberapa detik. Langkah seperti sedang berjalan persis di samping Dewo. Dari kaki, lalu ke betis, lalu ke sebelah paha, arahnya memang sedang menuju pintu.

Saat inilah akhirnya Karin tahu kalau Dewo terjaga dari tidurnya. Karin melihat kalau ternyata Dewo juga sedang memerhatikan suara langkah-langkah itu. Tatapannya mengikuti, dari kaki, ke betisnya, ke pahanya, terus naik karena langkah itu terdengar terus bergerak menuju pintu.

Dewo ketakutan, tubuhnya tidak bergerak, sementara Karin masih terus memerhatikan semuanya.

“Deg…”

“Deg…”

“Deg…”

Langkah kaki itu terus berjalan di sebelah Dewo sampai akhirnya seperti sudah berada dekat pintu. Karin dan Dewo tentu saja jadi memerhatikan pintu. Saat inilah, Karin baru sadar kalau ternyata pintu kamar terbuka lebar.

Terbukanya pintu kamar dan posisinya yang berada di atas kepala, ditambah dengan remangnya pencahayaan membuat Karin dan Dewo harus menengadahkan wajah. Mereka juga harus menajamkan penglihatan dan pendengaran.

Di luar kamar, pencahayaan sangat minim. Ruang tengah dan belakang memang dalam keadaan remang karena lagi-lagi hanya lampu kecil yang jadi sumber cahaya.

Remangnya lorong panjang depan kamar sungguh sangat menyeramkan, ditambah dengan langkah kaki misterius yang masih berada di dalam kamar jelas terdengar.

Dan benar, langkah kaki itu memang sedang menuju pintu kamar, seperti hendak ke luar.

“Deg…”

“Deg…”

“Deg…”

Lebih cepat dari sebelumnya. Walau masih terdengar pelan, tapi dari suaranya dapat dipastikan sudah melewati pintu, kemudian berada di lorong.

“Deg…”

“Deg…”

“Deg…”

Meninggalkan lorong, langkah kaki itu terdengar sedang menuju ke bagian belakang rumah. Di mana ruang belakang, dapur, dan kamar mandi berada.

Cukup lama Karin dan Dewo berdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya mereka bertatapan ketika suara langkah kaki itu menghilang.

Iya, cukup lama mereka bertatapan dengan wajah ketakutan. Tanpa suara, seperti berkomunikasi dalam diam, namun saling mengerti.

“Tutup pintunya.” Karin bersuara, menyuruh Dewo untuk menutup pintu kamar.

Dewo bangkit lalu berjalan ke pintu. Langkahnya pelan karena masih terkungkung ketakutan akibat peristiwa yang baru saja terjadi.

Perlahan, Dewo menutup pintu, rapat.

Masih tanpa percakapan, Dewo kembali ke posisinya, merebahkan tubuh di lantai beralas kasur tipis. Lagi-lagi, Karin dan Dewo bertatapan, dalam remang gelap kamar.

Apa yang baru saja terjadi?

Suara langkah apa barusan?

Hening kembali menggema. Sepinya menggurat detik tenang rumah ini.

Selesai? Karin dan Dewo berharap suasana mencekam ini sudah selesai. Iya, berharap seperti itu..

Tapi, sering kali harapan tidak sesuai dengan kenyataan…