cover landing

Foodie Love

By TheEod


Prolog

2015

“Enak banget, ya, Gas.”

Bagas yang sedang mengunyah sesuap nasi lengko langsung berhenti. Baru kali ini aku melihatnya makan senikmat ini. Dia makin terlihat imut kalau begini, duh bawaannya mau nyubit pipinya aja.

“Aku ora pernah nemu panganan (tidak pernah menemukan makanan) seenak ini, La,” ujar Bagas setelah menyelesaikan kunyahannya. Tangannya yang sedang mencampur kubis dan tauge yang disiram dengan saus kacang malah makin menambah pesonaku padanya. Aku ini memang aneh kadang, kok bisa-bisanya sayang sama lelaki ini?

“Padahal dari kita maba makanan ini sudah ada. Katanya Kakak tingkat sih dulu tempatnya nggak di sini. Di deket-deket warung CL,” tambahku. Tanganku mengambil telur dadar lagi dan memotongnya dengan ukuran kecil agar berbaur sempurna dengan si nasi lengko ini.

Bagas kemudian berbicara bagaimana enaknya saus kacang yang mengguyur nasi dan buncisnya itu merupakan kombinasi gurih dan asin terbaik. Obrolan kemudian berubah menjadi Bagas yang menceritakan masa kecilnya dengan makanan. Aku mendengarkannya dengan khidmat kayak lagi dengerin penjelasan dosen ganteng di kelas hukum pemerintah daerah.

“Bagiku, kerupuknya sih itu yang bikin makin enak,” ujarku. Aku membuktikannya dengan tidak mengambil bakwan kuning yang bertengger manis di meja makan. Tidak hanya bakwan, ada telur dadar, ikan bumbu kuning, sampai tempe mendoan. “Coba ya kalau nggak ada kerupuk remuk ini, mungkin rasanya bakal kurang gurih, Gas. Ini sih menurut lidahku, ya.”

Jujur, baru kali ini aku melihat Bagas benar-benar menikmati makanannya. Bagas itu orangnya mudah ketebak banget sih kalau suatu hidangan dia bilang enak maupun tidak. Dia tidak akan bilang secara eksplisit, tetapi biasanya dia di perjalanan pulang pasti bilang begini, “La, mienya tadi itu teksturnya nggak kenyal. Untung bumbu masakannya menyelamatkan si tekstur mi.” Bagian yang paling aku suka sih jelas, nada Bagas bicara tentang ketidaksukaannya itu tidak menghakimi sama sekali. Jelas buatku makin sayang sama dia.

Kembali ke masa kini.

Setelah Bagas dan aku membayar masing-masing makanan, kami berjalan kaki menuju fakultas kami yang letaknya agak jauh dari tempat warung nasi lengko tadi. Aku bercerita tentang rencana memasak gurami saus telur asin untuk penghuni kos, dan Bagas kali ini merespon dengan jawaban singkat.

Hem, tumbenan anak ini diem aja, biasanya pasti balasannya begini, “Wahhh beneran nih, La? Aku boleh icip enggak.” Dengan matanya yang berbinar-binar, dan mulut yang sedikit terbuka. Sekarang boro-boro ngomong kayak tadi, mengeluarkan sepatah kata aja udah bersyukur kayaknya. Ini aneh, sungguh aneh.

Ketika sampai di pelataran parkir belakang kampus, aku menghentikan langkahku. “Gas …,” panggilku, membuat langkah lelaki berambut cepak itu ikut berhenti.

“Kamu tadi dengerin apa yang aku omongin nggak tadi?” tanyaku dengan alis terangkat.

Bagas terdiam, lumayan lama. Kebanyakan dia ngomong ‘em’ ‘er’ dan sebangsanya. Ini anak kenapa pula? Lagi sakitkah? “Gas, jawab doang kayak bingung gitu, biasa aja kali.” Aku menepuk bahunya.

Entah dia lagi kesambet petir apa, dia malah makin diam. Tapi tatapannya itu lho, dalam banget. Padahal aku bukan daging sapi yang habis direbus terus dibumbu rendang. Lelaki itu mulai memegang pelan tanganku, matanya nggak lepas dari mataku. Ini juga kenapa badanku jadi merinding tapi nyaman begini. Padahal dulu tiap pendekatan sama siapa pun juga nggak pernah begini.

Lelaki ini memang unik.

Tahu-tahu aja mulutku berkata, “Gas … aku tuh sebenarnya naksir naksir sayang kamu.”

Bagas bengong.

Aduh, mampus. Ah ya sudahlah, nanggung langsung aja. “Aku sih cuma mengungkapkan perasaanku saja, dan ini nggak bohong. Lama-lama kamu itu sering muncul dipikiranku, dan aku ingin terus berada di sisi kamu terus. Aku juga nggak maksa kamu buat terima atau tolak, semua ada di diri kamu, Gas.” 

Bagas masih tidak menjawab.

Tak lama, dia mengurai senyum, senyum tertulus yang belum pernah ku lihat sebelumnya. “Sebenarnya … aku juga … sayang kamu, La.”

Aku anggap itu sebagai jawaban iya.

Inilah awal dari kisah cinta kami.


1

BAGAS

“Paket Nasi Rames sudah sampai mana?”

“Woi ini kurang asin, ulang dari awal.”

“Satu paket nasi Padang, minumnya ganti es teh dan Satu udang telor asin. Berapa menit?”

Teriakan dan sahut menyahut antara kepala koki kepada kitchen crew sudah kayak makanan sehari-hari di restoran. Walau bising, bunyi buih dari masakan berkuah dan bunyi wajan yang beradu dengan sutil besi layaknya lagu penyemangat restoran. Pelanggan tidak boleh kelaparan. Suaranya terdengar dari kantorku karena letaknya persis di atasnya.

Pintu kantor terbuka. “Hai sayang.” Suara yang sangat kuhafal. Aku menahan bibir untuk tidak tersenyum.

Ella berada di ambang pintu kantorku sambil membawa rantang bertingkat. Dia duduk di sofa, membuka rantangnya satu persatu, aku mengamatinya dari meja kerja.

Aroma Pala dan bawang putih langsung menyeruak indera penciumanku ketika duduk di sebelahnya. “Hem, benar dugaanku. Kamu bawa soto Semarang hari ini.”

“Iya dong, Sayang. Hari ini sengaja aku bawa makanan kesukaan kamu. Dari kemarin lembur terus, mukanya jadi kusam gini.” Jari Ella menyentuh pipiku lalu memutarnya ke kiri dan kanan. “Sudah kubilang jangan lupa cuci muka sebelum tidur.”

Dia membuka rantang terakhir yang berisi nasi putih. Jadi, ada tiga rantang. Rantang pertama berisi lauk pauk seperti tempe kering, perkedel kentang, tempe mendoan. Rantang kedua berisi lauk soto, aroma daun jeruk, daun salam, dan sere. Apa Ella menambahkan santan hingga warnanya jadi hijau begitu? Saat kuambil suwiran ayamnya pakai sendok kuah yang Ella pinjam dari dapur, langsung saja kupotong dikit, ayamnya empuk, matang sempurna.

“Heh, ambil piring dulu. Jangan kemaruk deh,” tegur Ella saat mulutku hampir menyisap kuah soto beningnya yang sangat beraroma itu.

Aku mengangguk.

Ella menyodorkan mangkok dan langsung kuambil makanannya, tak lupa dengan lauk, terakhir memeras jeruk nipis untuk menambah aroma gurih. Soto semarang adalah makanan favorit dari seluruh makanan nusantara yang pernah kumasak. Tidak ada alasan khusus, tapi rasanya seperti segar saja setelah melalui suap demi suap.

KLIK.

Aku menghela napas seraya menggeleng sambil menghabiskan soto yang tinggal sedikit ini.

“Pacarku kalau makan ganteng banget,” puji Ella saat aku meliriknya sedang mengetik sesuatu di ponsel pipihnya.

“Kamu nggak bosen fotoin aku makan terus?” tanyaku iseng.

Ella menggeleng, senyumnya masih tidak hilang walau dia tidak menatapku sama sekali. “Habisnya kamu kalau makan itu, ya, Gas, aura gantengmu meningkat limaratus persen. Cowok kalau sudah ketemu apa yang dia suka itu makin menggemaskan. Apalagi lihat ekspresi polosmu itu.” Ponselnya dia taruh lagi di meja kopi, melanjutkan sisa makannya.

Ada-ada saja Ella ini. “Oh, ya, gimana harimu?” Aku memutuskan mengalihkan topik pembicaraan saja.

Ella menutup sendok garpu searah jam 5 lalu menaruhnya di meja kopi. Dia mencomot perkedel kentang yang tinggal satu. “Tadi habis syuting di Glodok, Gas, nyobain makanan penjual Abang-abang sekitar situ. Perutku haduh kenyang banget habisin semua tuh makanan. Aku sampai minta jeda beberapa menit ke juru kamera biar nggak muntah. Semoga mukaku nggak kucel deh pas videonya udah tayang. Awas aja kalau nggak, bakal kuhajar si Rendi.” Dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata berbinar-binar. “Kamu sendiri, gimana, Gas?”

“Ya begini saja, La. Berkutat sama uang, laporan karyawan, mengawasi kegiatan dapur, atau sekali-sekali ngobrol sama pelanggan. Tapi … itu semua kebayar kok dengan perkembangan restoran yang pesat.”

Tiga tahun mendirikan restoran Nusantara Herritage benar-benar perjuangan luar biasa bagiku dan Andri. Ada masa di mana kita hampir saja gagal balik modal. Tapi berkat kerja sama yang baik dengan semua pihak, hal itu tidak terjadi lagi. Sekarang, NH sudah memiliki duapuluh kru dapur, duapuluh pegawai, dan omzetnya mencapai puluhan juta. Membangun bisnis butuh kesabaran, ketelitian, komunikasi, dan ketekunan. Satu lagi, jeli melihat peluang pasar.

“Sepertinya kamu memang benar-benar tekun waktu kelas kewirausahaan dulu.”

“Dan kamu …,” balasku, “Jualan Takoyaki sama telur gulung pas pameran waktu itu.”

Ella membusungkan dada. “Kelompokku menang dong waktu itu gara-gara dua makanan itu,” ujarnya bangga.

Sate telur gulungnya Ella memang enak sih, seasoning yang dia pakai benar-benar mengeluarkan rasa gurihnya. Aku yakin waktu itu dia tambahin airnya agak banyakan soalnya waktu dia gulung dari wajan itu memang nempel sempurna pada lidi.

Sisa jam istirahat kugunakan untuk diskusi lebih panjang tentang harga bahan pokok yang naik. Pada dasarnya rutinitas seperti ini memang jadi acara pacaran kami sehari-hari selain berburu kuliner. Senang rasanya melihat Ella yang antusias saat memperagakan metode menumis makanan atau celetukan acara masak legendaris pada stasiun televisi swasata yang tayang setiap hari Sabtu pukul tujuh pagi.

***

Restoran tutup pada pukul sembilan malam, tapi ada beberapa kru dapur yang bertugas, biasanya sih tim dishwasher sama pelayan yang lagi bebersih meja dan kursi. Begitu juga denganku, uang penjualan yang bertengger di kasir selama lebih dari duabelas jam menanti untuk tersebar di ruanganku. Sebagian berpamitan padaku dan saling mengingatkan berhati-hati di jalan.

“Ah capek banget.” Entah dari mana Andri tiba-tiba muncul di ruanganku. Refleks tanganku memukul satu kakinya yang sudah di atas meja kopi.

“Nggak sopan, Ndri, ah.” Kaki Andri benar-benar mengusik konsentrasiku. Jadi bingung tadi sampai mana menghitung laba restoran di pembukuan.

“Makanya, Gas, pakai aplikasi kasir online aja. Lebih cepet tahu nggak.” Aroma keringat bercampur jenis makanan menguar di seluruh ruangan.

Aku melotot padanya, tidak menjawab celetukannya. Aku paham maksudnya, dia tidak ingin aku terlalu lelah dan ribet dengan semua pembukuan dan kertas-kertas bertumpuk ini. Aplikasi kasir online memang sedang menjamur di kalangan pebisnis usaha menengah seperti kami. Semua kegiatan jadi satu dalam aplikasi, mulai dari perkembangan penjualan, kasir itu sendiri, sampai monitoring bahan-bahan masakan.

“Ah, ntar aja deh. Kalau ganti lagi ribet, harus ngurus dari awal lagi.”

Salah satu alasanku belum mau mengganti pengurusan finansial restoran ke metode digital adalah ribet. Harus menginput lagi bahan-bahan masakan seabrek, menyalin kembali grafik perkembangan keluar masuk penghasilan restoran. Belum lagi mengarahkan penghitungan gaji pegawai dan pajak-pajaknya. Itu memang tugas dari divisi keuangan, tapi sisi perfeksionisku mengingatkan untuk selalu periksa kembali semuanya. Sejauh ini cara konvensional masih aman, terbukti sudah restoran ini bertahan.

“Eh, Gas, zaman sekarang itu semua serba praktis. Aplikasi itu malah nggak bikin dirimu stress. Bisa ngawas dari mana aja, biar kata kamu lagi meeting sama distributor ayam bisa intip sedikit-sedikit tuh keadaan inventaris bahan dan jumlah pengunjung. Atau nambah rekrutan buat manager?” Gaya bicara Andri kedengaran seperti sales keliling, bukan juru masak.

“Uang-uang bisa terlihat lebih jelas dengan grafik. Gaji lu bakal aman dah buat bayar cicilan rumah yang di BSD sama modal nikah. Sekalian tuh ngebungkam mulut Maknya dia,” tambahnya berapi-api.

Ada-ada saja si Andri ini. Aku yang mengalami, dia yang repot.

Pembicaraan kami harus berhenti dengan kemunculan Pak Supar. Office Boy senior yang sudah mengabdi sama kita berdua dari awal berdirinya restoran ini. “Permisi, Mas-Mas, maaf mengganggu kegiatan sampeyan. Ada tamu di depan katanya dari majalah atau gimana gitu.”

Kami berdua menuju restoran, dari belakang sepertinya aku tahu tapi masih samar-samar. Sampai Andri lebih dulu mendekat dan berkata, “Weitsss sahabat gue satunya lagi si Neneng. Apa kabar lu? Datang juga rupanya,” serunya.

Neneng? Neneng yang aku tahu itu adalah sahabat kita berdua waktu SMP dulu. Neneng anak mading sekolah yang hobi tawuran sama anak sekolah tetangga dulu. Apa jangan-jangan …? Rambutnya dikuncir kuda dan mengenakan kemeja rapi dan celana jins biru. Itu bukan gaya rambut Neneng, dia lebih suka potong model emo-emo.

“Heh malah bengong. Sini lah, Bro.” Andri ternyata sudah duduk lebih dulu.

“Halo … Bagas, ya? Apa kabar? Lama nggak ketemu banget nih,” sapanya lebih dulu ketika aku menarik kursi di sebelah kirinya.

Gadis di hadapanku ternyata benar-benar Neneng, bedanya dia terlihat lebih rapi. Neneng benar-benar lebih dewasa sekarang, penampilannya lebih rapi. “Baik, Neng. Lo sendiri gimana?” balasku sambil duduk.

Bekas luka pisau di pipi kirinya sudah hilang. Gadis itu masih pakai anting di atas daun telinga. Ini benar-benar Neneng. “Baik juga dong, Gas.”

Andri langsung bicara. “Eh iya, Neng. Sudah pesan, kan? Kalau belum biar gua panggilin dulu. Ma—”

“Nggak usah, Ndri gue bawa minum sendiri kok. Nggak usah repot-repot lah, Bro,” sela Neneng.

Andri tersenyum maklum. Sudah aku duga dia bakal melempar senyum aneh gitu. Aku, Neneng, sama Andri memang sahabat dari kecil dan sekolah bareng dari TK sampai SMP. Dia sama Andri itu satu paket, suka melempar candaan, main konsol di rental PS, sampai mengajari Andri ilmu defense yang tujuannya adalah mendampingi Neneng dalam menghadapi musuh-musuh sekolah sebelah. Aku sama Neneng juga dekat kok, kita sering diskusi permainan-permainan menarik dan olahraga, cuma nggak seintens dia sama Andri. Aku ingat mereka berdua nangis-nangis bareng di rumahku waktu dia bilang bakal melanjutkan SMA-nya di Surabaya. Setelah selesai, mereka malah maraton nonton trilogi film High School Musical.

“Ya elah ini anak bengong mulu dari tadi. Kangen calon bini Lo, hah?” Lagi-lagi suara heboh Andri membuyarkan kenangan lama.

“Hobi nglamun Lo nggak pernah ilang banget,” timpal Neneng.

“Maaf,” ujarku tidak enak. “Tadi kalian ngomongin apa memangnya?”

Neneng menjawab lebih dulu, “Jadi, beberapa hari lalu aku menghubungi salah satu orang di divisi publikasi restoranmu untuk minta wawancara buat majalah Food and Travelista. Nah, mereka katanya sudah minta izin ke kamu selaku pendiri, Gas, dan ternyata kamu setuju. Tapi tim publikasimu belum follow up surelku.”

Oh ternyata itu tujuan Neneng kemari. “Maaf, ya, Neng, buat Lo harus sampai ke sini. Besok bakal gue infokan ke mereka sekaligus membicarakan jadwalnya, ya.”

Neneng terlihat lega dan mengucapkan terima kasih. Gadis itu benar-benar berubah, tidak ada lagi sifat pemarah dan kasar. Sepanjang pertemuan, aku jadi pendengar sepak terjang Neneng melalui pertanyaan yang dilontarkan Andri. Neneng menggapai impiannya menjadi wartawati majalah pariwisata. Rupanya mereka berdua beberapa kali ketemu, pembicaraan mereka mengenai politik dan  makanan mengalir deras. Tapi, sepertinya ada sedikit perbedaan dari keduanya kali ini, entah apa.

“Lumayan, biar restoran NH bisa panjat sosial kalau artikel lo jadi dimuat sama F&T.” Andri mengangkat alis dengan bangga. “Habisnya jumlah pengunjung meningkatnya nggak seberapa banyak. Gimana mau buka cabang kalau gitu, Neng?”

“Tunggu, F&T?” selaku sebelum Neneng membuka mulut. F&T kan …

“Ya ampun, Bro, baru ngeh kerjaannya si Neneng di mana? Dia sekantor sama calon bini Lo dah,” sambar Andri.

Whoa whoa, gue ketinggalan berita nih sepertinya.” Neneng mulai angkat bicara. “Sejak kapan Lo punya pacar? Wah perubahan besar, hebat, hebat daebak.” Gadis itu bertepuk tangan cepat. Inilah sisi Neneng yang ditunjukkan hanya pada kami berdua, sisi anak kecil.

“Syukurlah, terima kasih, Neng.”

Sudah kuduga, Neneng menuntutku untuk cerita selengkap-lengkapnya tentang Ella. Mulai dari pertemuan pertama kami di kampus saat berkenalan di kelas sampai sekarang. Neneng menopang dagu seperti anak kecil yang mendengarkan dongeng. Gadis itu baru berkomentar saat aku selesai bercerita, “Ella memang keren, bisa naklukin Lo yang pendiam dan hidupnya flat selain makanan. Dia memang keren banget sih di kantor, ide-ide yang dia lontarin tuh seger banget. Kita semua tuh sampek ‘Eh anjir kok baru kepikiran?’ Dia juga kalau review jujur banget. Makanannya tuh bener-bener dicobain bukan sok-sokan mau coba tapi pas off kamera langsung disodorin ke kru. Sayang banget gue nggak di divisinya dia, pengen gitu jalan-jalan sambil icip makanan.”

Sebenarnya dibalik semua kesuksesan kami berdua, terdapat beberapa diskusi dan pertengkaran didalamnya. Tapi kita tidak suka publikasikan hal itu, bisa berefek ke karir. Cukup bagikan hal-hal baik saja atau info-info bermanfaat. Aku dan Ella masih sama-sama mengenal dan memahami karakter masing-masing. Belum resmi secara negara dan agama.

“Duh gue jadi iri deh. Kapan gue punya pacar, ya?” Neneng jadi berandai-andai.

“Nggak usah jauh-jauh, ada di sini, Neng.” Andri tiba-tiba menunjuk dirinya sendiri. Aku tertawa, sungguh Andri dan rasa bangganya.

“Sama Lo? Idihhhh.” Neneng langsung mengernyit. “Yang ada mah adu mulut terus nggak bakal kelar-kelar. Rumah jadi neraka.” Mereka mulai adu mulut lagi.

Lebih baik menghubungi Ella lebih dulu saja. Sedang apa dia sekarang?

***