Pengantin pria yang hilang saat malam pertama dengan alasan tugas. Keadaan darurat. Tidak bisa ditinggal. Alhasil Quinsha sudah dongkol di kamar pengantin. Cemberut minta ampun. Kesempatannya hanya beberapa jam bersama pria yang sudah sah menjadi suaminya itu saat acara akad dan resepsi pernikahan mereka. Setelahnya pria bertubuh tegap itu hilang bak ditelan bumi.
Tak terasa setetes hujan mulai menggenangi pipinya lalu semakin deras. Tangannya naik dengan kasar menghapus saja dengan asal sampai merusak seluruh dandanannya.
"Gue tunda studi S3 dan impian gue cuma buat nikah sama cowok yang bahkan ninggalin gue di malam pertama. Tanpa pamit, tanpa bilang dulu, tanpa nyapa dulu. Nothing!"
***
1 Pekan Kemudian
"Assalamu'alaikum."
Bunyi ketukan pintu disertai suara salam yang diulang itu kembali terdengar. Dua mahasiswi berhijab yang tengah memeluk draft skripsi itu tengah menunggu dengan ekspresi khawatir.
Tak lama pintu berderit dan mulai terbuka perlahan. Tapi anehnya, dua gadis itu malah terpaku di tempatnya. Sesaat terpana pada seseorang yang muncul di hadapan mereka.
Seorang pria bertubuh tinggi dan berseragam loreng khas tentara ber-name tag, "ADRIAN" yang sedang tak mengenakan baretnya menampilkan ramput pendek potongan ala anggota TNI. Wajahnya tirus dan berkulit cukup terang. Hidungnya mancung dengan bibir merah muda yang tampak tersenyum tipis.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balasnya dengan suara ramah. "Mohon maaf, Mbak berdua ini mencari siapa, ya?" tanya Adrian masih dengan nada ramah khas aparat pelindung masyarakat.
Kedua gadis itu mendadak salah tingkah. Isi pikiran mereka sama. Ajudan yang sedang mampir ke rumah anaknya Panglima TNI.
Jelas saja, bukan rahasia lagi bahwa dosen muda bernama Quinsha Herlambang Aulian yang terkenal sangat cerdas di kampus sekaligus pelit nilai itu adalah anak dari orang nomor satu di TNI.
"Anu ... anu, Pak. Mau ketemu Ibu Quinsha," jawab gadis berhijab abu-abu.
Adrian mengerutkan dahi. "Oh, mahasiswanya Ibu Quinsha, ya?"
"Betul, Pak," jawab mereka serempak.
Anehnya, mata mereka tak lepas dari wajah itu. Wajah yang membuat banyak kaum hawa terpesona sekaligus patah hati belakangan ini semenjak dikabarkan menikah.
"Kalau gue tahu ada ajudan ganteng macam begini di rumahnya Ibu Quinsha, udah dari dulu gue rajin konsul langsung di rumahnya Bu Quinsha. Rela skripsi gue dicoret mulu biar konsulnya lebih sering. Siapa tahu malah semakin dekat dengan jodoh. Ye, kan?" batin gadis berhijab ungu sambil cekikian dalam hati.
"Konsul skripsi?" tebak Adrian.
"Betul, Pak." Lagi-lagi mereka kompak. Seolah tak ingin ketinggalan momen berbincang dengan wajah super teduh dengan senyum khas plus suara dalam itu.
Adrian mengangguk seolah paham. "Maaf, ya. Istri saya sedang tidak di rumah. Saya juga baru pulang. Jadi belum ketemu."
Tiba-tiba dua mahasiswi itu malah saling pandang seolah-olah ingin serempak berkata, "Suaminya, Cyin," sekaligus syok karena mereka tak tahu berita seheboh ini. Dosen super gila kerja sekelas Quinsha bisa menikah juga. AKHIRNYA, pikir mereka.
Sekilas gadis berhijab ungu itu melirik ke bawah tepat di tangan kanan pria itu. Benar saja, ada cincin yang melingkar di jari manisnya. Hilang harapannya.
***
Quinsha baru saja pulang dari kampus. Begitu akan memasuki kamarnya, mendadak langkah gadis bergamis lavender dengan hijab syar'i itu terhenti begitu saja saat menangkap keberadaan seorang pria yang sedang duduk sambil membaca buku dengan santai di ruang tamunya.
Pria yang sama yang selalu diabaikannya sejak pertama kali dikenalkan oleh orang tuanya. Tak pernah dihiraukannya saat mereka melakukan proses pengajuan pernikahan. Bahkan sejak taaruf pun keduanya bicara bisa dihitung dengan jari. Terlalu kaku.
Quinsha yang tidak tertarik dengan Adrian dan Adrian yang belum mengenal Quinsha.
Tak lama Adrian pun angkat kepala dan agak kaget begitu mendapati gadis berwajah tirus dengan bulu mata lentiknya yang khas serta kulit sawo matang itu tengah berdiri di sana menatapnya dengan tatapan dingin.
"Ekhem." Pria itu batuk mencairkan suasana. "Kamu baru pulang, ya?"
Tanpa menjawab, gadis itu mendekat dengan ekspresi yang sama dan langsung mengambil tempat di sofa yang terletak di seberang meja.
Adrian bahkan masih menatap tangannya. Tidak disalami pula. Mungkin nanti, pikirnya masih berprasangka baik.
Quinsha mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah amplop putih dengan kop surat sebuah lembaga. Menaruhnya di atas meja sebelum menggesernya ke arah Adrian yang duduk di seberang meja.
"Apa ini?" tanya pria itu dengan waswas.
"Bukan surat dari pengadilan agama, kan?" batinnya menebak asal. Karena sejak awal dia tahu, Quinsha terkesan terpaksa menikah dengannya. Terpaksa karena desakan orang tua dan terpaksa karena usianya.
Manik hitam itu menatap mata cokelatnya dengan tatapan tegas. "Saya harus ke Jambi untuk mengajar anak-anak di salah satu wilayah. Dan, saya harap Anda memahami itu, Pak," jelasnya dengan nada datar.
Kesan Quinsha yang shalihah dan sudah ngaji sejak kecil pun tak terlihat. Mungkin tak terlihat hanya di depan Adrian. Pria itu bahkan bertanya dalam hati, apa Quinsha sebenci itu padanya karena telah menggagalkan mimpinya sebelum beristighfar karena berprasangka buruk.
Sesaat Adrian terdiam sebelum bertanya, "Kenapa tiba-tiba?"
"Ini cadangan impian saya tahun ini, karena impian pertama gagal begitu saja."
"Tapi, kenapa tidak bertanya dulu kepada saya?" Adrian melembutkan suaranya.
"Papa pasti izinin saya, Pak," balas Quinsha dengan tetap bernada datar.
"Tapi suami kamu itu saya. Kamu tidak lupa, kan, ridho orang tua kamu sudah berpindah ke saya?"
Quinsha melipat tangan di dada dengan ekspresi jengah. "Jadi?"
"Saya pikir kita harus bicara dulu."
"Excusme, Anda berhak pergi dan pulang kapan saja. Jadi tolong berikan hal yang sama ke saya. Anda tidak tahu, berapa hal yang sudah saya korbankan tahun ini."
"Tapi-"
Quinsha meraih tasnya dan langsung beranjak setelah berkata, "Saya permisi."
Adrian memijit keningnya lantaran merasa serba salah.
***
"Masyaallah bagus program mengajar itu. Papa setuju kalau Ananda mau ke sana." Azka tersenyum ke arah Quinsha yang sedang sibuk menghabiskan makan malamnya itu.
"Terima kasih, Pa. Ananda yakin Papa bakal bilang gitu." Quinsha tersenyum manis. Baginya hanya papanya itu yang memahaminya.
Aira yang berada di seberang meja makin tak nyaman, karena suaminya itu hampir selalu mendukung semua kemauan anak perempuan mereka. "Ananda kan baru nikah. Apa enggak sebaiknya ditunda dulu? Nemenin Ananda Adrian, lebih saling kenal, dan kalian fokus memikirkan keturunan. Itu penting. Mau sekolah setinggi apa pun dan penghargaan berderet-deret enggak akan ada gunanya kalau kehidupan pribadi berantakan."
Adrian tersenyum singkat ke arah mertuanya itu sebelum kembali menunduk ke arah makanannya. Dalam hati dia setuju dengan Aira—ibu Quinsha.
Salman—ayah Quinsha—dan Arind—sang kakak—pun saling berpandangan seolah setuju dengan perkataan Aira.
Siapapun di meja makan akan dapat menebak bahwa tujuan Quinsha adalah menghindari Adrian. Gadis itu masih sedih dengan impiannya yang tertunda sekaligus masih tak ingin mengenali Adrian lebih jauh.
Quinsha terdiam sebentar. “Tapi, Ma. Ini kesempatan. Ananda Cuma ingin ke sana. Lagipula lokasinya juga aman.”
“Kok mama merasa semakin Ananda sekolah tinggi, kemauan Ananda semakin banyak, ya. Itu bagus, tapi apa enggak sebaiknya Ananda pikirkan prioritas? Dalam hidup banyak hal yang penting, tapi kita harus tahu, apa yang harus kita prioritaskan. Biar kita enggak bingung.
“Sama kayak amal ibadah. Cari yang keutamaannya lebih besar tanpa membentur-benturkan amal ibadah yang satu dan lainnya. Sangat bagus bermanfaat untuk banyak orang, tapi jangan lupa, prioritas pertama perempuan adalah di rumah. Jadi istri yang shalihah dan ibu yang baik untuk mendidik anak keturunannya. Karena kita semua akan dimintai pertanggungjawaban untuk apa yang diamanahkan kepada kita." Aira berusaha menatap dan bernada lembut pada anaknya.
Quinsha malah tetap menunduk menghabiskan makan malamnya seolah tak ingin bicara. Sikapnya agak berubah semenjak keinginan S3nya ditunda sang orang tua.
Anehnya, suasana malah berubah tegang. Azka langsung batuk mencairkan suasana.
"Enggak apa-apa, Quinsha ke sana. Lagian kan sama Adrian. Karena Adrian juga tugas di dekat sana."
"Uhukkkkk ...." Quinsha tersedak sebelum menatap Azka dengan bingung.
Tak lama dia beralih ke arah Adrian untuk mencari jawaban. Pria itu pun mengangkat kepala dan meliriknya sebelum mengidikkan bahu seolah tak tahu apa-apa.
"Banyak ular di sana. Memangnya kamu bisa membunuh ular?" ucapnya setengah berbisik yang masih dapat didengar oleh Quinsha.
Gadis itu sampai melotot. "Masakan saya tidak enak. Jangan ikut!" ancamnya dengan ekspresi jahat tapi menurut Adrian itu lucu.
"Tenang, saya ini tentara. Makan daun pun tidak masalah."
Quinsha semakin melotot dengan kesal. Adrian malah menahan tawanya yang ingin pecah.