Di bawah lampu temaram dan alunan musik klasik yang sengaja diputar pelan, Elyss melipat pakaiannya dengan saksama. Perasaannya tak keruan setiap kali mengingat kembali mimpi itu. Mimpi itu memang bukan mimpi biasa. Elyss ingat dengan jelas kalau ia melihat seekor naga yang memberinya seutas tali berwarna merah. Elyss pernah melihat patung naga itu ketika berlibur ke Slovenia saat remaja bersama ayah ibunya. Ia yakin sekali kalau naga itu mengindikasikan soal Slovenia, bukannya negara lain karena naga merupakan simbol kota Ljubljana dan ia sendiri memiliki darah Slavic dari nenek buyut mereka.
Namun, ketika mengaitkan dengan mitologi benang merah itu. Ia jadi mengingat seseorang. Seorang pemuda yang ditemuinya di Changi saat ia dan keluarganya hendak berangkat ke Slovenia. Pemuda sempat terlupakan selama beberapa tahun terakhir. Namun, ketika mimpi itu datang, Elyss jadi gelisah. Mimpi yang terasa sangat nyata dan mengukir kembali harapan tentang cinta seumur hidup yang pernah diyakininya. Malam ini, keyakinan, kerinduan dan juga kebimbangan yang semakin dirasakannya itu melilit menjadi satu dan semakin mencengkeram hatinya.
Di satu sisi, Elyss menyadari bahwa keberadaannya di Singapura selama tiga hari belakangan tidak membawa perubahan signifikan. Ia tidak menemukan pemuda yang dicarinya itu meski bolak-balik ke bandara Changi. Padahal Elyss meninggalkan kehidupannya yang dipenuhi tenggat waktu di Jakarta dengan mengambil cuti demi mengejar keyakinan yang selalu disimpannya sejak kejadian di Bandara Changi bertahun silam.
Ia memang gegabah saat memutuskan untuk melakukan perjalanan hanya karena sebuah mimpi. Meski ia berasalan kalau ia merindukan Romie, tetapi ia tahu alasan sebenarnya. Kedatangannya ke Slovenia karena ingin menemui sepupunya itu. Romie adalah penghubung dirinya dan mimpi itu. Sepupunya itu juga satu-satunya yang tahu soal semua ini, jadi sepupu kesayangannya memang tokoh sentral dalam urusan ini.
Terhenti dari lamunannya, perempuan itu bergegas meraih tas selempang yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia segera meraih ponsel yang mengumandangkan Allegro ma non tropo dari Symphony no. 9 in D minor van Beethoven. Setelah mematikan musik di ponselnya, Elyss menceplungkan gawainya ke dalam tas berbentuk setengah lingkaran itu. Ia merapikan rambut panjangnya dan beranjak dari kamar hotel yang ditempatinya tiga hari ini. Ia meninggalkan barang-barangnya yang masih tergeletak di atas ranjang.
Malam di Singapura baru saja dimulai. Tak heran jika keadaan lobi hotel pun mulai ramai karena dipenuhi manusia yang bergegas ingin menikmati malam di Orchard Road. Tapi, Elyss tidak akan menikmati malam itu seperti yang lain. Bukan itu tujuannya menelusuri Orchard road sekarang. Ia hanya ingin menyusuri jalan itu. Berjalan saja, tanpa tujuan dan tanpa kenikmatan. Ia hanya ingin mengurai waktu dan juga pikirannya yang semakin tak tentu arah.
Baru beberapa langkah yang ia lakukan, ponsel yang berada di dalam tas berwarna cokelatnya berbunyi. Elyssa merogoh tasnya dan mengeluarkan benda berwarna silver itu. Sejenak, ia menatap layar pipih itu sebelum mendekatkan benda itu ke telinganya.
“Halo, Rom. Kenapa?”
“Lyss, kamu jadi ke sini?”
“Iya, jadi, besok. Kenapa?”
“Hah, syukur deh, aku pikir hari ini.”
Elyss meringis. Ia tidak benar-benar paham dengan perasaannya sekarang. Hal yang dirasakannya antara kesal dan menyesal. keputusannya yang bahkan belum dilaksanakannya itu.
“Gimana sih? Catat dong di jidat kamu itu, Rom.” Elyss menghela napas panjang. “Aku enggak mau tahu, pokoknya besok kamu harus bisa jemput aku. Jangan banyak alasan. Atau nanti aku aduin ke Papi!” ancam Elyss. Ia mulai frustasi.
Keputusannya berlibur ke Slovenia semakin terasa salah, terlebih jika ini sudah berhubungan dengan Romie. Elyss memiliki hubungan yang aneh dengan Romie karena mereka memiliki karakter yang berlainan. Mengingat kebiasaan Romie yang tidak bisa ditebak, Elyss mulai merasa ragu dengan langkahnya ke Slovenia. Mungkin kerinduannya itu bisa saja ditebus dengan meminta Romie datang ke Jakarta, bukan justru dirinya yang menghampiri Romie.
Namun, mimpi itu juga tidak bisa diabaikan oleh Elyss. Mimpi itu mengarahkannya ke Slovenia dan menekannya untuk pergi ke tempat itu secepatnya. Rasanya kalau menunggu Romie ke Jakarta maka semuanya akan terlambat. Selain itu, mimpi itu mungkin petunjuk kalau perjalanan ini yang akan membawanya kembali bertemu dengan lelaki spesial itu.
Sebenarnya, Elyss sendiri masih bingung dengan keputusannya ini. Mimpi yang terus berulang itu membawa desakan yang tidak bisa dilawannya agar ia menginjakkan kaki kembali ke negara yang menjadi salah satu akarnya itu. Mungkin saja hal itu jadi dorongan terbesar dalam mengambil keputusan ini. Elyss meyakini bahwa lebih baik berangkat ke Slovenia dan bertanya pada Romie soal lelaki yang ditemuinya di Changi bertahun silam.
Lelaki itu adalah salah satu teman Romie, jadi sepupunya itu adalah satu-satunya yang punya petunjuk soal ini. Walaupun misalnya pada akhirnya ia tidak akan bertemu dengan lelaki itu daripada tidak pernah mencoba dan digerogoti penyesalan serta hidup dengan berandai-andai tentang perjalanan ini di sepanjang sisa hidupnya. Meski sebenarnya semua ini juga salahnya, ia terlambat mencari dan baru tergerak gara-gara mimpi. Padahal seharusnya kalau ingin mencari lelaki itu maka ia bisa melakukannya bertahun lalu.
“Dih, malu sama umur. Masih suka ngadu!” protes lelaki di ujung sana.
“Ya kamu juga. Harusnya malu sama umur, udah tua masih kacau saja soal ngatur waktu.”
“Elyss. Mulai deh. Mulai. Ngalah-ngalahi Mami saja kalau kamu udah mulai nasehatin aku,” protes Romie di ujung sana. “Oke deh. Simpan pertengkaran kita buat besok. Well at least, kamu punya waktu seminggu lebih untuk melakukan hobi kamu which is bertengkar dengan aku setiap harinya.”
Elyss terkekeh dan melupakan kemarahannya. Memang benar yang dikatakan lelaki itu, ia menyukai perdebatan mereka. Pertengkaran mereka. Sebuah cara yang aneh untuk merasakan kedekatan dengan seseorang dan menunjukkan kasih sayangnya.
“Eh, bentar. Satu lagi, enggak ada petunjuk ya di sana?”
“Di sini? Di Singapura maksud lu?”
“Ya iya, Cantik. Masa di Indonesia, sih!”
Elyss menggelengkan kepala sembari menyahut pelan.”Nope. Nothing.”
“But, honestly Lyss. Petunjuk seperti apa yang kamu cari? Absurd banget. Lagi pula, apa kamu masih ingat lelaki itu seperti apa? I mean kalian bertemu bahkan sebelum kalian berdua puber. Masih anak-anak. Well we both have changed a lot.”
“Aku pasti akan mengenalinya, Rom. Aku yakin hal itu. Lagi pula, aku kan ketemu kamu. Ya pasti tidak sia-sia juga.” Mendengar perkataannya sendiri, Elyss ragu siapakah yang ia coba yakinkan.