cover landing

Finding My Sirius

By niamaharani


Seorang pemuda berjaket cokelat tampak keluar dari meeting room Madinah Hotel Kemang. Melangkah mantap menuju rooftop garden di atas lantai 7. Mencari udara segar sekaligus mengistirahatkan indra pendengarannya. Telinganya pekak mendengar suara yel-yel dari peserta Islamic Training for Muslimpreuner angkatan V yang masih cetar membahana. Para trainee itu belum ada tanda-tanda lelah dan mengantuk. Tidak heran juga karena pesertanya para eksekutif muda yang terbiasa melembur pekerjaan. Pukul sebelas masih termasuk awal malam bagi mereka. Pemuda itu Zaki, pemilik Blackseed Organic Farm, salah satu panitia yang paling getol mencari peserta.

Ia memutuskan duduk di kursi kayu panjang yang didesain melingkari sebuah meja. Di sekelilingnya beberapa tanaman hias ditata apik berpadu padan dengan pendar lampu taman. Dia melipat tangannya di depan dada dengan punggung bersandar. Kepalanya menengadah menatap langit. Tidak ada mendung  menggayut. Hujan sepanjang hari tadi menyapu seluruh awan hitam. Bulan dan bintang saling berlomba menampakkan pesonanya. Dia tersenyum menatap sajian istimewa di hadapannya. Sesungguhnya pada setiap malam, Allah hadirkan nuansa yang berbeda pada langit yang sama. Masha Allah.

Pandangannya terpaku pada sabuk Orion. Petani seperti dirinya, kerap menyebutnya lintang luku atau bintang bajak karena bentuknya yang menyerupai alat tradisional untuk menggemburkan sawah. Saat lintang luku terlihat jelas di langit barat, pertanda telah tiba waktu mengolah sawah. Telah datang masa bercocok tanam.

Matanya lalu mengurut tiga bintang di rasi Orion: Mintaka, Alnilam, dan Alnitak. Tiga bintang pemandu untuk melihat rasi bintang lainnya. Ada Betelgeuse di sebelah kiri bawah. Bintang raksasa dengan sinarnya yang kemerahan. Di kanan atas Orion, ada bintang Rigel yang memancarkan cahaya kebiruan. Bintang-bintang itu terang dan memukau dengan kilaunya. Namun, pandangan Zaki tersita pada satu bintang putih yang berbinar paling terang. Tidak salah lagi. Itulah Sirius. Bintangnya bintang di langit malam. Ketiga bintang di lintang luku menuntunnya menemukan Sirius yang terletak di rasi Canis Major, masih di sebelah kiri konstelasi Orion.

Sirius. Bintang yang akan tetap menyapa penduduk bumi di malam paling pekat dan dalam cuaca terburuk. Cahaya lemahnya seolah perlambang optimisme. Tidak ada alasan bersedih dan menyerah saat musibah datang bertubi, kiranya itulah pesan Sirius. Meski kali ini Zaki baik-baik saja, dia tetap berlama-lama memandangi Sirius. Cahayanya membuatnya populer sejak dulu kala. Bahkan sebagian bangsa Arab jahiliah menjadikannya sesembahan. Allah menegur perbuatan syirik mereka di dalam Al-Qur’an surat An Najm ayat 49, “dan bahwasanya Dialah Tuhan (yang memiliki) bintang Syi'ra”.

Berkali hatinya melafalkan keagungan Allah. Sirius dan Asy Syi’ra. Dua nama berbeda untuk satu benda yang sama. Sirius sangat terkenal, tetapi tidak untuk bintang Syi’ra. Dia asing di telinga bahkan di kalangan umat Islam sendiri. Zaki takjub pada kenyataan bahwa Sirius merupakan sistem bintang ganda. Sirius A dapat dilihat dari Bumi dengan mata telanjang seperti malam ini, tetapi tidak bagi Sirius B yang katai. Sirius A dan B saling mengorbit. Tidak terpisahkan sejak pertama kali diciptakan. Begitu informasi yang didapatnya saat masih SMA.

Dia membayangkan, andai terjadi pada manusia tentu mereka pasangan yang sangat romantis dan harmonis tentu saja. Kiranya Sirius layak dinobatkan sebagai bintang perlambang kesetiaan. Seulas senyum terlukis di wajah Zaki.

Akan tetapi,

Sirius saja diciptakan berpasangan ....

Begitu juga dia, bukan?

Namun, siapa jodohnya?

Itu masih misteri. 

Dia berharap agar esok  langit kembali penuh taburan bintang. Dia akan kembali menatap langit untuk  menemukan Sirius di antara milyaran bintang. Bintang paling terang di langit malam.

Andai menemukan jodoh semudah menentukan Sirius?

Nyatanya, jodohnya masih tersembunyi. Masih dirahasiakan Allah sampai waktu yang tidak dia ketahui. Di usianya yang ke-32 ini, usah ditanya berapa kali mamanya mendesak untuk menikah. Berusaha menjodoh-jodohkannya dengan putri-putri sahabatnya. Hasilnya nihil.

Beberapa kawan bahkan ustaz pembimbingnya pun pernah membantu mencoba menemukan jodohnya. Hasilnya belum memuaskan. Ustaz Aiman pernah membantunya menjalani taaruf. Baru bertukar biodata, dia sudah mendapat jawaban kalau proses taarufnya tidak bisa diteruskan. Pada proposal menikah yang dikirimkan melalui Ustaz Aiman, Zaki  memasang foto sedang mencangkul dengan wajah bermandi peluh. Kakinya terbenam di kubangan lumpur tanpa sepatu boots, pakaiannya dihiasi tanah hitam yang mulai mengering di sana-sini, dan kulitnya kecokelatan terpanggang sinar matahari. Sebuah pemandangan yang sama sekali tidak keren. Siapa gadis yang sukarela bersanding dan menghabiskan hidup dengan petani? Zaki tidak kecewa, malah dia bersyukur. Allah menyelamatkannya dari istri yang tidak bisa mendukung usahanya.

Selain ditolak, Zaki juga pernah menampik. Dia menolak taaruf dengan kakak satu indekos adiknya. Zaki mengelak karena rumah gadis itu jauh di ujung timur Jawa, sementara dia tidak bisa memindahkan bisnisnya ke Tanah Blambangan. Gadis itu pun tidak mungkin diajak tinggal di Jakarta karena dia ASN di kotanya.

Terakhir dua minggu lalu, dia ditawari taaruf dengan putri sahabat mamanya. Namanya Anggita. Nama yang cantik. Sosoknya pun memesona seperti artis. Kulitnya putih bak pualam. Dia menolak karena yakin kalau Gita tidak mungkin mau diajak berjalan-jalan di pematang sawah tanpa high heels-nya dan tas mewah yang dijinjingnya ke mana-mana.

Zaki tidak berapriori. Dia cukup realistis. Mamanya saja, wanita yang paling mencintainya sedunia dan paling mengerti dirinya, tiap kali ke sawah hanya berdiri di pematang terluar. Itu pun sambil membawa payung demi menghindari sengatan matahari. Lain mamanya, lain pula adiknya. Quinsha memang masih mau berjalan-jalan di antara pematang, berbahagia menyapa ibu-ibu buruh tani, dengan senang hati mengantar makanan dan minuman ke tengah-tengah mereka. Namun, Caca—nama panggilan Quinsha—mendadak menjadi patung dengan wajah pias jika melihat ular hijau melintas. Detik berikutnya dia akan menjerit-jerit melihat binatang melata itu membawa tikus atau katak dalam mulutnya. Di lain waktu, dia akan meloncat-loncat kegelian mendapati ulat atau cacing menempel pada kaus kakinya.

Syarat menjadi istri Zaki sebenarnya sederhana. Dia siap menjadi ibu tani yang salehah. Adakah?

**

Jangan salahkan hujan jika tak turun di atas laut, karena awan yang telah jenuh air, sungguh tak kuasa menentukan ke mana rinainya akan turun. Awan pasrah pada angin yang membawanya.

Mungkin laut bertanya, mengapa hujan kerap turun di pegunungan. Mengabaikan peran lautan yang selama ini paling berjasa dalam perjalanan siklus air. Dengan penuh sesal laut berkubang dalam persoalan mengapa rinai menjadi milik sang daratan. Semoga laut tak lupa, sepanjang perjalanannya menuju samudra, limpasannya telah banyak memberi kehidupan. Sedang pada akhirnya limpasan sang rinai akan selalu kembali ke lautan. Semoga laut tak egois, menginginkan rinai hanya untuk dirinya.

Sama seperti laut, kadang kala manusia menginginkan segala sesuatu berjalan sesuai logikanya. Tanpa merenungi akan selalu ada mekanisme yang Allah atur untuk segala sesuatu. Mekanisme-Nya yang syarat hikmah.

Boleh dibilang Rentsa memiliki segalanya. Bisa mengabdi di rumah sakit rintisan almarhumah ibundanya adalah impiannya sejak dulu. Tak berprofesi seperti Bunda memang, tapi jabatan yang dimilikinya kini adalah hasil dari dedikasinya sepenuh kemampuan.

Asy-Syifa Medical Centre adalah rumah sakit  yang pernah dirintis almarhumah Dokter Maryam, ibunda Rentsa, bersama rekannya. Sekalipun Rentsa memiliki saham di rumah sakit tersebut, dirinya tak pernah membuka jati diri. Sebagai sarjana ahli gizi, Rentsa adalah pegawai yang menempuh kariernya seperti biasa. Jabatan yang kini disandangnya pun adalah hasil kerja keras mengandalkan kemampuannya.

Itu secara karier. Lalu secara paras? Gen Jawa dan Tionghoa dari eyang kakung, dan gen Pakistan dari eyang utinya telah membentuk paras Dokter Nesa—kakak Rentsa—dengan proporsional dan wajah Rentsa adalah duplikasi ibundanya.

Dengan pekerjaan yang mapan dan paras yang ayu seharusnya kehidupan Rentsa sudah dikaruniai keluarga kecil yang bahagia. Namun di usianya yang memasuki 29 tahun, Rentsa masih sendiri. Meskipun demikian ia tak pernah ambil pusing. Dia tak tergesa untuk menikah. Terlebih, Rentsa tak pernah percaya perjodohan. Ia juga bukan tipe wanita yang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada lawan jenis.

Rentsa tak ingin seperti si laut yang masih menginginkan rinai. Untuk saat ini biarlah semua berjalan sewajarnya. Kehidupan Rentsa saat ini didedikasikan untuk bekerja sepenuh hati. Men-support Asy-Syifa dengan caranya.

Seperti hari ini, lagi-lagi Rentsa menjadi Rentsa Si Krepuskular. Tak mau kalah dengan hewan-hewan yang aktif semenjak sebelum fajar menyapa. Ada titipan bekal makan siang dari kakak iparnya, Saphira, dan ada meeting yang harus dia hadiri. Alhasil semua harus dipersiapkan saat pagi masih menghitam.

Rentsa berdandan serapi mungkin. Setelan kerja berupa blazer dan celana panjang slim fit-nya selalu menjadi pilihannya karena membuatnya lebih mudah bergerak. Kitten heels pump-nya hari ini berwarna senada dengan blazernya, warna toska, warna seragam di Asy-Syifa. Kerudung hijau mint-nya berpadu cantik dengan lipstik nude yang dia oleskan. Bagi Rentsa penampilan adalah kunci performa dan profesionalitas.

**

Pohon palem botol melambai ditiup embusan angin  yang sepoi-sepoi. Bunga semak warna-warni terlihat bergerombol cantik, merisak perhatian serangga  untuk tak sabar mendekat. Sepanjang selasar timur yang kini dilalui Rentsa memang sisinya dipenuhi tanaman penutup taman.

Semakin mendekat pada jajaran tenda kanopi, Rentsa bisa melihat kakak iparnya sudah duduk menunggu dan melambai padanya.

"Lama amat sih, Kak?" keluh Saphira begitu Rentsa mendekat.

Saphira memang kakak ipar Rentsa, namun perkara usia Rentsa lebih tua empat tahun. Mendengar keluhan kakak iparnya itu, Rentsa hanya mengangkat sebelah alisnya. Apanya yang lama, jam makan siang memang jam 12 kan?

"Kok, masih bawa kerjaan? Lagi jam makan siang ini. Bekal makan siang titipanku dibuatkan, kan?"  Lagi-lagi Saphira mengeluh, kali ini soal kebiasaan Rentsa yang masih saja membawa pekerjaan saat makan siang.

"Kakak ada meeting jam setengah dua nanti. Masih banyak yang harus dipersiapkan. Lontong sayur favoritmu sudah Kakak buatkan, nih."

Setelah duduk dengan nyaman, Rentsa menyimpan setumpuk berkas dan menaruh lunch box yang berisi lontong sayur dengan kuah spesial bumbu Padang ditambah labu siam dan pakis di hadapan Saphira. Tak menunggu lama, Saphira segera membukanya, meraih sendok, dan dengan bersemangat menyuapnya.

"Gimana, enak?"

Rentsa menumpukan dagu di tangan, menanti respons Saphira dengan sabar. Namun Saphira tak segera menjawab. Tangannya dikibaskan di depan mulutnya, bibirnya yang tanpa lipstik terlihat memerah dan ada titik keringat di pelipisnya. Saphira benar-benar kepedasan.

"Enak, Kak, pedasnya mantap," ucap Saphira setelah meminum air mineral.

Rentsa tersenyum puas. Tak sia-sia usahanya dari sebelum subuh tadi berjibaku di dapur. Rentsa memang selalu tak kuasa menolak permintaan kakak iparnya jika ingin dimasakkan sesuatu, selain juga memasak adalah hobinya.

"Kakak, nggak ikut makan?"

Rentsa menggeleng. Dia angkat lunch box kecilnya yang berisikan sandwich isi sayuran.

"Lontong sayurnya buat yang lagi kelaperan aja. Ngeliat kamu makan Kakak dah kenyang."

"Ya ampun, Kak, cuma sandwich. Itu sih menu sarapan."

Rentsa tak menjawab, dia hanya mengangkat bahu. Tentu saja sandwich isi ini adalah bekal sarapan yang belum sempat Rentsa makan. Hari ini jadwalnya cukup padat. Dia harus menghadiri meeting karena Bu Fatma, kepala Instalasi Gizi, berhalangan hadir.

Sambil memakan sandwich-nya dengan perlahan, Rentsa meneliti kembali berkas-berkas yang dibutuhkan untuk meeting. Pesan Bu Fatma, kali ini instalasi gizi harus berhati-hati. Tidak boleh kecolongan lagi seperti periode lalu. Instalasi gizi memang sempat ditipu mentah-mentah oleh supplier sebelumnya. Tugas Rentsa hari ini adalah memastikan supplier kali ini tak melakukan tipu-tipu. Beras, sayuran, dan buah organik yang akan diolah oleh rumah sakit harus benar-benar memenuhi standar kualitas dan kealamian proses pertaniannya. No chemical substance added.

"Eh, Kak, ada lagu bagus, loh. Kukirim ke HP Kakak, yaa."

Lontong dalam lunch box sudah habis. Usai merapikan bekas makannya, Saphira segera meraih HP milik Rentsa. Rentsa hanya melirik sekilas. Terserah apa yang akan dilakukan Saphira dengan gawainya. Berkas di tangannya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini.

"Lontong sayurnya legit banget, sih, Kak. Emang resepnya apa, Kak?" tanya Saphira beberapa saat kemudian. Gawai milik Rentsa sudah disimpan di meja.

Rentsa mengangkat kepala, fokusnya kini beralih pada Saphira.

"Gampang." Rentsa menutup berkas, lebih mendekat pada Saphira. "Cukup ditaburi dengan bumbu cinta."

Saphira pun tergelak.

"Kayaknya Kakak salah, deh, mengalamatkan bumbu cinta ini padaku. Sia-sia. Yang lebih tepat menerima bumbu cinta ini belahan jiwa Kak Rentsa."

Rentsa hanya memandang datar Saphira. Selalu saja bahasannya mengarah ke sana.

Masih dengan sisa tawanya Saphira lebih mendekat pada Rentsa, berbisik lengkap dengan gerakan tangan, "Makanya mau, ya, dikenalin sama temen Mas Lentsa?" Saphira tersenyum sembari mengerjapkan mata.

Duh, Saphira, tak bosan-bosannya menawari Rentsa.

"Sepertinya jawaban diskusi berulang kita ini masih sama, Saphira. No!"

Sandwich sudah habis, berkas masih harus dicek. Merapikan berkas dan lunch box, Rentsa memutuskan menyingkir. Jengah dengan bahasan yang itu-itu saja.

Saphira menahan tangan Rentsa, memintanya untuk jangan pergi dulu. "Meeting-nya jam setengah dua, kan? Belum juga jam setengah dua, Kak."

"Sudah zuhur. Kakak mau salat dulu." Rentsa akhirnya bangkit.

Tidak akan ada habisnya kalau mengobrol tentang perjodohan bersama Saphira. Kembali menyusuri selasar rumah sakit, Rentsa menyingkap lengan blazernya, melihat pada jam tangan platinanya. Masih 45 menit sebelum waktu meeting, Rentsa harus bergegas. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, langkah kakinya diperlebar. Kitten heels pump miliknya beradu cepat dengan lantai keramik di selasar menuju kafetaria. Rentsa tetap berjalan sampai sesuatu menghentikannya.

BUGH

Rentsa menabrak seseorang. Laki-laki. Tanpa antisipasi, tablet milik lelaki itu terjatuh. Beruntung, berkas dan lunchbox di tangan Rentsa tak ikut terjatuh. Refleks, Rentsa menunduk dan merendahkan tubuh untuk segera mengambilnya. Harusnya Rentsa bisa menduganya, lelaki itu pun menunduk. Tentu saja itu kan tablet miliknya.

"Astaghfirullah," seru laki-laki itu.

"MAAF," kata keduanya spontan.

Tabrakan kedua tak terhindarkan, kini kening mereka yang beradu. Duh, jangan tanya bagaimana rasanya. Disorientasi sesaat karena penglihatan berkunang-kunang. Kepala yang berdenyut membuat Rentsa harus menggapai tembok terdekat dan bersandar. Setelah stabil Rentsa bisa sedikit bernapas lega. Dia harus segera bercermin, sepertinya keningnya memar dan harus segera dioles krim antibengkak. Saat akan berjalan kembali Rentsa hanya sempat melihat punggung lelaki itu yang berjalan tertatih dipapah rekannya. Uh, alhamdulillah lelaki itu tak memarahinya.