cover landing

From Swipe to My Type

By Ree Syira


"JULEEE! awas lo ya, Emak belum selesai ngomong ini!" teriak seorang wanita dengan logat Betawinya.

Wanita itu berusia sekitar empat puluh tahun dan mengenakan daster sembari memegang sandal jepit sebelah berwarna hijau. Kemudian terlihat seorang gadis cantik yang ia panggil Jule tengah berlari keluar dari dalam rumah, menghindari teriakan wanita tersebut yang merupakan ibunya. Gadis itu juga melompati pagar bambu yang tidak terlalu tinggi. Tingkahnya yang satu ini selalu membuat kedua orang tuanya geleng-geleng.

Jule memakai kaos lengan panjang berwarna biru, hijab putih dengan topi hitam, celana jeans, serta sandal jepit berbeda warna hitam dan hijau. Beberapa saat kemudian setelah cukup jauh ia berlari, akhirnya Jule berhenti di sebuah gazebo pinggir kolam ikan dan sawah yang juga jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Terlihat dua orang temannya, lelaki dan perempuan, menghela napas melihat Jule yang tengah menekuk lutut dengan napas yang terengah-engah.

"Lo lari dari emak lo lagi?" tanya Yusuf alias Ucup kepada Jule.

"Gitulah dia, Cup. Tiap hari, nggak pagi, nggak siang, nggak sore, nggak malem, berantem mulu sama emaknya," timpal Rere—sahabatnya juga—sembari menggelengkan kepalanya.

"Haha! Lagian emaknya nggak capek juga jodohin nih anak. Ustadz udah, anak juragan udah, sampai anak lurah juga udah, tapi selalu Jule tolak. Rekor emang," celetuk Ucup yang ditanggapi cuek oleh Rere dan Jule.

"Halah kalian! Gue capek nih, susah napas. Minum mana minum?" pinta Jule dengan suara yang terdengar berat karena napas yang juga tidak beraturan.

Rere pun memberikan botol minumannya kepada Jule, kemudian mereka duduk bertiga di gazebo yang merupakan tempat biasanya ketiganya berkumpul. Mereka menjadi tiga orang yang selalu dibicarakan seisi kampung. Karena di usia mereka yang menginjak kepala dua, Jule, Ucup, dan Rere masih saja asyik bermain.

Di Kampung Jambu Manis, yaitu tempat tinggal Jule, ada sebuah kebiasaan yang mengakar dari zaman nenek moyangnya, bahkan seolah dianggap menjadi adat istiadat. Di sana, seorang anak gadis yang sudah menginjak usia dua puluh tahunan diharuskan sudah menikah, bahkan memiliki anak. Jika melewati usia tersebut mereka belum juga menikah, bisa dianggap perawan tua. Sedikit juga para gadis mengenyam pendidikan tinggi ataupun bekerja, karena di sana hal tersebut dianggap wajib hanya untuk laki-laki. Kedua orang tuanya Jule selalu menjodohkannya dengan lelaki pilihan mereka, mulai dari anak ustadz sampai anak juragan, ataupun pejabat kampung. 

"Le, lo pake sandal sengaja beda warna apa gimana sih?" tanya Ucup yang kebetulan melihat ke arah sandal jepit yang dipakai Jule.

Jule kemudian melihat kakinya sembari menyeringai kepada kedua sahabatnya itu. "Hehehe, gue nggak sadar tadi. Mana ini yang hijau sendal emak gue buat ke kamar mandi lagi," jelas Jule yang kemudian duduk di gazebo dan melepas sandalnya.

Rere dan Ucup selalu heran melihat Jule. Perempuan itu memiliki wajah cantik, tapi terkadang bloon dan juga sembrono.

Mereka bertiga adalah orang-orang yang sering dijadikan bahan gosip karena belum menikah, dibilang tidak lakulah, terlalu pemilihlah, susah jodohlah. Andai mereka memilih merantau ke kota untuk bekerja ataupun melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, mungkin hal tersebut bisa sedikit dimaklumi. Sayangnya, keluarga Jule, Ucup, maupun Rere tidak cukup mampu untuk membiayai mereka melanjutkan kuliah, tetapi pilihan untuk menikah muda pun tidak ingin mereka jalankan. Sebenarnya ketiganya memiliki impian yang sama,  yaitu ingin merantau ke kota untuk bekerja dan mencari uang agar tidak dikejar gosip dan target untuk segera menikah.

Jule mengambil snack kacang polong yang sedang dipegang oleh Ucup begitu saja, kemudian ia memakan kacang polong itu sembari menggerutu, "Bwayangin dwong," ucap Jule.

"Kebiasaan. Berhenti dulu makannya, baru ngomong!" timpal Rere yang langsung merampas kembali snack kacang polong itu dari tangan Jule.

Ucup hanya menghela napas pasrah karena camilannya dikuasai dua spesies terkuat di muka bumi bernama perempuan. Percuma ia berusaha. Ia akan kalah—dan memang harus mengalah—untuk kedua sahabat perempuannya itu. 

"Tadi pagi nih ya, emak gue udah nunjukin foto laki-laki yang mau dateng ke rumah siang ini. Kalau ganteng sih okelah, ya, masalahnya ini tuh … aduh! Lo berdua mau tahu nggak bentukannya begimane?" tanya Jule dengan bola mata membesar menatap kedua sahabatnya menaikkan kedua alisnya.

"Lebih jelek dari gue pasti," timpal Ucup sembari menyeringai.

"Dih pede banget lo," Rere menyela ucapan Ucup.

"Betul tahu, Re, lebih jelek dari si Ucup. Lo pada bayangin aja ya, rambut kribo, kulit gelap, badan kerempeng, dan yang paling parah dia pake baju zaman jadul celana cutbray kaya tahun 90an gitulah. Ya kali gue yang cantik gini bawa laki kayak gitu ke kondangan. Malu, lah!" jelas Jule panjang lebar.

Kedua sahabatnya itu tertawa terbahak-bahak membayangkan apa yang dijelaskan Jule. Jule semakin memasang ekspresi kesal melihat reaksi teman-temannya, tak lupa sambil sesekali bergidik saat membayangkan kalimatnya benar-benar terjadi di dunia nyata..

"Padahal, kan, Le, sebelumnya ada cowok ganteng dan tajir yang dipilihin bapak lo itu. Kenapa lo tolak?" tanya Rere kepada Jule.

"Lebih parah itu, Rere! Anak mami banget! Masa udah dewasa gitu masih minum susu di dot," tukas Jule memasang ekspresi jijik.

"Hah seriusan lo?" tanya Rere kembali dengan ekspresi terkejut.

"Ya serius, orang ngedot di botol depan gue sama Emak sama Bapak. Gila nggak sih, orang tua gue kagak pernah bener kalau nyariin calon jodoh. Lagian, kenapa juga sih kita pada kudu tinggal di kampung yang isinya tukang julid semua?" celoteh Jule sambil berdiri dan menyandarkan punggungnya di tiang gazebo.

Kedua sahabatnya itu lantas kembali tertawa. Beruntungnya Ucup dan Rere tidak seperti Jule yang selalu disodorkan tawaran beberapa ‘calon’ pilihan kedua orang tuanya untuk datang ke rumah dan membicarakan lamaran. Orang tua Ucup maupun Rere terlalu fokus bekerja di ladang ketimbang mengurusi urusan jodoh anaknya, meskipun sesekali suka bertanya kapan Ucup ataupun Rere akan menikah.

Setelah beberapa jam mereka santai di gazebo, makan-makan, ngobrol banyak hal, sampai streaming film di ponsel—yang membuat salah satu dari mereka tertidur, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang kembali ke rumah masing-masing karena waktu juga mulai sore. Sebenarnya Jule malas untuk pulang, karena pasti ibunya akan marah-marah dan mendesaknya untuk menikah. Namun, mau bagaimanapun, ia tidak mungkin tidak pulang. Terlebih dengan kondisi perutnya yang cepat lapar.

Jule akhirnya pulang dengan langkah pelan dan berat. Begitu tiba di rumah, ia segera membuka pintu. Terlihat kedua orang tuanya tengah duduk berhadap-hadapan di sofa.

"Balik juga ya lo. Nggak sekalian aja noh kabur ke ujung dunia!" ucap Romlah, ibunya Jule dengan nada lantang nan menggelegar di seisi ruangan.

"Iya mau, Jule mau nyari duit ke ujung dunia biar kaya dan nggak dijodoh-jodohin lagi," timpal Jule dengan ekspresi muka cemberut. Kemudian, ia pun masuk ke dalam kamar begitu saja.

"Dasar ya lo! Tiap Emak ngomong kagak pernah didengerin!" teriak Romlah.

Seorang lelaki paru baya berusia lima puluh tahunan berusaha menenangkannya dan mengusap-ngusap bahunya. Lelaki itu bernama Herman, ayah dari Jule.

"Udahlah, anak itu kasih jeda dulu. Kita cari cara lain biar dia mau nurutin apa kata kita tentang pencarian jodoh," ujar Herman. Terpaksa, Romlah pun mengangguk mengiakan.

Sementara itu di kamar, Jule merebahkan dirinya di kasur sembari memainkan ponselnya. Tak berselang lama, sebuah notifikasi pesan masuk tiba-tiba muncul di layar ponselnya itu. Ternyata pesan dari Rere.

[Le, gue tau nih sesuatu hal yang bisa mengatasi permasalahan lo tentang perjodohan dan perkawinan.]

[APAAN?]

[Biasa aja kali nggak usah capslock! Mata gue kagak rabun. 

[Iya sorry, sorry, kepencet otomatis. Apaan sih, buruan kasih tahu!]

Belum sempat ia melihat balasan dari Rere, Romlah berteriak lagi dari dapur.

"Juleee! Sini bantuin Emak masak! Jangan main hape mulu lu," teriak Romlah kepada Jule.

Jule memutar kedua bola matanya sambil menghembuskan napas kesal. Meski penasaran setengah mati dengan saran Rere, ia memutuskan untuk mematuhi perintah ibunya.