cover landing

Fruktosa

By Tika Mener


Saudara Poppy Atmarini, S.Tr.Gz

Kami mengucapkan terima kasih atas waktu dan kesediaan saudara dalam mengikuti rangkaian acara penerimaan calon pegawai di perusahaan kami. Dari hasil seleksi, kami memutuskan bahwa saudara BELUM BISA diterima sebagai bagian dari perusahaan. Silakan mencoba lagi, pada kesempatan berikutnya.

Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Sekian

 

PT. Jasa Boga Bahari

 

"Oke, kali ini belum bisa."

Gadis manis berperawakan tinggi itu menutup akun email dan memutus koneksi internet. Ia lalu membaringkan tubuh dalam kamar indekosnya yang berukuran tiga kali tiga meter persegi, sembari mengarahkan pandangan pada langit-langit kamar. Belum bisa, belum beruntung, gagal, dan tidak lulus adalah kata-kata yang menemaninya beberapa bulan ini terkait dengan lamaran pekerjaan. Itu belum termasuk dengan lamaran yang terbengkalai atau tanpa jawaban sama sekali. Menurut Becca–rekan satu indekos Poppy–hal tersebut ibarat hubungan tanpa kepastian, 'Statusnya temen, tapi manggil sayang!' walau saat mengatakannya, Becca memang tengah curhat dengan Poppy.

"Huh, nyoba di mana lagi, ya?" Gadis itu menghela napas berat.

Poppy ingat, dirinya sempat optimis bakal diterima menjadi tenaga honorer oleh salah satu instansi kesehatan milik pemerintah beberapa minggu lalu. Namun, saat tidak sengaja mendengar percakapan dari balik bilik toilet, harapannya seketika sirna.

Aku sih yakin bakal keterima, soalnya om aku kepala bidang di sini.

Aku udah keluar lima belas juta loh, pasti diterima juga kan?

Begitulah kira-kira obrolan yang Poppy dengar. Gadis-gadis itu bahkan dengan bangganya memamerkan perbuatan tercela yang mereka lakukan, bahkan di tempat siapa pun bisa mendengarnya. Poppy juga tidak habis pikir, padahal pemerintah semarak menegakkan sistem antikorupsi, tetapi masih ada saja oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang dengan sadar mencoreng nama baik instansi tempat mereka bekerja.

Dunia kerja memang sungguh kejam. Ingin rasanya Poppy kembali ke masa-masa sekolah. Di mana hal paling rumit yang ia hadapi hanya seputar Matematika, materi Integral Trigonometri, dan turunannya. Saat itu Poppy sempat berpikir, tak ada hal yang lebih sulit lagi selain menjawab persoalan tersebut. Namun, ia salah. Setelah pemikiran panjang untuk menghindari Matematika dengan berkuliah di salah satu studi ilmu kesehatan, ternyata Statistika dan beberapa metode perhitungan lain tetap Poppy temui, meski tidak sebanyak saat sekolah. Sekarang, saat sudah lulus kuliah dengan indeks prestasi yang cukup membanggakan, mencari kerja membuat Poppy kembali hampir menangis menghadapinya.

Walau menghadapi kesulitan, syukurnya, untuk kebutuhan sehari-hari serta bayar indekos, gadis itu tidak terlalu pusing memikirkan. Ia mengelola bisnis penjualan sayuran organik kecil-kecilan. Ibu pemilik indekos atau tetangga sekitar rumah yang sesekali ingin mencoba sayuran bebas pestisida adalah pelanggan Poppy. Dalam urusan dagang, usaha Poppy juga tak serta merta lancar. Terkadang ia harus bersaing dengan tukang sayur kompleks, yang siap dengan jurus andalannya, bayarnya boleh bulan depan, Bu!’. Kalau sudah begitu, Poppy hanya bisa tersenyum getir. Ia tak mungkin menyaingi si tukang sayur. Jika harus memberi utangan, bisnis Poppy dijamin bakal segera gulung tikar. Gadis itu mematok harga standar sayuran organik, jauh lebih murah dari harga di supermarket. Hanya sedikit keuntungan, yang penting sayurannya terjual.

Sayuran yang Poppy jual adalah hasil tanaman sendiri. Berbekal ilmu yang ia pelajari dari kedua orang tuanya–yang notabene petani sukses–juga izin serta dukungan penuh dari ibu pemilik indekos, gadis itu mengolah balkon paling atas rumah indekosnya menjadi sebuah perkebunan mini. Ada beberapa tanaman sayur yang ia rawat, seperti selada, tomat ceri, seledri, daun basil dan mint, juga beberapa tanaman jenis umbi-umbian.

"Nak, Poppy! Ada tomat kecil sama selada seger nggak? Ibu-ibu PKK mau beli buat bikin salad!" teriak ibu pemilik indekos yang tak asing membahana. Membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.

"Kayaknya ada, Bu! Bentar Poppy ambilin ya!" balas Poppy setelah buru-buru keluar kamar dari beranda di lantai dua.

Wajah Poppy berseri-seri saat menaiki tangga menuju balkon. Rejeki datang tepat pada waktunya.

Nggak boleh terus malas-malasan, Pop! Ayo, cari duit! Gadis itu membulatkan tekad.

Poppy tidak ingin memberi beban lagi kepada orang tuanya. Sudah cukup ia menyusahkan ibu dan bapak, apalagi biaya sewaktu kuliah kemarin tidaklah sedikit. Poppy juga masih memiliki dua adik usia sekolah. Walau orang tuanya cukup berada dan tidak pernah mengeluh, serta selalu berusaha semaksimal mungkin memberi yang terbaik kepada anak-anak mereka, tetap saja Poppy merasa sudah saatnya ia tidak boleh lagi bergantung pada keduanya. Sudah waktunya ia berjuang sendiri. Sekecil apa pun, sebuah usaha pasti membuahkan hasil.

Selama kita hidup, selama itu juga kita tidak boleh berputus asa dalam segala hal.

***

"Job Fair?" tanya Poppy yang hanya dijawab anggukan ringan oleh satu-satunya sahabat baik di indekos—yang sudah lebih dari lima tahun ia tinggali .

"Yap! Di gelanggang olahraga kota. Pergi bareng ya, Pop?"

Becca kembali mengutak-atik ponsel pintarnya setelah menunjukkan sebuah banner pengumuman dari salah satu aplikasi sosial media.

Sore ini Poppy dan Rebecca tengah bersantai di balkon. Menikmati semilir angin, dedauan hijau yang bergoyang pelan, sembari menyantap salad hasil kreasi ibu-ibu PKK yang ternyata sangat lezat. Setelah menambahkan secara gratis beberapa batang seledri pada belanjaan para ibu, Poppy tidak menyangka bakal disuguhi makanan saat acara arisan selesai. Tidak hanya salad, beberapa macam kue serta olahan buah yang dijadikan minuman juga mereka hantarkan. Anak indekos macam Poppy tentu saja bahagia sekali mendapat rezeki melimpah seperti ini, apalagi kalender sudah melewati angka dua puluhan.

"Kapan sih acaranya?" tanya Poppy lagi. Setelahnya, menyuap sesendok penuh salad ke dalam mulut.

"Lusa. Mau, ya? Siapa tahu ada kerjaan yang cocok, kalo nggak dapat kerjaan yah ... minimal dapat gebetan gitu," bujuk Becca lagi, yang langsung mendapat lirikan dari Poppy.

"Kakak mah, sambil nyelem minum air! Jadi tujuan sebenarnya ke job fair itu apaan?"

"Aku nggak mau munafik, Pop. Kalo emang akhirnya di sana ketemu cowok cakep dan mapan buat digebet, itu namanya rezeki. Syukur-syukur bisa di ajak membina masa depan. Nggak apa deh, jadi ibu rumah tangga, asal suami bisa menjamin hidupku bahagia hahaha.

FYI, aku bukannya nyerah nyari kerja, anggap aja itu opsi kedua. Dalam hidup, kita harus punya second planning, kan? Oke, cukup ngelanturnya. Yang jelas, kamu ikut, ya? Oke ikut. Soalnya nggak bakal asyik kalo sendirian," lanjut Becca.

“Emang aku punya pilihan?”

Poppy memutar bola matanya enggan, meladeni ocehan Becca sama saja memperpanjang ceramahnya. Yang jadi masalah, Poppy juga tidak bisa mengabaikan desakan tersebut. Rekannya itu tidak akan berhenti merongrong hingga permintaan tersebut dikabulkan, intinya ia tak menerima bantahan. Lagi pula, kadang-kadang apa yang Becca katakan tak sepenuhnya salah dan memang hanya mereka berdualah pengangguran di indekos ini. Terlebih Becca yang sudah setahun lalu lulus dari kampus bergengsi jurusan Ekonomi Akuntansi. Penghuni indekos lain rata-rata masih berstatus mahasiswa, tetapi ada juga beberapa orang para pekerja yang memilih tinggal di indekos agar dekat dengan kantor mereka. Maka dari itulah, keduanya menjadi sangat dekat. Selain merasa punya nasib yang sama, hanya Poppy yang bisa pengertian dengan sikap nyablak Becca.

Besar harapan Poppy untuk menemukan apa yang ia cari dalam acara tersebut. Namun, seandainya nanti harapan itu hanya akan menjadi sebuah angan, paling tidak Becca bisa mengurangi jumlah populasi jomlo di Indonesia, alih-alih angka pengangguran. Memang bukan prestasi yang patut dibanggakan, tetapi juga tidak ada yang salah dari hal tersebut. Kecuali, pria yang menjadi gebetannya kelak adalah pria beristri, yang tentunya akan menjadi sebuah bencana besar. Poppy sendiri tidak akan mengikuti opsi kedua pilihan sang sahabat, ia  masih menunggu kepulangan sang kekasih. Membayangkan sosok tersebut menjadi suaminya, membuat gadis itu bersemu-semu, untung saja Becca masih sibuk menatap ke arah ponsel, kalau tidak sudah pasti Poppy akan menjadi bulan-bulanan rekannya tersebut.

“Balik yuk, Pop. Mau nyiapin baju buat besok nih. Harus cucok!”

“Genit banget! Kayak mau kencan aja, pake nyiapin kostum. Duluan gih, Kak. Aku mau nyiram tanaman sama ngasih pupuk dulu buat anak-anakku.”

“Tante pergi dulu ya, Anak-anak!” Sembari terkekeh, Becca melambai-lambaikan tangannya bak Miss Universe kepada tanaman-tanaman dalam polybag.

Poppy hanya bisa tertawa melihat kelakuan gadis penghuni kamar di sebelah ruangannya, yang memang sedikit ajaib. Namun, sikap Becca yang santai dan kocak itulah hiburan terbaik untuk hari-hari suram sebagai pengangguran.

Semoga kami diberikan yang terbaik dalam Job fair nanti,” batin Poppy sembari menatap cahaya jingga kemerahan yang terpancar di ufuk barat.

***