cover landing

Happily Ever After

By Respati Kasih


“Cantik banget pagi ini. Mau ketemu investor baru?”

Itu adalah kalimat pertamanya di meja makan. Kalimat yang hampir sama setiap harinya. Selalu diselipi dengan kalimat pujian betapa cantiknya wanita di depannya. Tidak ada yang salah kan memuji istri sendiri?

Raina menusuk sosis di piringnya dengan kasar.

“Lipstik kamu merah banget,” tambah laki-laki itu.

Ia menghunuskan tatapannya sambil berkata ketus,“Kenapa? Nggak boleh?”

Lelaki di depannya nyengir, “Boleh. Sejak kapan sih, aku larang-larang kamu?”

Raina membuang napas. Sudah satu bulan sarapannya tidak pernah tenang. Satu bulan setelah menjadi istri Ares. Tidak hanya sarapannya, seluruh hidupnya juga jungkir balik.

“Kalau boleh, nggak usah cerewet!” tandasnya.

“Aku muji kamu, Na. Salah?”

“Kamu bukan muji, tapi kepo!”

“Kamu kalau lagi marah makin cantik, deh.”

Raina melotot. Ia tahu ia cantik. Semua orang mengatakan hal itu. Hanya saja, mendengar pujian dari mulut Ares membuatnya kesal. Ia tahu jika lelaki itu hanya sedang menggodanya—membuatnya semakin marah.

“Aku perempuan keberapa yang kamu bilang cantik?” Raina menurunkan sendoknya, sudah tidak nafsu makan.

Ares mendongak, nampak sedang menghitung, mulutnya komat-kamit. “Entah keberapa. Lupa. Banyaklah pokoknya.” Ares mengakhirinya dengan kerlingan mata.

“Dasar buaya!”

“Kamu istrinya buaya dong?” Ares berkata ringan.

“Sialan!”

“Kamu perempuan, nggak baik bicara gitu,” ingatnya.

Bukan Raina kalau tidak bisa membalas balik. “Kamu katanya nggak larang-larang aku? Lupa?”

“Merasa bebas? Kenapa nggak sekalian kamu pakai rok mini sama kemben ke restoran?”

“Kamu mau istrimu jadi tontonan?” Raina merasa harga dirinya tersinggung.

Ares tersenyum, sebelum berganti seringaian. “Kamu malu pakai pakaian kurang bahan, kan? Tapi kamu nggak malu sama apa yang keluar dari mulut kamu.”

“Jangan sok bener, deh.” Raina mengangkat piringnya. Ia harus segera pergi daripada ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melempar Ares dengan piring di tangannya.

Ares masih tersenyum melihat istrinya yang sudah kesal setengah mati. Ia memang sengaja melakukannya. Ia suka sekali menggoda Raina, membuat wanita itu marah dan mengomel. Ia senang melakukannya, meski apa yang keluar dari mulut Raina tidak pernah manis. Semuanya bernada sinis.

“Aku antar?” tawarnya ketika mereka di dalam lift. Turun ke lantai bawah.

Raina mengeluarkan tabletnya. Memulai aksi bungkamnya.

“Marah banget? Makin cantik,” ulangnya. Raina sudah bosan mendengarnya.

Sialnya, mereka hanya berdua di dalam lift. Ares tentu saja semakin gencar menggodanya. Ia sudah marah sejak tadi. Dan rasanya ia ingin mengeluarkan semua sumpah serapah pada lelaki ini.

Lelaki yang paling disayangi mama. Lelaki yang entah dari mana tiba-tiba datang melamarnya. Raina tidak bisa menolak lamaran itu demi mama. Meski ia sudah berusaha keras membuat Ares mundur. Tapi nyatanya, ia malah menyandang nama Pratama di belakang namanya.

“Nanti pulang jam berapa? Aku jemput, ya?”

“Bisa pulang sendiri,” jawabnya singkat. Ares tidak tulus menawarkan. Jadi buat apa ia menerima basa-basi itu?

“Tapi jangan larut pulangnya.”

“Terserah aku mau pulang jam berapa.”

Lift berdenting. Ares membiarkan istrinya keluar lebih dulu. Ditatapnya punggung Raina sambil tersenyum. Ia mulai terbiasa dengan sikap ketus Raina. Ia juga mempunyai hobi baru, membuat wanita itu marah.

Dari sekian banyak perempuan di dekatnya, ia menjatuhkan pilihannya pada Raina tanpa ragu. Ia memperjuangkan wanita itu hingga berhasil ia miliki.

Raina miliknya?

Sepertinya itu terlalu cepat. Ia sadar jenis hubungan apa yang mereka jalani. Jika mau jujur, ia tahu Raina terpaksa menikah dengannya. Jadi, terlalu egois kan jika ia mengakui hak milik atas Raina?

Sementara Raina entah menganggapnya seperti apa. Sama seperti Raina, ia juga berusaha untuk memberi batasan. Bukannya ia tidak mau berusaha, ia sudah maju berkali-kali dan dipaksa Raina untuk mundur.

Raina belum mencintainya. Dan mungkin tidak akan pernah.

***

“Ares bikin masalah lagi?”

“Tiap hari dia bikin gue kesel. Lama-lama bukannya berhenti, malah makin parah.”

“Asal nggak selingkuh aja sih.” Maya tertawa pelan.

Masih pagi. Restoran buka setengah jam lagi. Maya masih merekap keuangan bulan lalu ketika Raina datang. Maya ini sahabatnya sejak kecil. Jadi, ia juga memercayakan keuangan restoran pada Maya. Kadang, saking telitinya, Maya sampai duduk di meja kasir. Raina tidak melarangnya.

“Bodo amat. Mau jungkir balik juga gue nggak peduli. Suka-suka dia,” balas Raina kesal.

“Gue kalau jadi lo, Ares bakal gue kekepin terus. Biar nggak bisa lirik-lirik perempuan lain,” goda Maya

“Buat lo aja,” bantah Raina lagi.

Maya meraup wajahnya. “Ngaco! Kalau lo bukan sahabat gue, Ares udah gue tikung sejak awal.”

“Nih ya, gue kasih tahu. Lo jangan gampang ketipu sama modelnya Ares. Cari suami yang tegas, nggak selengean kayak dia.”

Maya mencebikkan bibir. “Gue dulu pernah kerja di kantornya Ares, kalau lo lupa. Dan gue sedikit ngerti gimana sikap dia.”

“Halah, bisanya dia aja pasang topeng di depan umum. Lo kalau lihat aslinya gimana juga mending nggak kenal dia.”

“Susah deh kalau ngomong sama hater-nya Ares.” Maya tertawa, mengalah.

“May, lo bisa kan gantiin gue ketemu investor?”

Maya mengangkat wajahnya, “Kenapa?”

“Ganjen. Gue risih. Lo aja ya? Lo kan jomblo. Siapa tahu bisa sepik-sepik.”

“Lo mau jual gue? Tega lo!” Maya memasang mimik wajah yang seakan merasa dikhianati.

“Nggak, bukan itu. Masalahnya, dia ngotot ngajak ketemunya di kafetaria kantornya Ares. Gue males ketemu Ares.”

“Ya bagus kalau ketemu Ares, lo nggak bakal digodain sama investor itu.”

Maya sengaja bebal. Kembali sibuk dengan kalkulator.

***

Raina terpaksa menginjakkan kakinya di kantor Ares yang tinggi menjulang itu. Entah berapa lantai, ia tidak peduli. Ia juga tidak perlu memasang wajah ramah. Di kantor ini tidak ada yang mengenalinya sebagai istri pimpinan perusahaan. Ares tidak mengundang satu pun karyawannya ke resepsi mereka. Pernikahan mereka sederhana dan tertutup. Tentu saja atas kemauan Raina.

Jadi, ia tidak heran ketika ia mendengar suara berisik dari meja di belakangnya.

“Pak Ares makin ganteng, sumpah. Istrinya menang banyak pasti!”

“Gue penasaran istrinya kayak apa. Kalau jelek kan, bisa kali Pak Ares gue tikung. Hahaha.”

“Istrinya pasti cantik. Pak Ares itu seleranya tinggi. Lo nggak lihat siapa aja perempuan yang datang ke ruangannya?”

“NGAPAIN?!”

“Ya mana gue tahu! Hihihi.”

“Huss! Pak Ares nggak mungkin aneh-aneh. Dia lelaki paling sopan yang gue kenal.”

“Lelaki normal, ganteng, banyak duit. Masak nggak player, sih?”

“Pernah lo dimarahin sama dia kalau kerjaan lo salah? Nggak, kan? Cuma suruh perbaiki. Itu juga pakai nada yang lembut. Tuh, Pandu barusan kena semprot. Cuma salah dikit padahal. Banyakan salah lo yang fatal kemarin.”

“Nah kan! Itu bukti kalau dia player. Pecinta kaum perempuan!”

“Udah. Jam segini biasanya Pak Ares turun makan siang. Jadi mending diem, fokus sama makanan.”

Telinga Raina kembali bersih setelah obrolan para karyawan perempuan yang rumpi di belakangnya berhenti. Telinganya berdenging. Dan orang yang ditunggunya tidak kunjung datang.

Ares memang muncul di pintu kafetaria semenit kemudian, ketika jam makan siang tinggal lima belas menit. Ares melangkah masuk dengan kedua lengan kemeja yang digulung sampai siku. Dasinya ia tanggalkan entah di mana. Juga rambutnya yang terlihat basah.

Sekembalinya dari masjid samping kantornya, Ares masuk ke kafetaria ketika ekor matanya menangkap sosok Raina duduk di salah satu bangku. Bukannya menyapa, ia tetap melangkah ke buffet. Mengambil makan siang secukupnya. Jam makan siangnya hampir habis. Meski ia pimpinan, ia tidak boleh memberi contoh yang jelek.

Mungkin investor yang ingin bertemu Raina kebetulan karyawan di sini. Ia dengan mudah menyimpulkan kenapa Raina ada di kantornya.

Tidak akan ada yang mengenali Raina di sini. Karena istrinya itu tidak mengenakan cincin yang sama persis dengan yang ia pakai. Lebih baik begitu, jadi hidup Raina tetap kondusif tanpa teror-teror recehan.

Lagi pula, yang terpenting semua orang tahu kini ia sudah menikah. Tidak akan ada lagi perempuan yang datang mengemis cinta padanya. Atau paling parah, perempuan datang mengaku telah dihamili olehnya. Itu tidak masuk akal. Ia tidak pernah menyentuh siapa pun. Bahkan, ia tidak pernah menyentuh Raina.

***

“Tadi jadi ketemu sama investornya?” tanya Ares diselipi dengan nada jahil seperti biasanya.

“Jadi,” ia menjawab sambil menatap layar ponselnya. Ares duduk di sampingnya dan menyalakan TV.

“Siapa namanya? Siapa tahu aku kenal.”

Daripada panjang, Raina mengalah menjawab, “Bimo.”

Ia salah sangka jika menganggap Ares akan diam setelah dijawab. “Bimo? Kalian udah deal?”

“Udah.”

“Kamu digodain Bimo?”

Raina menoleh, “Kamu lihat?”

“Cuma nebak. Kamu hati-hati sama dia, ya.”

“Nggak kebalik? Bukannya aku yang harus hati-hati sama kamu?” Riana hampir berseru senang melihat Ares terdiam.

Hening. Sampai Ares kembali bersuara, “Nggak, maksud aku, Bimo itu punya track record buruk. Aku belum nemu aja celahnya dia, begitu nemu bakal aku pecat."

“Itu urusan kamu. Dia mau invest di restoranku, bukan urusan kamu,” tolak Raina.

“Iya. Aku cuma bilang hati-hati. Nggak ngelarang kamu mau terima invest dia apa nggak. Toh, udah deal juga, kan?” Ares mengambil jeda, “Kamu dari pagi marah terus. Lagi PMS, ya?”

Sebuah bantal sofa dipukulkan ke tubuhnya. Membabi buta. Ares semakin yakin dengan dugaannya. Namun ia membalas dengan licik. Satu tangannya ia gunakan untuk menghalau serangan bantal itu, sementara tangannya yang bebas berhasil merengkuh pinggang Raina. Dalam sekali gerakan, ia berhasil menarik tubuh Raina jatuh ke atas tubuhnya.

“Kamu cari kesempatan, hah?!” Raina berusaha lepas tapi kedua tangan Ares yang melingkari punggungnya.

“Kamu sekali-sekali perlu dicium biar nggak pedes mulu kalau ngomong.” Ares tersenyum jahil.

“Lepas nggak!!”

Ares justru menyusupkan kedua tangannya ke dalam kaos Raina. Mengusap punggung istrinya yang halus.

Sebelum ia hilang kendali, ia segera mengajukan syarat. “Aku lepas, tapi besok pagi aku antar ke restoran, ya?”

Dengan sewot Raina mengangguk cepat. Ia hendak bangun, namun tangan Ares masih menahannya.

“Cium dikit boleh?”

“Mimpi!!”

Ares terbahak. Raina yang berhasil lepas langsung melangkah lebar ke kamarnya. Tanpa menoleh ia berteriak, “Sana ciuman sama kulkas!”

Lihat, kan? Hubungan mereka memang absurd.

Lebih absurd lagi karena mereka tidur di kamar yang berbeda. Raina menerima lamarannya dengan mengajukan perjanjian pra-nikah. Ares tidak keberatan sama sekali. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu mertuanya.

***

Raina menggerutu sepanjang perjalanan ke restorannya. Lupakan soal Ares yang menggodanya semalam. Lupakan jika ia juga menikmati usapan tangan Ares di punggungnya. Lupakan!!!

Sekarang ia harus konsentrasi menyetir dan memarahi Ares. “Jadi gini kan maksud kamu? Bilang aja dari semalam kalau aku bakal dijadiin sopir kamu!”

“Kan aku udah jelasin, Na. Sekretaris aku baru ngirim laporannya tadi jam enam. Mana jam delapan buat meeting.”

“Ya kan bisa dikirim dari semalem!” Raina tidak mau kalah. “Kamu tuh terlalu manjain karyawan perempuan tahu nggak? Kalau salah ya dimarahin, kalau lelet ya dikerasin.” Ia jadi teringat dengan apa yang ia dengar di kafetaria kemarin.

Ares memijat pelipisnya. Ia harus memecah konsentrasi antara mempelajari berkas di tangannya dan menerima semua kemarahan Raina.

“Sekretaris aku baru aja cuti melahirkan, Raina. Untung dia sempet kirim file-nya sebelum air ketubannya pecah.” Ares menyempatkan diri tertawa. Tanpa melihat Raina yang wajahnya memerah menahan kesal.

Memang dasarnya Raina yang sedang kesal. Ia tidak sudi menjadi sopir Ares hingga sampai kantornya. Jadi dengan kejam ia menepikan mobil Ares begitu sampai di depan restorannya.

Raina tanpa berkata langsung turun dari mobil. Begitu juga dengan Ares yang tidak sempat melemparkan godaan seperti biasanya. Ia bahkan keluar untuk berpindah posisi sambil membaca berkasnya.

Ares luput menyadari jika ada sepeda motor melaju kencang melewatinya. Ia yang gagal menghindar, akhirnya jatuh ke aspal dengan lengan kiri sebagai tumpuan. Orang yang menyerempetnya sudah kabur. Toh kalau orang itu meminta maaf pun, ia tidak akan meminta ganti rugi. Beberapa orang mendekat, membantu ia berdiri. Ada yang menawarkan untuk mengantar ke rumah sakit, tapi ia menolak. Lukanya hanya ringan, bisa diobati nanti-nanti. Yang penting ia harus segera sampai ke kantor.

Orang-orang yang tadi mengerumuninya sudah bubar. Dengan satu tangannya ia mengambil kertasnya yang berhamburan tadi. Ia kemudian mendongak, berharap jika Raina masih ada di sana. Setidaknya. Setidaknya, jika wanita itu peduli padanya. Setidaknya, wanita itu masih berdiri di sana. Tapi tidak ada siapa pun.

Ares mengesampingkan perasaan itu. Ia membawa mobilnya ke kantor. Memaksa tangan kirinya untuk ditekuk, dan ia harus menahan rasa nyeri yang luar biasa.

Ia menyamarkan lukanya dengan memakai jas. Mengusap keringat yang memenuhi wajahnya, juga darah yang mengalir turun ke telapak tangannya. Ia hanya harus menahannya selama dua jam ke depan. Tidak masalah.

***

“Ada kecelakaan?” tanya Maya.

“Hah?”

“Rame-rame di depan. Ada yang kecelakaan?” Maya mengulangi setelah melihat wajah Raina yang melongo.

“Ares kesenggol motor tadi,” jawab Raina kelewat enteng.

“Malah lo tinggal masuk? Harusnya langsung anter ke rumah sakit!” Maya frustasi sendiri.

“Ya salah dia sendiri nggak hati-hati kalau jalan,” Raina malah menyalahkan. “Tadi juga udah ada bapak-bapak yang nawarin nganter ke rumah sakit, kok. Ares nggak mau. Ya udah. Gue antar paling juga nggak mau.”

“Stres gue,” sahut Maya yang sama sekali tidak mengerti jalan pikir sahabatnya itu.

Raina mengangkat bahu cuek dan melangkah ke ruangannya.

Eh, tapi kalau Ares kenapa-kenapa gimana?

Dia udah gede. Udah bisa mikir sendiri. Kalau sakit juga tahu harus ke mana. Jadi ia tidak perlu khawatir.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia langsung menyambarnya.

Tidak ada balasan lagi. Tak lama, nama lelaki itu muncul di layar ponselnya.

“Apa?”

“Tadi pagi belum sempet godain kamu. Lagi apa?”

Raina menyesal telah mengangkat panggilan Ares.

“Aku sibuk. Udah ya?”

“Tunggu...”

“Apalagi?”

“Kalau tadi aku mati di sana, kamu juga nggak peduli?”

“Yang ada aku langsung tumpengan.”

Terdengar suara tawa di ujung sana. “Lucu? Kamu suka?” sahut Raina. Dengar, kan? lelaki ini bahkan masih bisa tertawa. Artinya ia memang tidak apa-apa.

“Jadi pengen lihat kamu langsung. Kamu kalau marah kan gemesin.”

“Sinting!” Raina memutus sepihak, kemudian melempar ponselnya ke sofa dengan kesal.

***

“Kamu nggak sekolah?” Segala hal yang berhubungan dengan Ares, ia mendadak jadi sensi.

“Pulang pagi, Mbak. Gurunya rapat. Berhubung restoran Mbak dekat, ya aku mampir deh. Minta makan.” Dee nyengir lebar. Persis seperti Ares.

“Di ruangan ini nggak ada makanan. Sana keluar,” usirnya.

“Mbak pulang jam berapa?” Dee masih bertahan di sana.

Raina tetap fokus ke layar monitor yang menampilkan sebuah video masakan. “Kenapa?” tanya Raina datar.

“Nebeng dong, Mbak. Ya ya ya?” rengek Dee.

“Suruh jemput Masmu aja sana. Mbak pulang sore. Kamu naik busway bisa, kan?” tolak Raina kepada keponakan Ares itu.

“Tadi lupa bawa uang saku lebih,” jawab Dee banyak alasan.

Raina menyipitkan mata, ia tahu Dee berbohong. Tapi ia tetap saja mengeluarkan selembar ratusan ribu dari dompetnya.

“Sana keluar, minta makan ke Mbak Maya. Terus pulang ke rumah. Jangan mampir-mampir,” pesannya.

Dee menerima uang itu dengan berbinar, hanya sebentar kemudian, “Ih, kok cuma satu? Mas Ares biasanya kasih lima lembar.”

Raina menggertakkan giginya. Umur berapa sih gadis ini? 16 tahun, kan? Kenapa ia sudah semenyebalkan ini? Persis sekali dengan Ares yang selalu membuatnya kesal.

“Mbak bahkan nggak dikasih uang sama Masmu itu! Eh, kamu tiap nongol minta uang.”

“Nggak minta, tapi dikasih,” ralat Raina.

Iya, terserah!

“Mbak mau aku ceritain tentang Mas Ares?”

Raina pikir gadis itu sudah pergi dari ruangannya. Dee malah menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Raina, terpisahkan oleh meja.

“Nggak minat,” tolak Raina malas. Malas meladeni Dee yang tak ubahnya bayang-bayang Ares.

“Mbak nggak penasaran sama mantan-mantannya Mas Ares?”

“Nggak,” tambah Raina lagi.

“Mantan-mantannya Mas Ares itu cantik semua. Tapi sejauh ini Mbak sih yang paling cantik. Iya paling cantik sih, tapi juga paling galak.” Walaupun Raina menolak, nampaknya gadis itu tetap saja ngotot menceritakan hal tentang Ares. Mau dilarang pun, Dee tetap bercerita. Jadi ia pasrah saja.

“Jujur aja ya, Mbak. Aku sejak awal nggak setuju kalian menikah. Tapi lihat Mas Ares bahagia, aku nggak mungkin ngehalangi. Jadi, Mbak nggak boleh ya nyakitin Mas Ares!”

Tahu apa sih anak kecil ini?

“Kalau Masmu yang nyakitin Mbak, gimana?”

“Nggak akan!” serunya tidak terima. “Ya kalau pun itu terjadi... pasti Mbak punya salah.”

Raina sedikit melongo. Hebat sekali gadis remaja ini. Pasti ada campuran gen dengan Ares. Mereka pintar mengaduk emosinya.

Pintu terbuka, Maya muncul dari sana.

“Kebetulan lo ke sini, May. Bawa Dee keluar. Kasih makan.”

“Dee, keluar yuk? Emaknya singa bentar lagi nyakar kamu,” balas Maya sambil cekikikan.

Raina melempar satu flat shoes-nya, namun hanya mengenai daun pintu yang sudah menutup.

***

“Dee tadi ke restoran kamu?” tanya Ares.

“Dia ngadu apa aja?”

“Cuma bilang kalau kamu kasih uang, terus makan.”

Raina masih membaca majalahnya. Ia lebih dulu pulang ke rumah. Ares baru saja pulang ketika jam menunjukkan pukul delapan.

“Maklumin ya, kalau dia ngeselin. Tante Fatma juga udah pasrah. Padahal dulu Dee itu gemesin banget,” pinta Ares.

“Kenapa bisa berubah gitu?”

“Sejak orang tuanya berpisah, lalu Om Danu memutuskan menikah lagi. Dee jadi beda,” jelas Ares menceritakan kisah kela di balik sifat Dee yang berubah.

“Termasuk soal Dee yang ngerokok?”

“APA?” Ares benar-benar terlihat terkejut.

Raina menurunkan majalahnya dan tanpa sengaja melihat lengan kiri Ares yang sudah dibebat.

“Kamu nggak tahu?” Raina menyeringai. Yang ia tahu, Ares ini protektif terhadap Dee.

“Kamu lihat dia ngerokok?”

“Aku nyium bau tubuhnya,” jawab Raina.

“Mungkin karena tadi dia—”

“Dia dari sekolah jalan kaki ke restoranku. Nggak naik busway. Tadi dia juga bolos sekolah.” Raina puas melihat wajah Ares yang pias.

***

Satu jam berlalu sejak Ares pergi dan tahu-tahu pulang ke apartemen dengan membawa serta Dee.

Raina memilih menyingkir ke dapur.

“Duduk, Dee,” perintahnya. Ares menarik kursi ke dekat jendela. Gordennya tersibak. Memperlihatkan pendar cahaya gedung di malam hari.

“Tangan Mas kenapa?”

“Jatuh.”

“Jatuh di mana?” Dee sungguhan khawatir. Ia sejak tadi tidak menyadari ada yang aneh dengan tangan Ares.

“Kamu belajar ngerokok dari siapa?” tanya Ares berbalik tanpa menjawab pertanyaan Dee sebelumnya.

“Apa?”

Raina benar. Ares selama ini kecolongan.

“Sejak kapan kamu ngerokok?”

“Mas!”

“Jujur sama Mas!” Ares berkata tegas.

Dee menunduk, memainkan kukunya.

“Kamu mau bohongin Mas?” Ares merunduk di depan Dee, menggunakan satu kaki sebagai tumpuan.

“Aku nggak maksud bohongin Mas!” balas Dee.

“Tapi kamu bohong ke Bunda!”

“Bunda nggak akan tahu kalau Mas nggak ngadu!” Dan inilah bentuk defensif yang bisa dilakukan remaja tanggung seperti Dee.

“Lihat Mas. Apa pernah kamu lihat Mas ngerokok, Dee?”

Dee menggeleng.

“Kamu perempuan, Dee. Kalau kamu lelaki dan ngerokok, Mas nggak akan semarah ini.”

Raina sebenarnya malas melihat drama dadakan begini. Tahu gitu kan tadi mending ia menyingkir ke kamar. Bukannya menonton drama ini.

“Temenku juga banyak yang ngerokok, kok. Mereka juga perempuan, Mas! Tapi kenapa aku dihakimi begini?” Dee mulai terisak.

Ares ingat, dulu Dee hanya menangis untuk hal-hal kecil. Bukan untuk masalah seberat ini. Dee bukan lagi gadis kecil yang lugu. Gadis di hadapannya bahkan tumbuh menjadi gadis yang cantik. Tapi ia tidak pernah mengira jika pergaulan Dee akan sejauh ini. Dan ia segera membuang pikiran buruknya jika Dee dibiarkan begini.

“Bunda kerja buat kamu, Dee. Jangan marah sama Bunda, marah aja ke Mas. Karena Mas juga udah pergi dari rumah.” Tangisan Dee semakin kencang.

“Kenapa semua orang egois? Papa pergi, Mama juga jarang di rumah. Mas malah ikutan pergi dari rumah,” teriak Dee dengan napas yang tersengal menahan tangis.

“Jadi begini cara kamu ngehukum Mas? Setelah ini, apa lagi, Dee? Kamu bikin Mas kecewa.”

“Aku cuma pengen semuanya balik kayak dulu.”

Ares bangkit dan memeluk Dee.

“Dee, kamu bukan anak kecil lagi. Kamu udah ngerti gimana semua hal nggak mungkin sesuai keinginan kita. Mas minta maaf.”

Dee terdiam.

“Kamu berhenti ngerokok atau nggak bisa lihat Mas lagi?” Ares memberi pilihan.

“Aku janji nggak akan ngerokok lagi,” ucapnya di sela tangis.

***