cover landing

Friendsick

By Dion Bimasakti


Rasanya kosong pikiran gue saat hari pertama berhenti jadi penyiar. Gue bingung harus melakukan kegiatan apa. Semuanya jadi berasa aneh. Biasanya setiap hari gue bakal bela-belain bangun pagi untuk berangkat siaran. Sekarang gue sudah tidak punya semangat sehebat itu. Sisi produktivitas gue menurun drastis, gue terancam menopause dini.

Serem.

Berhenti jadi penyiar memang sudah menjadi keputusan yang dipikirkan matang-matang sejak dulu. FYI, gue berhenti karena inisiatif sendiri bukan karena diberhentikan. Maaf... gini-gini gue karyawan teladan yang bertanggung jawab, penuh dedikasi, totalitas, suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Dasa Dharma Pramuka kali ah!

Keputusan untuk berhenti menjadi penyiar memang cukup dilematis buat gue. Di satu sisi gue nyaman dengan pekerjaan ini, tapi di sisi lain gue gak bisa terus-terusan bekerja di sebuah tempat yang gak sesuai dengan latar belakang pendidikan gue. Beberapa rekan kerja di kantor pun mencoba membujuk gue. "Coba deh pikirin baik-baik lagi, Yon. Jangan sampai keputusan yang lu ambil sekarang, bakal bikin lu menyesal kemudian."

"Kayaknya keputusan gue udah bulat deh," jawab gue dengan masih agak sedikit ragu.

"Lu yakin, Yon? Lu mau berhenti jadi penyiar? Coba deh pikirin baik-baik lagi." Ferli, salah satu rekan penyiar di kantor, merayu gue dengan sabar dan gigih, persis seperti agen MLM yang gak dapet-dapet member.

Gue masih inget, waktu itu rayuan dari teman-teman supaya gue tetap siaran sempat mengusik keputusan yang sudah diambil. Mungkin ceritanya bakal beda kalau rekan kerja gue adalah Raisa dan Isyana Saraswati. Gak bakalan deh, gue keluar. Yang ada malah gue bakal bikin surat permohonan jadi karyawan tetap.

Harus gue akui yang membuat gue susah untuk melepaskan pekerjaan ini adalah kami sudah seperti keluarga. Kami bekerja disatukan lebih dari sekadar ikatan karyawan satu perusahaan, tapi kekeluargaan. Ini yang berharga, ini yang kadang membuat gue merasa sedih harus berpisah dengan mereka.

Tapi balik lagi, hidup itu pilihan. Jika lu dihadapkan pada dua jalan yang sama-sama menarik dan lu harus pilih salah satu, maka lu harus memilih dengan mantap dan yakin bahwa pilihan itu gak salah. Dua pilihan gue waktu itu adalah pekerjaan atau pendidikan. Dan gue memilih, pendidikan. Dengan berat hati gue pun meninggalkan dunia siaran yang telah membesarkan nama gue. Ya... sekali lagi hidup itu pilihan.

***

Setelah resmi berhenti kerja jadi penyiar, gue mulai merasakan lingkungan pergaulan yang perlahan berubah. Terutama teman-teman gue yang entah itu di kampus, di rumah, pangkalan ojek, kuburan, semuanya berubah. Gak tahu kenapa sekarang kebanyakan dari mereka menjadi dingin banget kayak kulkas dua pintu.

Sekarang setiap kali ngumpul bareng anak-anak tongkrongan, ekspresi mereka pasti biasa saja. Bahkan yang paling ngenes, kadang kehadiran gue malah gak dianggep. Padahal, dulu waktu gue masih jadi penyiar, setiap kali gue datang di pertemuan semacam itu, kehadiran gue pasti selalu di-elu-elu-kan.

"Ah, dasar bego lu...!"

"Gak tahu diri lu..!"

"Pergi lu...!"

*nahan tangis*

Serius, serius, jujur dulu kehadiran gue selalu diterima dengan sambutan yang hangat dari teman-teman. Beberapa dari mereka basa-basi santai menyapa gue: "Eh, Dion apa kabar ?". Ada lagi yang nyapa: "Siarannya lancar, Yon?". Ada juga yang nyapa dengan:"Udah punya pacar belum, Yon?".

Hmm.

Meskipun kadang basa-basinya melanggar batas kesopanan dan tidak sesuai dengan peri kejomloan, buat gue, dulu sih asik-asik aja. Gak pernah gue ambil hati. Sekarang semuanya berubah seratus delapan puluh derajat. Sekarang gue kehilangan sapaan-sapaan hangat mereka. Satu-satunya sapaan yang gue terima saat ini adalah: "Eh, Dion. Masih hidup lo?!"

Pahit rasanya. Meskipun saat mereka bilang gitu, tetap gue balas dengan senyuman maksa. Senyuman yang menyembunyikan pertanyaan besar dalam hati gue. "Kenapa sih sekarang kalian berubah di saat gue sudah bukan siapa-siapa lagi?" #alay

Jika benar muka manis mereka memang karena pekerjaan gue sebagai penyiar, kadang gue sedikit menyesal kenapa melepaskan pekerjaan itu. Tapi di sisi lain gue juga sangat menyesal, mengapa memiliki sahabat-sahabat seperti mereka. Sahabat yang memandang gue dari keren atau tidaknya sebuah pekerjaan yang gue jalanin.  Pada akhirnya gue baru menyadari. Ternyata bukan hanya dunia politik yang penuh dengan kepentingan. Sekarang persahabatan juga penuh dengan kepentingan.

***

Satu hal yang membuat gue merasa sedikit lega dalam melewati masa transisi ini adalah gue punya teman seperti Pram. Dia adalah salah satu teman kuliah gue sejak semester 1 sampai sekarang semester 8. Dari dulu kita berdua sudah terbiasa ngelakuin kegiatan perkuliahan bersama-sama. Meskipun sering bersama, untungnya kami tidak sampai memiliki perasaan yang sama.

Aman.

Pram adalah teman sekelas gue yang paling bermartabat. FYI, teman sekelas gue di kampus, terutama yang cowok, hampir semuanya tumbuh di dalam lingkungan pergaulan yang liar. Saat semua mahasiswa kuliah dengan pakaian yang seadanya saja, maka Pram kuliah dengan setelan pakaian rapi kayak karyawan kantoran yang baru pertama masuk kerja. Sepatu pantofelnya selalu terlihat hitam mengkilap. Saking mengkilapnya gue gak tahu itu yang dipake buat nyemir, sampo khusus semir atau abu gosok.

Tatanan rambut Pram selalu tersisir rapi, membentuk gaya rambut belah kanan. Sebuah gaya rambut legendaris yang entah siapa yang memulainya, diwarisi dari tahun ke tahun selama berabad-abad oleh anak sopan satu ke anak sopan lainnya. Mungkin gue dan teman sekelas lainnya patut berbangga memiliki salah satu anak sopan dengan setelan rambut rapi yang hampir hilang ditelan zaman.

Meskipun Pram orangnya kalem, kondisi itu tidak lantas membuat dirinya dikucilkan dari pergaulan teman sekelas. Justru Pram sangat dibutuhkan oleh teman-temannya yang urakan. Terutama saat tugas kuliah mulai berdatangan. Kasian...

Soal kepandaian, Pram memang tidak bisa diragukan. Semua mata kuliah bisa dia kuasai. Gue sebagai sahabat dekatnya, mengakui kepandaian yang dimilikinya. Pram dibesarkan dari lingkungan keluarga yang akademis. Ayah dan Ibunya adalah guru. Keduanya sama-sama mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia. Bedanya, ayahnya mengajar di SMA. Sedangkan ibunya di SMP. Kalau boleh gue sebut, keluarga Pram adalah keluarga yang sangat menjunjung tinggi bahasa Indonesia.

Sebagai teman dekat, Pram sering mengeluh di hadapan gue. Kadang dia merasa berdosa kepada keluarganya, karena sejatinya di dalam hatinya yang paling dalam pelajaran bahasa Indonesia sangatlah membosankan. Pram lebih mencintai pelajaran-pelajaran eksak. Saat anak-anak yang lain akan merasa durhaka ketika ngelawan orang tua., maka bagi Pram definisi anak durhaka sangat sederhana: benci pelajaran Bahasa Indonesia.

Sebuah keadaan yang kadang membuat gue mikir. Ayah dan ibu Pram adalah orang yang sama-sama mengajar, mengamalkan, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia, dan si Pram diam-diam malah tidak menyukainya karena lebih memilih pelajaran eksak. Sebenarnya kamu anak siapa, Pram ?

Tapi bagaimanapun juga gue tahu banget, bahwa ketidaksukaan Pram terhadap pelajaran Bahasa Indonesia tidak lantas membuat dirinya benci terhadap kedua orang tuanya. Bagi Pram, orang tua adalah segalanya. Sikap hormatnya sering ia tunjukkan di hadapan gue "Yon... kalau kamu pengin sukses, ikuti dan dengarkanlah apa kata orang tuamu. Selama perintah orang tua kamu itu baik. Ingat, ridho Allah itu dekat dengan ridho orang tua," katanya pelan dan pasti.

"Oh, gitu. Teru, ridho Allah dekat juga gak dengan Ridho Rhoma?" tanya gue bego.

"Ridho Rhoma... siapa sih ? Anaknya Haji Mahmud yah?"

Fix, selain tidak suka pelajaran bahasa Indonesia, Pram juga tidak bisa diajak bercanda.

Terlepas dari itu semua, Pram adalah sahabat gue yang tahu banget kondisi gue. Saking tahunya kadang gue curiga, jangan-jangan Twitter gue di-follow everyday sama Pram. Sumpah, gue geli.

Tapi gak gitu juga sih, soalnya Pram gak punya akun Twitter. Baginya memiliki satu akun Facebook sudah berarti mewakili dan ikut berpartisipasi dalam meramaikan khasanah kehidupan zaman modern ini. Kalian tahu seperti apa profil Facebooknya? Nih, gue kasih tahu sedikit tampilan profilnya:

Pramono Saputro

Sedang bekerja di PT. Mencari Cinta Sejati

Ternyata Pram selain gak suka pelajaran Bahasa Indonesia, dan gak bisa diajak bercanda, dia juga termasuk salah satu karyawan perusahaan fiktif PT Mencari Cinta Sejati yang entah di mana kantornya berada (Percayalah... 1 dari 5 teman Facebook lu pasti ada yang mencantumkan profil bekerja di perusahaan PT Mencari Cinta Sejati).

Meskipun Pram terlihat lugu-lugu gimana gitu. Gue bersyukur punya sahabat kayak dia. Hebatnya Pram dibanding teman-teman gue yang lainnya adalah dia selalu tahu saat gue mulai merasa gak nyaman.

 "Sejak kamu tidak bekerja sebagai penyiar, mengapa wajahmu selalu terlihat bermuram durja begitu ?" tanya Pram sopan. Begitulah cara Pram berbicara, bermartabat dan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.

"Iya nih, Pram. Sejak gue gak jadi penyiar, banyak teman-teman yang sikapnya berubah," jawab gue lesu.

"Ah, serius kamu? Apa aku juga begitu ?"

"Kecuali lu, Pram."

"Sukurlah. Kenapa ya.. mereka bisa berbuat seperti itu kepadamu?"

"Dugaan gue sih, mungkin mereka sekarang sudah bukan penyiar, jadi gak bisa numpang eksis lagi. Sekarang gue sudah bukan siapa-siapa lagi." Gue nelen ludah. Nada bicara gue mulai berat. "Gak seperti dulu..."

"Begitu pentingkah eksis, Yon ?" tanya Pram polos.

"BANGET!" tegas gue. "Sekarang, bagi kebanyakan orang, eksis itu sangat berarti, Pram. Dengan eksis, lu akan dianggep. Dan... seandainya hidup ini harus menggantungkan nyawa pada tingkat ke-eksis-an seseorang, gue yakin hidup lu di dunia ini gak akan bertahan lama. Lu akan mati dengan cepat, Pram."

Denger gue ngomong gitu, Pram nelen ludah. Mukanya mendadak pucat.

"Serem banget, Yon..."

"Oh, jelas. Makanya mulai sekarang lu harus berbenah. Ganti tuh gaya rambut, pakaian lu gak usah se-necis ini. Terus... cari pacar!!! Simpel, kan ?" Gue sok menggurui.

"Memang kamu sekarang sudah punya pacar, Yon?"

"Emmm... belum."

Begitulah cara gue dan Pram bersahabat. Sederhana, gak neko-neko, gak pernah memasang syarat-syarat persahabatan yang aneh. Dari obrolan-obrolan sederhana antara dua orang yang memiliki karakter bumi dan langit ini, cukup membuat gue terhibur dalam melewati masa-masa transisi ini.

Kami adalah sebuah hubungan persahabatan yang tidak pernah memandang lu lahir dari keluarga mana, apa yang lu punya, pekerjaan lu apa, lu ke kampus naik apa, atau pacar lu berapa. Persahabatan kami tulus apa adanya. Model persahabatan yang sudah jarang gue temui di zaman yang serba-eksis ini. Gak tahu kenapa Pram selalu sukses membuat pikiran gue terbang ke masa lalu. Jauh... ke masa lalu.

Gue jadi merindukan mereka, sahabat-sahabat yang pernah hadir dalam hidup gue.

***