cover landing

Fresh Graduate

By erwina


Lulus tepat waktu dari universitas ternama di Indonesia. Nilai yang terlampau indah sampai hampir sempurna. Skill mumpuni dengan kemampuan bahasa asing mirip native. Pengalaman organisasi banyak, ditambah nilai magang memuaskan. Semua itu bukan jaminan untuk cepat mendapatkan pekerjaaan.

Lalu, apa kabar aku?

Memulai kuliah di usia sembilan belas. Masa kuliah lebih lama dari yang lain—lima setengah tahun. IPK mendung seperti langit mau hujan. Skill pas-pasan. Bisanya cuma mengeluh. Hobi tidur.

Sudah lima bulan sejak gelar sarjana melekat di belakang nama. Padahal, aku lulusan universitas ternama, tapi kenapa belum ada satu pun pekerjaan yang cocok denganku? Sudah ratusan lamaran kusebar, masa tidak ada satu pun yang nyangkut? Dosaku apa, Tuhan?

Karena hobi tidur, aku tidak masalah menganggur. Permasalahan ada di orang tua. Aku sudah lelah disindir-sindir. Nduk, lihat si anu udah kerja, si anu udah nikah. Aduh, aku juga mau bekerja, tapi belum dapat. Aku juga mau menikah, tapi pacar saja tidak punya. Bau-bau jodoh pekerjaan dan jodoh hidup belum tercium.

Aku pengangguran.

Dan, jomlo.

Malam ini, teman-teman SMA mengadakan reuni. Aku tidak datang dengan alasan sakit. Sebenarnya, aku tidak punya muka untuk menghadapi mereka. Pasti nanti aku merasa kecil dan kerdil. Semuanya sudah sukses kecuali aku.

Selain itu, aku juga dulu biang gosip. Kalau aku datang reuni, lalu mereka tahu statusku yang pengangguran, mereka pasti bilang ini karma. Eh, atau mungkin memang karma? Sumpah, kalau bisa kembali ke masa lalu, aku akan banyak tutup mulut dan tidak ikut menyebar fakta-fiksi.

Akhirnya, malam ini, kuputuskan untuk menikmati mi instan dengan cabai super banyak. Aku menyeruput kuahnya yang pedas dan panas sambil menonton drama Korea. Lidahku agak terbakar karena pedas. Namun, sepedas-pedasnya cabai, masih pedas omongan teman yang doyan pamer. Tipikal orang yang suka mengumbar tentang gaji, beban kerja, tunangan, suami, istri, anak, cucu, cicit, hih! Aku yang belum jadi apa-apa, suka ingin kejang di tempat!

Kalau mengobrol denganku, mentok-mentok soal drama Korea, drama Jepang, atau drama kehidupanku. Iya, kehidupanku tidak kalah seru dan dramatis.

Bayangkan, aku tetap datang reuni dan harus berbincang dengan orang-orang yang sudah lama bekerja.

“Gila kerjaan gue banyak banget,” kata teman satu.

“Sama! Gue punya atasan nyebelin banget!” seru teman dua.

“Eh, doain gue promosi, ya, akhir bulan ini,” teman tiga ikutan.

“Lo tau enggak, episode selanjutnya kayaknya Cha Eun Sang sama Kim Tan putus!” Aku, mencoba masuk ke dalam pembicaraan, tapi tidak bisa.

Kalau begitu, kan, kampret. Kelihatan banget aku ini manusia yang tidak produktif. Tidak bermanfaat juga. Malah mungkin baiknya hilang saja dari muka bumi.

Tuh, bumi saja punya muka.

Pikiranku mulai ngawur dan aku tersedak kuah mi yang pedas. Aku batuk berkali-kali, merasakan leherku seperti meleleh. Buru-buru kuteguk air dingin langsung dari botol yang baru keluar kulkas, lalu masuk ke kamar secepat kilat. Aku malas bertemu Ibu atau Bapak.

Sejak menganggur, aku lebih suka mengurung diri di kamar. Kegiatanku cuma nonton atau tidur. Aku malas keluar rumah, apalagi bertemu dengan orang lain. Setiap tatapan mereka seakan-akan pertanyaan untukku. Senyum tulus siapa pun terlihat seperti mengejek. Walaupun mereka tidak bicara, aku tetap bisa mendengar pertanyaan, “Vega, kenapa kamu belum kerja?”

Kadang, orang juga memberi rekomendasi pekerjaan sambil mengomentari sifatku yang idealis. Selama ini, aku memang cenderung pilih-pilih pekerjaan. Tidak mau di bank karena aku lemah dalam hitungan. Tidak mau jadi PNS, karena aku benci pakai seragam. Tidak mau ini. Tidak mau itu. Aku ingin pekerjaan yang membuatku senang dan semangat. Bukan pekerjaan yang membuatku mengeluh dan mengaduh tiap berangkat.

Aku ingat, seseorang pernah bilang, “Veg, fresh graduate nggak usah pilih-pilih! Ambil aja pekerjaan yang ada!”

Makjang!

Aku kuliah panjang-panjang, telat dua tahun pula, itu agar aku bisa memilih pekerjaan. Kalau disuruh tidak memilih, mungkin seharusnya tidak perlu kuliah.

Aku yakin, setiap orang punya pilihan dan tidak sepantasnya orang lain mencampuri. Pekerjaan apa yang diinginkan, kapan menikah, dengan siapa, atau tidur posisi telentang atau telensekop, setiap orang pasti punya pilihan sendiri. Mengutarakan pendapat boleh, ngotot jangan.

Tapi, ya, zaman sekarang setiap orang merasa benar.

Aku mencoba fokus pada adegan ciuman di layar ponsel. Cowok dan cewek di drama ini masih SMA, tapi sudah berani cium-cium bibir. Huh, aku kalah.

Sebelum adegan itu selesai, aku melihat lambang surat muncul di ujung layar. Dengan cepat, aku membuka surel itu dan mengabaikan drama yang sedang seru-serunya. Maklum, sejak jadi pengangguran, aku jadi berharap pada setiap surel. Siapa tahu panggilan pekerjaan.

“Ih!” jeritku kesal. Ternyata, surel itu isinya undangan pernikahan. Ngapain, sih, dikirim lewat surel segala?

Orang yang akan menikah adalah teman SMA. Mereka dulu duduk sebangku sejak kelas sepuluh. Aku sering melihat mereka berdebat, bertengkar, saling memaki, persis seperti kucing dan anjing. Meskipun, si cowok memang kelihatan suka. Aku tidak paham, kok bisa mereka menikah? Usaha apa yang dilakukan si cowok untuk menaklukan si cewek yang galak dan sedingin es?

Kulihat nama di undangan dengan saksama.

 

Vanilla Stev, M.Psi (Vanilla)

dan

Kamandala Fahri Rama, M.Cs (Kafra)

 

Wah, mereka bahkan tidak lagi mencantumkan gelar sarjana di nama mereka. Padahal bagiku gelar sarjana adalah sesuatu yang sakral. Tidak akan kuhapus meski telah mengenyam pendidikan strata dua. Ya, walaupun, aku tidak akan lanjut kuliah.

Cari kerja saja susah, apalagi mesti sambil kuliah. Aku tidak akan sanggup. Yakin, deh. Otakku berada di kasta bawah. Beda dengan Vanilla dan Kafra yang pintar dan cemerlang. Waktu SMA, mereka sama-sama ada di jajaran sepuluh besar.

Tarikan napas panjang membantuku kembali berpikir positif. Beginilah hidup, kadang kita tidak sehebat orang lain. Namun, yakinlah, kita punya kehebatan sendiri. Aku misalnya, kehebatanku mungkin bernama sabar.

Lagi, ada lambang surat menghalangi layar. Eits, kali ini aku tidak tertipu. Kuabaikan surel itu sampai dini hari menjelang. Sebelum tidur, aku penasaran juga.

Surel itu isinya singkat, hanya waktu dan tempat untuk wawancara kerja.

EH? TUNGGU …

Mataku menyusuri setiap huruf yang ada di badan surel, memastikan bahwa ini bukan fatamorgana. Benar. Benar, sebuah panggilan untuk wawancara kerja.

Jantungku berdebar-debar karena senang. Aku menelan ludah melihat jadwal wawancaranya. Lusa. Aku harus mempersiapkan segalanya, pakaian, cara bicara, semuanya. Aku mengucap mantra dalam hati, jangan gagal lagi, jangan gagal lagi, jangan gagal lagi.

Sungguh, aku tidak menghitung berapa wawancara yang gagal. Saking banyaknya. Penyebabnya macam-macam, tapi yang terakhir membuat emosi sekali.

Dua minggu lalu, aku wawancara untuk posisi administrasi. Kualifikasinya memang untuk lulusan SMA, tapi aku coba saja. Saat wawancara, manajernya bilang, “Vega, kamu punya kemampuan yang mumpuni …”

Saat itu, aku sudah dag-dig-dug menunggu kalimat selanjutnya.

“Tapi, Vega, sayang banget kalau kamu kerja cuma jadi admin. Kamu juga lulusan universitas ternama, lebih baik kamu cari kerjaan yang gajinya lebih besar dan sesuai dengan kualifikasimu,” jelas Bapak Manajer yang gendut, botak, dan hitam berkumis. Dia tersenyum sebelum akhirnya memintaku untuk pulang.

Itu. Itu. Itu masalahnya.

Kemampuanku tidak mumpuni untuk posisi yang berhubungan dengan ekonomi. Nilai Ekonomi Mikro, Ekonomi Makro, Dasar Akuntansi, Statistika, Matematika, Kalkulus, dan banyak lagi, semuanya mentok di C. Itu juga hasil mengulang di semester selanjutnya. Aku harus menahan malu belajar bersama adik tingkat. Waktu kuliah, namaku terkenal hingga dua angkatan bawahku.

Makanya, aku berusaha menjual nama universitas dan melamar di posisi yang biasa saja. Bahkan, posisi yang kualifikasinya di bawah sarjana. Tetap saja, aku tidak diterima. Beberapa perusahaan beralasan takut tidak bisa membayarku dengan gaji yang sesuai.

Aku ingin menyerah saja dan memulai bisnis.

Untunglah undangan wawancara datang lagi. Semoga ini yang terakhir. Karena, sungguh, Tuhan, aku lelah sekali.

***