Rasanya
kosong pikiran gue saat hari pertama berhenti jadi penyiar. Gue bingung harus
melakukan kegiatan apa. Semuanya jadi berasa aneh. Biasanya setiap hari gue
bakal bela-belain bangun pagi untuk berangkat siaran. Sekarang gue sudah tidak
punya semangat sehebat itu. Sisi produktivitas gue menurun drastis, gue
terancam menopause dini.
Serem.
Berhenti
jadi penyiar memang sudah menjadi keputusan yang dipikirkan matang-matang sejak
dulu. FYI, gue berhenti karena
inisiatif sendiri bukan karena diberhentikan. Maaf... gini-gini gue karyawan
teladan yang bertanggung jawab, penuh dedikasi, totalitas, suci dalam pikiran,
perkataan, dan perbuatan.
Dasa Dharma Pramuka kali ah!
Keputusan
untuk berhenti menjadi penyiar memang cukup dilematis buat gue. Di satu sisi
gue nyaman dengan pekerjaan ini, tapi di sisi lain gue gak bisa terus-terusan
bekerja di sebuah tempat yang gak sesuai dengan latar belakang pendidikan gue.
Beberapa rekan kerja di kantor pun mencoba membujuk gue. "Coba deh pikirin
baik-baik lagi, Yon. Jangan sampai keputusan yang lu ambil sekarang, bakal
bikin lu menyesal kemudian."
"Kayaknya
keputusan gue udah bulat deh," jawab gue dengan masih agak sedikit ragu.
"Lu
yakin, Yon? Lu mau berhenti jadi penyiar? Coba deh pikirin baik-baik lagi."
Ferli, salah satu rekan penyiar di kantor, merayu gue dengan sabar dan gigih,
persis seperti agen MLM yang gak dapet-dapet member.
Gue
masih inget, waktu itu rayuan dari teman-teman supaya gue tetap siaran sempat
mengusik keputusan yang sudah diambil. Mungkin ceritanya bakal beda kalau rekan
kerja gue adalah Raisa dan Isyana Saraswati. Gak bakalan deh, gue keluar. Yang
ada malah gue bakal bikin surat permohonan jadi karyawan tetap.
Harus
gue akui yang membuat gue susah untuk melepaskan pekerjaan ini adalah kami
sudah seperti keluarga. Kami bekerja disatukan lebih dari sekadar ikatan
karyawan satu perusahaan, tapi kekeluargaan. Ini yang berharga, ini yang kadang
membuat gue merasa sedih harus berpisah dengan mereka.
Tapi
balik lagi, hidup itu pilihan. Jika lu dihadapkan pada dua jalan yang sama-sama
menarik dan lu harus pilih salah satu, maka lu harus memilih dengan mantap dan
yakin bahwa pilihan itu gak salah. Dua pilihan gue waktu itu adalah pekerjaan
atau pendidikan. Dan gue memilih, pendidikan. Dengan berat hati gue pun
meninggalkan dunia siaran yang telah membesarkan nama gue. Ya... sekali lagi
hidup itu pilihan.
***
Setelah
resmi berhenti kerja jadi penyiar, gue mulai merasakan lingkungan pergaulan
yang perlahan berubah. Terutama teman-teman gue yang entah itu di kampus, di
rumah, pangkalan ojek, kuburan, semuanya berubah. Gak tahu kenapa sekarang
kebanyakan dari mereka menjadi dingin banget kayak kulkas dua pintu.
Sekarang
setiap kali ngumpul bareng anak-anak tongkrongan, ekspresi mereka pasti biasa
saja. Bahkan yang paling ngenes, kadang kehadiran gue malah gak dianggep.
Padahal, dulu waktu gue masih jadi penyiar, setiap kali gue datang di pertemuan
semacam itu, kehadiran gue pasti selalu di-elu-elu-kan.
"Ah, dasar bego lu...!"
"Gak tahu diri lu..!"
"Pergi lu...!"
*nahan
tangis*
Serius,
serius, jujur dulu kehadiran gue selalu diterima dengan sambutan yang hangat
dari teman-teman. Beberapa dari mereka basa-basi santai menyapa gue: "Eh, Dion apa kabar ?". Ada lagi yang
nyapa: "Siarannya lancar, Yon?". Ada
juga yang nyapa dengan:"Udah punya pacar
belum, Yon?".
Hmm.
Meskipun
kadang basa-basinya melanggar batas kesopanan dan tidak sesuai dengan peri
kejomloan, buat gue, dulu sih asik-asik aja. Gak pernah gue ambil hati.
Sekarang semuanya berubah seratus delapan puluh derajat. Sekarang gue
kehilangan sapaan-sapaan hangat mereka. Satu-satunya sapaan yang gue terima
saat ini adalah: "Eh, Dion. Masih hidup
lo?!"
Pahit
rasanya. Meskipun saat mereka bilang gitu, tetap gue balas dengan senyuman maksa.
Senyuman yang menyembunyikan pertanyaan besar dalam hati gue. "Kenapa sih sekarang kalian berubah di saat
gue sudah bukan siapa-siapa lagi?" #alay
Jika
benar muka manis mereka memang karena pekerjaan gue sebagai penyiar, kadang gue
sedikit menyesal kenapa melepaskan pekerjaan itu. Tapi di sisi lain gue juga
sangat menyesal, mengapa memiliki sahabat-sahabat seperti mereka. Sahabat yang
memandang gue dari keren atau tidaknya sebuah pekerjaan yang gue jalanin. Pada akhirnya gue baru menyadari.
Ternyata bukan hanya dunia politik yang penuh dengan kepentingan. Sekarang
persahabatan juga penuh dengan kepentingan.
***
Satu
hal yang membuat gue merasa sedikit lega dalam melewati masa transisi ini
adalah gue punya teman seperti Pram. Dia adalah salah satu teman kuliah gue
sejak semester 1 sampai sekarang semester 8. Dari dulu kita berdua sudah
terbiasa ngelakuin kegiatan perkuliahan bersama-sama. Meskipun sering bersama,
untungnya kami tidak sampai memiliki perasaan yang sama.
Aman.
Pram
adalah teman sekelas gue yang paling bermartabat. FYI, teman sekelas gue di kampus, terutama yang cowok, hampir
semuanya tumbuh di dalam lingkungan pergaulan yang liar. Saat semua mahasiswa
kuliah dengan pakaian yang seadanya saja, maka Pram kuliah dengan setelan pakaian
rapi kayak karyawan kantoran yang baru pertama masuk kerja. Sepatu pantofelnya
selalu terlihat hitam mengkilap. Saking mengkilapnya gue gak tahu itu yang
dipake buat nyemir, sampo khusus semir atau abu gosok.
Tatanan
rambut Pram selalu tersisir rapi, membentuk gaya rambut belah kanan. Sebuah
gaya rambut legendaris yang entah siapa yang memulainya, diwarisi dari tahun ke
tahun selama berabad-abad oleh anak sopan satu ke anak sopan lainnya. Mungkin
gue dan teman sekelas lainnya patut berbangga memiliki salah satu anak sopan
dengan setelan rambut rapi yang hampir hilang ditelan zaman.
Meskipun
Pram orangnya kalem, kondisi itu tidak lantas membuat dirinya dikucilkan dari
pergaulan teman sekelas. Justru Pram sangat dibutuhkan oleh teman-temannya yang
urakan. Terutama saat tugas kuliah mulai berdatangan. Kasian...
Soal
kepandaian, Pram memang tidak bisa diragukan. Semua mata kuliah bisa dia
kuasai. Gue sebagai sahabat dekatnya, mengakui kepandaian yang dimilikinya.
Pram dibesarkan dari lingkungan keluarga yang akademis. Ayah dan Ibunya adalah
guru. Keduanya sama-sama mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia. Bedanya, ayahnya
mengajar di SMA. Sedangkan ibunya di SMP. Kalau boleh gue sebut, keluarga Pram
adalah keluarga yang sangat menjunjung tinggi bahasa Indonesia.
Sebagai
teman dekat, Pram sering mengeluh di hadapan gue. Kadang dia merasa berdosa
kepada keluarganya, karena sejatinya di dalam hatinya yang paling dalam
pelajaran bahasa Indonesia sangatlah membosankan. Pram lebih mencintai
pelajaran-pelajaran eksak. Saat anak-anak yang lain akan merasa durhaka ketika
ngelawan orang tua., maka bagi Pram definisi anak durhaka sangat sederhana:
benci pelajaran Bahasa Indonesia.
Sebuah
keadaan yang kadang membuat gue mikir. Ayah dan ibu Pram adalah orang yang
sama-sama mengajar, mengamalkan, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia, dan si
Pram diam-diam malah tidak menyukainya karena lebih memilih pelajaran eksak. Sebenarnya kamu anak siapa, Pram ?
Tapi
bagaimanapun juga gue tahu banget, bahwa ketidaksukaan Pram terhadap pelajaran Bahasa
Indonesia tidak lantas membuat dirinya benci terhadap kedua orang tuanya. Bagi
Pram, orang tua adalah segalanya. Sikap hormatnya sering ia tunjukkan di
hadapan gue "Yon... kalau kamu pengin sukses, ikuti dan dengarkanlah apa kata
orang tuamu. Selama perintah orang tua kamu itu baik. Ingat, ridho Allah itu
dekat dengan ridho orang tua," katanya pelan dan pasti.
"Oh,
gitu. Teru, ridho Allah dekat juga gak dengan Ridho Rhoma?" tanya gue bego.
"Ridho
Rhoma... siapa sih ? Anaknya Haji Mahmud yah?"
Fix, selain tidak suka pelajaran
bahasa Indonesia, Pram juga tidak bisa diajak bercanda.
Terlepas
dari itu semua, Pram adalah sahabat gue yang tahu banget kondisi gue. Saking
tahunya kadang gue curiga, jangan-jangan Twitter gue di-follow everyday sama Pram. Sumpah, gue geli.
Tapi
gak gitu juga sih, soalnya Pram gak punya akun Twitter. Baginya memiliki satu
akun Facebook sudah berarti mewakili dan ikut berpartisipasi dalam meramaikan
khasanah kehidupan zaman modern ini. Kalian tahu seperti apa profil Facebooknya?
Nih, gue kasih tahu sedikit tampilan profilnya:
Pramono
Saputro
Sedang
bekerja di PT. Mencari Cinta Sejati
Ternyata
Pram selain gak suka pelajaran Bahasa Indonesia, dan gak bisa diajak bercanda,
dia juga termasuk salah satu karyawan perusahaan fiktif PT Mencari Cinta Sejati
yang entah di mana kantornya berada (Percayalah... 1 dari 5 teman Facebook lu
pasti ada yang mencantumkan profil bekerja di perusahaan PT Mencari Cinta
Sejati).
Meskipun
Pram terlihat lugu-lugu gimana gitu. Gue bersyukur punya sahabat kayak dia.
Hebatnya Pram dibanding teman-teman gue yang lainnya adalah dia selalu tahu
saat gue mulai merasa gak nyaman.
"Sejak kamu tidak bekerja sebagai
penyiar, mengapa wajahmu selalu terlihat bermuram durja begitu ?" tanya Pram
sopan. Begitulah cara Pram berbicara, bermartabat dan sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan.
"Iya
nih, Pram. Sejak gue gak jadi penyiar, banyak teman-teman yang sikapnya
berubah," jawab gue lesu.
"Ah,
serius kamu? Apa aku juga begitu ?"
"Kecuali
lu, Pram."
"Sukurlah.
Kenapa ya.. mereka bisa berbuat seperti itu kepadamu?"
"Dugaan
gue sih, mungkin mereka sekarang sudah bukan penyiar, jadi gak bisa numpang
eksis lagi. Sekarang gue sudah bukan siapa-siapa lagi." Gue nelen ludah. Nada
bicara gue mulai berat. "Gak seperti dulu..."
"Begitu
pentingkah eksis, Yon ?" tanya Pram polos.
"BANGET!"
tegas gue. "Sekarang, bagi kebanyakan orang, eksis itu sangat berarti, Pram.
Dengan eksis, lu akan dianggep. Dan... seandainya hidup ini harus
menggantungkan nyawa pada tingkat ke-eksis-an seseorang, gue yakin hidup lu di
dunia ini gak akan bertahan lama. Lu akan mati dengan cepat, Pram."
Denger
gue ngomong gitu, Pram nelen ludah. Mukanya mendadak pucat.
"Serem
banget, Yon..."
"Oh,
jelas. Makanya mulai sekarang lu harus berbenah. Ganti tuh gaya rambut, pakaian
lu gak usah se-necis ini. Terus... cari pacar!!! Simpel, kan ?" Gue sok
menggurui.
"Memang
kamu sekarang sudah punya pacar, Yon?"
"Emmm...
belum."
Begitulah
cara gue dan Pram bersahabat. Sederhana, gak neko-neko, gak pernah memasang
syarat-syarat persahabatan yang aneh. Dari obrolan-obrolan sederhana antara dua orang yang memiliki karakter bumi dan langit ini, cukup membuat gue
terhibur dalam melewati masa-masa transisi ini.
Kami
adalah sebuah hubungan persahabatan yang tidak pernah memandang lu lahir dari
keluarga mana, apa yang lu punya, pekerjaan lu apa, lu ke kampus naik apa, atau
pacar lu berapa. Persahabatan kami tulus apa adanya. Model persahabatan yang
sudah jarang gue temui di zaman yang serba-eksis ini. Gak tahu kenapa Pram
selalu sukses membuat pikiran gue terbang ke masa lalu. Jauh... ke masa lalu.
Gue
jadi merindukan mereka, sahabat-sahabat yang pernah hadir dalam hidup gue.
***