cover landing

Flawless Memories

By SHAB


“Just close your eyes. The sun is going down.
You’ll be alright, no one can hurt you now.”

(Taylor Swift, The Civil Wars-“Safe and Sound”)

Spotify Playlist: Flawless Memories

 

 

Tujuh tahun yang lalu

Melbourne, Australia.

 

 

"Andai saja kau yang mengantar-jemput. Adikmu takkan seperti ini, Raymond!"

"Aku minta maaf, Mom."

"Sudah, tidak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah telanjur terjadi."

Suara ribut kecil di sekitar membuat Emily terbangun. Ia membuka mata perlahan dan mendapati dirinya sudah berada di ranjang rumah sakit.

"Princess?" tanya sang ayah, Nicholas Osbert, saat melihat tangan Emily bergerak. Dengan raut khawatir, Nicholas berjalan mendekati ranjang tidur Emily, disusul oleh sang istri dan anak laki-lakinya.

Emily kini dibantu sang ayah untuk duduk. Ia langsung merasakan kepalanya yang begitu nyeri. Tak hanya itu, ia juga merasa perih pada tangan kanannya. "Aah," lirih Emily sambil melihat perban yang membaluti bahu kanannya.

"Pelan-pelan, Sayang," ucap ibunya, Christina Osbert, yang ikut membantu Emily.

"Raymond, tekan tombol itu," tunjuk Nicholas pada salah satu tombol yang berwarna merah. Raymond pun menekan tombol merah yang berfungsi untuk memanggil petugas jaga.

Kini Emily sudah dalam posisi duduknya. Ia kini dapat melihat seluruh isi kamar yang luas. Sebuah jendela besar yang memperlihatkan langit yang berwarna oranye, pertanda matahari akan tenggelam. Ia juga melihat gedung-gedung di samping rumah sakit yang menandakan lantai kamar Emily berada di lantai atas.

Emily kini menarik napasnya perlahan dan langsung mencium aroma rumah sakit yang begitu menenangkan. Lalu juga terdapat aroma wangi dan segar. Emily mengikuti pada sumber aroma yang ternyata berasal dari bunga-bunga segar yang ada di samping ranjang Emily.

"Itu semua dari teman-teman modelmu, Emily," jelas Christina sambil tersenyum.

Kemudian pandangan Emily teralihkan saat Raymond mengelus punggung tangannya dengan lembut. "Apa yang kau rasakan sekarang, Em?"

"Kepalaku sedikit sakit," ucap Emily sambil memegang kepala dengan tangan kiri. Jari-jarinya kini mulai meraba kepala yang ternyata ikut diperban seperti bahu kanannya. Jadi inilah penyebab mengapa kepalanya terasa sakit sejak ia bangun.

Tak lama, seorang pria tua yang berbalut jas putih masuk ke kamar. "Halo, Emily Osbert! Pasien favoritku," sapa dokter itu sambil tersenyum. Emily pun membalas senyuman sang dokter.

"Tadi dia bilang kepalanya terasa sakit, dok," jelas Raymond pada dokter.

Dokter mendekati ranjang Emily dan mulai memeriksa keadaan Emily. "Apakah kepalamu terasa sangat sakit?"

"Sedikit, dok," jawab Emily pelan.

"Syukurlah. Namun beri tahu jika semakin sakit. Aku akan memberimu obat Pereda nyeri," ujar dokter.

Kini Emily memandang keluarga juga dokternya dengan raut bingung. "A-apa yang sebenarnya terjadi padaku?"

"Kau mengalami kecelakaan yang menyebabkan cedera pada kepala. Masih butuh beberapa hari untuk dapat melepas perban di kepalamu," jelas dokter.

"Kecelakaan?" tanya Emily lagi dengan heran.

"Kau mengalami kecelakaan mobil sepulang prom nightPrincess," jelas Nicholas.

Emily kemudian jadi membisu karena otaknya masih berusaha memproses sesuatu. Ia tidak merasa pernah mengikuti prom night.

"Umm, apa kau tidak ingat, Princess?" tanya Nicholas heran karena Emily masih memasang raut kebingungan.

Dokter pun berusaha menenangkan keadaan dan membantu Emily. "Coba ceritakan, hal terakhir apa yang kau ingat, Emily?”

Emily pun menarik napas sejenak dan perlahan memejamkan mata. Ia mengingat kejadian saat sedang melakukan pemotretan untuk sebuah majalah remaja dengan teman-teman modelnya. "Aku ingat saat melakukan pemotretan majalah Teen Up. Aku juga ditemani Mom saat proses pemotretan berlangsung," kata Emily mendeskripsikan ingatannya sambil tersenyum. Itu adalah momen menyenangkan baginya karena ia sedang mengenakan gaun rancangan dari desainer favorit.

"Baiklah, lalu?” tanya dokter lagi.

Bayangan dalam pejaman mata Emily kini menghitam. Hanya itu yang bisa ia ingat sebagai kegiatan terakhirnya. Lalu dahi wanita itu mulai mengerut dalam. Ia sedang berusaha mengingat kejadian prom night yang dimaksud sang ayah tadi. Namun nihil! Tidak ada bayangan itu sama sekali. Semakin ia mencoba mengingat, semakin terasa sakit kepalanya. "Hanya itu saja," ucapnya lirih.

Emily pun membuka mata dan dikejutkan dengan sang ibu yang kini sedang menangis. 

"Mom?" tanya Emily pilu.

Christina mendekati Emily sambil mengusap air matanya. Ia mengelus-elus pelan tangan Emily dan berkata, "Emily, pemotretan majalah Teen Up itu sudah tiga tahun yang lalu."

Emily mengerjap tak menyangka. "A-apa? Bagaimana bisa?"

Raymond mendekati Emily dan menjelaskan dengan tenang. "Kau baru saja lulus sekolah menengah atas, Em."

Emily langsung menarik napas dengan gusar dan panik. Ia pikir prom night yang dimaksud adalah prom night merayakan kelulusan sekolah menengah pertama. "B-berarti sebentar lagi aku akan kuliah?" tanya Emily memastikan.

Raymond menjawab dengan anggukan pelan.

Emily mencoba mengatur napas pelan setelah mendapati kenyataan dirinya telah melewati masa sekolah mengenah atas, lebih tepatnya tidak mengingatnya sama sekali. Bagaimana bisa ia tidak dapat mengingat memorinya selama tiga tahun?

"Lalu, apa ada yang terluka selain aku?" tanya Emily lagi.

Christina menggelengkan kepala dan menjawab, "Kau mengalami kecelakaan tunggal, Emily. Kau yang menyetir."

Lagi-lagi Emily dikejutkan dirinya yang ternyata bisa menyetir. Apa yang kupikirkan saat itu? Mengapa aku menyetir sendiri saat malam hari?

Dengan segera, Nicholas memegang bahu istrinya dan menegurnya, "Honeyjangan—“

"Ini salahmu!" potong Christina sambil menyingkirkan tangan suaminya dari bahunya. "Kau yang membiarkan Emily untuk mengikuti prom nightAku sudah melarangnya."

Dokter berdeham untuk meredamkan ribut Nicholas dan Christina. "Mr. Osbert, Mrs. Osbert. Tolong jangan ribut di sini. Emily sedang dalam kondisi kurang stabil."

Nicholas dan Christina sama-sama terdiam setelah mendapat teguran dokter.

"Bolehkah saya berbicara berdua dengan Emily sebentar?" Dokter meminta izin.

Nicholas dan Christina sama-sama mengangguk kemudian berjalan keluar dari kamar. Saat Raymond hendak ikut pergi, Emily menahan tangan Raymond.

"Aku ingin ditemani kakakku, dok," pinta Emily. Ia merasa belum siap menerima apa yang akan dikatakan dokter nantinya. Ia membutuhkan sang kakak di sisinya.

Dokter mengangguk seraya tersenyum kemudian duduk di pinggir ranjang Emily. "Emily, aku sudah menduga hal ini setelah melihat hasil CT Scan-mu. Maafkan aku, namun kau mengalami amnesia retrograde di mana sebagian memori dari masa lalumu tak bisa kau ingat. Ini sudah di luar kemampuanku, jadi aku menyarankan untuk melakukan konsultasi rutin dengan psikiater."

Kini pegangan tangan Emily semakin dieratkan pada tangan Raymond. "Apakah ingatan Emily bisa kembali, dok?" tanya Raymond.

"Bisa iya, bisa tidak. Itu semua tergantung dengan kondisi Emily," jelas dokter. "Mungkin itu saja yang ingin kusampaikan. Sekali lagi, aku minta maaf jika hal ini menimpamu. Aku yakin kau adalah wanita yang kuat, Emily Osbert."

Mata Emily langsung berkaca-kaca saat mendengar dirinya dipanggil wanita yang menandakan dirinya sudah dewasa. Ia sudah melewatkan masa remajanya selama tiga tahun dan mendadak menjadi wanita dewasa.

Saat dokter sudah keluar dari kamar, Emily sempat mendengar samar-samar suara orang tuanya yang masih ribut. Entah apa yang sedang mereka bicarakan saat ini.

Lalu Emily menatap Raymond yang sedang menundukkan kepalanya. "Raymond," panggilnya.

Raymond mengangkat kepalanya dan Emily kini dapat melihat sebuah raut penyesalan pada wajah kakaknya itu. "Maafkan aku, Em. Mom benar, seharusnya aku yang mengantar-jemputmu saat prom night waktu itu. Tidak seharusnya aku—“

"Shussh," potong Emily sambil mengelus lembut tangan Raymond. "Semua sudah terjadi. Yang terpenting aku baik-baik saja sekarang," ucapnya sambil tersenyum tipis, meski di lubuk hatinya Emily masih takut dan tidak mengerti dengan situasi saat ini.

Semua begitu membingungkan, namun Emily ingin terlihat baik-baik saja untuk membuktikan dirinya adalah perempuan yang kuat. Ia sudah cukup sebal dengan beberapa orang yang menganggapnya sebagai anak bungsu dari keluarga konglomerat yang manja. Itulah sebabnya ia memilih untuk berkarier di bidang yang ia minati, yakni fashion, sejak usianya dua belas tahunOrang-orang pun jadi tidak akan menganggapnya sebagai anak perempuan yang bergantung pada uang orang tuanya yang merupakan seorang pebisnis properti cukup terkenal di Australia.

Kini Raymond mengelus punggung tangan Emily. "Em, berjanjilah padaku untuk tidak menyerah dalam karier modelingmu. Aku akan membantumu sebisaku agar kau dapat kembali berkarier."

"Dapat kembali berkarier? Apa maksudmu, Ray?" tanya Emily kaget.

Raymond kini menatap Emily serius. "Maaf aku harus memberi tahumu ini sekarang, namun agensimu yang sekarang sudah mengeluarkanmu karena…." Tatapan Raymond beralih pada bahu kanan Emily.

"A-apa?!"

"Pokoknya aku akan membuat agensi lamamu menyesal telah mengeluarkanmu hanya karena luka itu. Sekarang, aku akan mengenalkanmu dengan salah satu temanku agar kau bisa masuk dalam agensi model mereka," jelas Raymond sambil merogoh ponselnya, lalu mulai mengetik pesan.

"Raymond, jangan begini caranya," Emily memohon.

"Emily, aku tahu kau ingin berusaha sendiri tanpa mengandalkan orang lain. Namun sekali lagi, kecelakaan ini adalah kesalahanku. Jadi biarkan aku menebusnya," pinta Raymond dengan mata yang kini tampak berkaca-kaca.

Emily jadi tidak tega melihat keadaan kakaknya sehingga ia pun langsung memeluk Raymond. "Kecelakaan ini bukan salah siapa-siapa. Jadi kumohon, jangan salahkan dirimu sendiri," pinta Emily dalam pelukan dengan air mata yang akhirnya berhasil lolos dari matanya.

Tak disangka-sangka Raymond juga ikut merintikkan air mata dalam pelukan. "Emily, kumohon. Izinkan aku membantumu untuk mendapatkan pekerjaanmu kembali. Kau memiliki bakat yang luar biasa dalam modeling dan aku tidak ingin kau menyerah begitu saja hanya karena luka pada bahumu."

Emily melepaskan pelukan lalu menatap Raymond sambil tersenyum lemah. Ia pun mengangguk, menerima bantuan yang Raymond tawarkan. "Baiklah. Terima kasih, Ray."

Lalu ponsel Raymond berdering. Ia kini tersenyum dan berkata, "Charlotte Hill meneleponku. Katanya dia senang kau ingin bergabung dalam agensinya." Raymond berdiri lalu mengangkat telepon itu.

Emily tentu tidak asing dengan nama wanita itu. Dia adalah model cukup terkenal yang masuk dalam agensi model yang bergengsi, The Modéles Management. Ia merasa beruntung bisa memiliki privilege, masuk dalam agensi bergengsi itu dengan mudah. Namun di sisi lain ia juga meragukan dirinya sendiri. Emily menatap bahu kanannya yang terbalut perban. Akankah ia bisa menjadi model meski dengan lukanya sekarang?

***

Hai! Untuk menemani baca kalian, ada playlist lagu yang bisa kalian dengar di Spotify: Shabrina Huzna, berjudul Flawless Memories.

Selamat lanjut ngebucin, Cabucin~