Rose menatap lagi foto yang dipasang temannya di media sosial dengan caption ‘Sister’s Engagement Day’. Foto itu sudah diposting sebulan yang lalu. Namun, Rose masih saja sering terpaku menatapnya. Ia memperbesar gambar tersebut untuk menatap lelaki yang sedang tersenyum mengenakan jas sewarna buah persik dipadu kemeja putih sebagai dalaman dan dasi kupu-kupu senada dengan jas sebagai pelengkap.
Jika ada yang berubah dari lelaki itu, maka Rose pikir hanya warna kulitnya yang tidak segelap dulu. Lelaki yang mempunyai julukan sebagai “Captain” saat SMA itu adalah satu-satunya lelaki yang mampu membuat Rose jatuh cinta. Setelah satu dekade tak bersua, rasa itu masih bersemayam dalam hatinya.
Sejak memilih meninggalkan Jakarta, dan hidup bersama ayahnya di Paris, Rose memutus segala komunikasi dengan segala hal yang berhubungan dengan masa lalunya. Katakan saja bahwa ia lari karena ia memang tidak bisa menghadapi kenyataan pahit yang hanya melukai hatinya. Ia yang dulu memang seorang pengecut yang memilih pergi daripada dihadapkan dua pilihan yang sulit. Namun, ia bukan lagi Rose yang dulu.
Rose meletakkan ponselnya di meja dengan linen krem bergaris sebagai penutup. Cappucino di cangkir putih yang sejak tadi dianggurkan, baru dicicipi oleh perempuan berambut cokelat ikal itu. Tatapannya terangkat pada jalanan di depan kafe. Dari sana bisa ia lihat menara sepertiga dari puncak menara kenamaan di Paris. Kedua tangannya di atas meja masih menempel pada cangkir yang sudah dingin. Kemudian ia menoleh pada pohon yang nyaris gundul setelah daunnya yang kering berjatuhan. Jika ada yang akan ia rindukan dari Paris, mungkin itu adalah musim gugur.
Di tengah keheningannya menyaksikan dedaunan, Rose tersentak saat pipinya merasakan kecupan dari bibir yang terasa dingin. Rose menoleh menatap lelaki yang telah berdiri di sampingnya sambil tersenyum. Lelaki itu adalah Louise, seseorang dengan mata biru keabu-abuan, yang menemani Rose selama empat tahun terakhir.
“Allo, Ma Cherie,” sapa Louise.
Rose hanya tersenyum kecil sebagai sambutan. Matanya mengekori Louis yang mengambil tempat pada kursi di depannya.
Sebagai seorang Asisten General Manager di salah satu hotel berbintang lima, Louise adalah orang yang sibuk. Sangat jarang ia dan Rose bisa berkencan. Namun, ia bukan seseorang yang peduli pada kuantitas, melainkan lebih fokus pada kualitas. Sementara Rose yang memang hanya menjadikan Louise sebagai pelarian merasa lebih nyaman dengan jarangnya mereka bertemu.
“Ada apa? Tumben sekali kamu memohon untuk bertemu denganku seperti ini,” ucap Louise, meraih satu tangan Rose dan menggenggamnya. “Tanganmu dingin. Harusnya kamu memakai kaos tangan,” gumamnya.
Tidak ada jawaban ataupun tanggapan dari Rose kepada Louise. Perempuan itu hanya menatap tangannya yang kini digenggam oleh Louis. Dingin, itulah anggapannya pada hubungan yang ia miliki dengan Louise. Tidak ada getaran yang bisa diciptakan oleh lelaki itu dalam hatinya. Bukan berarti Louise itu buruk sebagai pacar. Sebaliknya, lelaki itu memberi Rose lebih dari yang pantas perempuan itu dapatkan.
Louise adalah lelaki romantis yang diimpikan banyak perempuan. Ia rutin mengirimkan bunga dengan kartu kata-kata yang manis pada Rose. Saat perayaan tahun kedua mereka, Loise bahkan membawa Rose ke Jules Verne yang ia booking setahun sebelumnya. Louise yang suka bersosialisasi lebih sering menghabiskan waktu berdua dengan Rose di apartemennya. Memasak untuk perempuan itu dan menonton DVD bersama karena ia tahu bahwa Rose tidak menyukai keramaian.
Rose tahu bahwa bagi Louise kebahagiaannya adalah yang utama. Hal itu yang kadang membuatnya merasa bersalah, tetapi hal itu juga yang membuatnya sukar untuk melepaskan Louise. Lelaki itu seperti tembok yang melindunginya. Namun, tembok tetaplah tembok. Rose memiliki mimpi, dan mimpi itu berada di luar sana. Bukan dengan Louise.
“Ada apa?” tanya Louise lagi, menelengkan kepala untuk menatap wajah Rose yang tertunduk.
Rose mengangkat pandangannya hingga tatapannya bertemu dengan Louise. “Aku akan pulang ke Jakarta.”
Louise tersenyum, lantas membalas, “Aku senang mendengarnya, Belle. Kamu akhirnya mau bertemu ibumu.”
Perkataan Louise tidak salah. Begitu Rose di Jakarta, maka ia akan bertemu dengan ibunya. Berdamai dengan masa lalu. Namun, bukan itu alasan utamanya.
“Aku akan menetap di Jakarta, Lou. Mulai hari ini aku tidak masuk kerja lagi. Aku sudah mengajukan resign sebulan yang lalu,” papar Rose.
Pegangan Louise di tangan Rose mengendur. Bisa Rose lihat senyum yang sejak tadi terpasang di wajah lelaki itu memudar.
“Jadi kita akan LDR, begitu?” tanya Louise. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan dari mulut. “Tidak apa-apa, di sini pun kita kadang hanya bertemu sekali seminggu. Tidak akan ada bedanya.”
Rose menarik tangannya dari genggaman Louise, lalu menyampirkan rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga. Ada peperangan di batinnya, tetapi ia sendiri pun sudah tahu sisi mana yang akan menang.
“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita, Lou. Aku minta maaf,” ucap Rose tanpa menatap Louise.
Bibir Louise terbuka seperti ingin berbicara, tetapi seolah-olah ada yang menahan suaranya di tenggorokannya. Empat tahun yang ia lewati dengan Rose adalah hal terindah yang pernah ia miliki. Mungkin hubungan mereka bukanlah hubungan panas yang menggebu-gebu seperti yang lain, tetapi ada perasaan yang ditimbulkan oleh Rose yang belum pernah ia rasakan dengan perempuan mana pun.
“Lou, kamu lelaki yang baik. Aku ....”
Louise menggeleng-geleng. “Jangan, jangan ... kalau aku lelaki yang baik, kamu tidak akan meninggalkanku,” potongnya.
“Tidak, kamu memang baik. Aku yang tidak baik, dan kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku."
“Alasan klise, Belle,” ucap Louise, lalu tersenyum. “Aku bahagia denganmu selama empat tahun ini. Aku tahu kita bukan pasangan yang sempurna, tapi hubungan itu seharusnya saling melengkapi. Dan aku berusaha, selalu berusaha.”
“Itulah masalahnya, Lou. Selama ini hanya kamu yang berusaha, dan sudah saatnya kamu beristirahat dan mengusahakan sesuatu yang lebih pasti,” tegas Rose. “Kamu benar, hubungan itu saling melengkapi. Dan kamu tidak akan pernah bisa melengkapiku.”
Louise menyandarkan punggungnya di kursi dengan kedua tangan terkulai di atas paha. Matanya mengerjap-ngerjap dan wajahnya tampak sangat terpukul mendengar ucapan Rose.
“Aku sangat mencintaimu, tapi kamu belum melupakan lelaki itu,” desis Louise. “Bahkan setelah semua yang aku lakukan, kamu tidak pernah membiarkanku masuk ke dalam hatimu,” imbuhnya.
“Aku sudah mencoba, Lou. Empat tahun aku memberimu kesempatan, tapi sedikit pun kamu tidak bisa menggantikannya di hatiku,” papar Rose.
“Karena kamu tidak pernah membuka hatimu untukku,” tekan Louise sambil menekankan satu telunjuknya di meja. “Tapi kamu sudah memilih, aku akan menghargainya karena kamu benar kalau salahnya bukan padaku. Empat tahun ini adalah empat tahun terbaik yang pernah aku miliki, Belle.”
Louise berdiri dan mendorong kursinya. Rose mendongak menatap lelaki yang tersenyum padanya itu.
“Merci,” ucap Louise sambil menundukkan kepala sedikit, lantas berlalu dari tempat itu. Alih-alih mengucapkan pisah, ia lebih memilih berterima kasih atas luka yang perempuan itu torehkan kepadanya.
Rose terdiam di tempatnya, diselimuti rasa bersalah pada Louise. Namun, ia telah bertekad untuk melepaskan segalanya demi mengejar apa yang ia inginkan.
Sementara Rose masih duduk di kursinya dengan tatapan tertunduk, Louise telah menjauh dari kafe yang berada empat blok dari hotel tempatnya bekerja. Ia sempat berhenti, menoleh sebentar pada Rose yang terlihat tidak memedulikan kepergiannya. Sambil melanjutkan langkah, ia sesekali menetap pohon yang kehilangan daunnya. Ia adalah dedaunan yang terbang terbawa angin dari pokoknya.
Louise masih ingat hari itu, saat dedaunan kecokelatan, ia tidak sengaja menabrak Rose yang membuat desain-desain baju milik perempuan itu berhamburan, bahkan sebagian melayang terbawa angin. Klise, bukan? Terdengar seperti pertemuan pertama tokoh utama dalam roman picisan. Louise pernah berharap bahwa ia dan Rose benar-benar tokoh dalam cerita itu. Dan hari ini, harapannya pupus.
Dulu Louise menyukai musim gugur yang mempertemukannya dengan Rose. Namun, untuk sementara ia akan membenci musim yang penuh sendu itu.
*.*.*.