cover landing

Evergreen

By Prisca Primasari


Tokyo, musim semi 2011.

 

Sejak tadi Rachel hanya memecahkan gelas.

Ditatapnya gelas-gelas itu dengan hampa, sebelum dia lemparkan ke dinding yang berada jauh di depannya.

Dia memejamkan mata saat mendengar suara pecahan yang nyaring. Jika fragmennya tak seperti yang dia harapkan, barangkali terbelah dua dan bukannya menjadi serpihan kecil, dia akan menggerutu tak koheren, lalu memecahkan keping tersebut sekali lagi sampai hancur.

Surat pemecatannya masih tergeletak di meja.

Para direktur dan manajer tanpa perasaan itu berpendapat bahwa Rachel telah melakukan kesalahan besar dan tak punya kesempatan untuk menebus; dan mereka pun akhirnya memutuskan untuk memecatnya.

Mengerikan.

Rachel tidak bisa membayangkan saldo rekening tabungannya tidak lagi bertambah, atau hanya tinggal di apartemen sepanjang hari dan mengisi waktu luangnya dengan memecahkan gelas.

Tadi dia sudah menelepon Okaasan—ibunya—sambil berbaring di lantai, menangis tanpa henti.

“Rachel, kumohon,” kata ibunya putus asa. “Ada apa denganmu? Sudah satu jam kau meneleponku, tapi sejak tadi kau hanya menangis. Kau kira biaya telepon dari Tokyo ke Nara murah?”

“Aku tidak apa-apa,” Rachel berkata dengan suara melengking. “Aku tidak apa-apa, Okaasan. Sudah kubilang, aku tidak apa-apa.”

Dia tidak bisa. Dia tidak bisa memberi tahu ibunya. Entah apa yang akan terjadi dengan harga dirinya jika ibunya tahu Rachel dipecat oleh perusahaan yang dulu dia elu-elukan, yang dia anggap tumpuan terakhir setelah berkali-kali berganti pekerjaan.

Padahal terakhir kali pulang ke Kyoto, Rachel masih bangga memamerkan kartu namanya dan menggoda adiknya yang selalu ingin berada di posisinya. Rachel Yumeko Rivière, Editor, Sekai Publishing.

Sekarang, Rachel berharap kartu nama itu tidak pernah ada.

Dia menghela napas setelah melamun lama, lalu berdiri dan melangkah menuju toilet. Pecahan-pecahan gelas dia biarkan berserakan di lantai; tidak akan ada yang terluka karenanya. Diabaikannya rak tinggi di ruang tengah yang menyimpan ratusan novel misteri dari berbagai era dan edisi. Di Sekai Publishing, Rachel membawahi divisi novel-novel misteri. Sempurna, sesuai keinginannya: posisi mentereng, bidang yang pas. Dan semuanya hancur begitu saja.

Rachel menatap cermin toilet. Penampilannya begitu menyedihkan setelah dirinya menangis dengan berbagai cara, juga mencela semua orang di Sekai Publishing dengan berbagai dialek serta bahasa. Mata bengkaknya mengaburkan iris biru forget-me-not. Rambut cokelat terangnya, yang biasanya lurus dan halus menyentuh punggung itu, kini tampak kusut. Wajahnya, yang selalu membuat orang terpana dengan perpaduan oriental dan Barat, jadi tidak tampak cantik lagi. Dia berharap tak ada yang melihat dia dengan wajah seperti itu.

Di mana lagi aku akan bekerja?

Rachel tak punya keahlian selain di bidang perbukuan, tapi dia tak yakin penerbit lain bersedia menerima karyawan dengan status dipecat. Tabungannya pun lambat laun pasti akan habis, mengingat kehidupan di Tokyo yang tak pernah murah. Di atas semua itu, mustahil dia muncul di Nara sebagai seorang pecundang dan meminta uang pada Okaasan.

Rachel sama sekali tak tahu apa yang akan terjadi pada masa depannya.

Tubuhnya merosot. Dan dia pun menangis sekali lagi.

***

Bahkan setelah beberapa minggu pun, saat penduduk Shibuya sedang bersuka cita menyambut musim semi dan melakukan hanami di Yoyogi, Rachel masih mendekam di apartemennya dan terlihat kacau. Dia duduk di depan situs Publishers Weekly sepanjang hari tanpa benar-benar menyimak, bungkus-bungkus camilan bertebaran di sekelilingnya. Wajah dan lengannya dipenuhi remah keripik kentang. Para tetangga selalu berpikir dia baru mengalami gempa bumi atau ditinggal mati keluarganya.

Tengah hari, setelah muak dengan situs Publishers Weekly, Rachel menelepon salah satu sahabatnya lagi. Mengeluh lagi. “Mei. Menurutmu apakah aku harus jisatsu saja?” Bunuh diri yang biasa dilakukan orang Jepang agar terbebas dari malu. Akhir-akhir ini, Rachel berpikir itu bukanlah ide buruk.

“Kau dari kemarin bicara bodoh terus, Rachel-chan,” sahut Mei makin tak bersahabat. Terdengar lelah dan bosan.

“Aku menderita sekali,” gumam Rachel, memandang marah ke arah langit biru jernih di luar jendela apartemen. Bagaimana mungkin langit dan matahari bersinar secerah itu saat suasana hatinya sedang buruk? “Aku jarang makan, jarang minum. Kalau ingin minum, aku harus keluar untuk membeli di minimarket, karena aku tidak punya gelas untuk minum.”

“Kenapa kau tidak punya gelas untuk minum?”

“Semua gelasku sudah kupecahkan.”

Terdengar helaan napas Mei. Gadis itu tidak berbicara lagi untuk waktu yang lama. Rachel bergelung di sofa, menanyakan sesuatu yang juga sudah dia sampaikan pada ChoAkidan Risa.

“Boleh aku menginap di rumahmu?” tanya Rachel. “Aku butuh seseorang untuk menghiburku.”

“Ah…,” gumam Mei. Selama beberapa saat, gadis itu diam, lalu berkata, “Ummm… bagaimana, ya?”

Rachel paling tidak suka dengan tanggapan, “Ah… ummm… bagaimana, ya?” Tiga temannya juga menanggapi seperti itu, dan berakhir dengan kata-kata, “Maaf, Rachel-chan, tapi hari ini aku banyak urusan dan tidak bisa menerima tamu.”

“Maaf, Rachel-chan,” ujar Mei pelan. “Hari ini aku banyak urusan dan tidak bisa menerima tamu.”

“Kau ini sahabat macam apa?” Rachel tidak tahan lagi. “Bilang saja kalian tidak mau bertemu denganku. Aku juga bodoh menelepon kalian—siapa juga yang mau berteman dengan pengangguran?”

Sunyi di seberang.

“Kau bahkan tidak memberiku solusi,” gerutu Rachel. Dia dengan cepat bangkit berdiri, mondar-mandir di ruangan. Ketika berjalan kembali ke sofa, dia menginjak pecahan gelas dan spontan memekik kesakitan.

“Aduh!” Rachel berjalan pincang menuju sofa lalu duduk. Dipandanginya darah yang mengucur dari telapak kaki, keningnya berkerut. Dia berharap Mei akan bertanya ada apa, mengapa dia mengaduh, apa dia baik-baik saja.

Mei tak mengatakan apa pun.

“Kakiku terluka,” bisik Rachel.

“Oh, ya?”

Oh, ya? Kakinya terluka, bisa terkena infeksi, tetanus dan pendarahan otak. Dia bisa mati karenanya, tetapi Mei hanya berkata ‘Oh, ya?’

“Tidak bisakah kau peduli padaku sedikit saja?” gumam Rachel, menarik berlembar-lembar tisu, memejamkan mata ketika membersihkan luka itu.

“Aduh, aku tidak tahu apa parameter ‘peduli’ bagimu,” ujar Mei lelah. “Sejak beberapa minggu lalu, kau selalu meneleponku dan menanyakan apa yang harus kau lakukan, dan aku sudah ratusan kali memberimu saran. Carilah pekerjaan baru—”

“Bagaimana mungkin aku mencari pekerjaan baru?”

“—dan jawabanmu selalu saja ‘bagaimana mungkin aku mencari pekerjaan baru’,” sahut Mei, seakan tidak ada interupsi. “Kau tidak akan tahu sebelum mencoba. Aku sudah mengatakan ratusan kali, tapi kau malah bilang aku tidak peduli dan tidak pernah memberikan solusi. Kurasa kau sudah tak sanggup menangkap dan memahami omongan orang lagi? Kurasa kau memang sudah hampir gila, Rachel.

“Mei—”

“Ah, sudahlah, aku sekarang sibuk sekali. Telepon aku lain kali. Aku sibuk,” Mei menutup telepon.

Halo?” desak Rachel. “Halo?

Rachel memutar nomor Mei lagi. Tidak diangkat. Kesal dan marah, Rachel melempar telepon dan berbaring di sofa ditemani remah-remah keripik kentang, terisak sambil mencengkeram kakinya yang berdarah.

Bukan salah Rachel jika dirinya dipecat dan hampir gila karenanya. Salahkan Sekai Publishing. Seumur hidup, dia tidak pernah merasa lebih dipermalukan daripada sekarang. Apakah arti satu kesalahan dibandingkan pengabdian selama empat tahun?

Namun, Mei tidak peduli. Mei tidak menghibur, tidak mengizinkan dia berkunjung. Sahabat macam apa itu? Sekali lagi, Rachel menggerutu, tanpa repot-repot menujukan pertanyaan tersebut pada diri sendiri. Tak pernah sekali pun dia bertanya, “Sahabat macam apa aku ini?” Tak pernah dia menyadari bahwa dia selalu ingin menerima, dikasihani, diperhatikan, dielu-elukan, menang, bahagia, tanpa ada keinginan untuk memberi.

Semua sudah jelas.

Selain tak punya pekerjaan, Rachel juga tidak punya teman.

***

Beberapa hari berlalu dengan muram.

Akhirnya, meskipun Rachel tahu bahwa ini akan sia-sia, dia mencoba menelepon salah satu kenalannya di penerbit lain. Tak ada lowongan satu pun, tetapi Rachel berkeras mendatanginya untuk menyampaikan lamaran secara langsung.

Rachel sedikit linglung ketika keluar dari apartemennya di Komazawa-dori untuk menuju stasiun kereta. Rasanya sudah lama sekali sejak dia melihat pohon cherry yang akrab, sinar matahari, juga para pejalan kaki. Orang-orang mulai mengenakan baju tipis, tetapi Rachel tetap mengenakan mantel selutut biru muda dan syal hanya demi alasan penampilan.

Tas kecilnya terayun di tangan. Dia memandang sekeliling dengan murung. Begitu dia menginjak Distrik Shibuya, dia bisa melihat ratusan orang memadati Shibuya Cross seperti biasa, di bawah naungan gedung-gedung perbelanjaan, teater, dan reklame-reklame mewah. Biasanya Rachel akan melihat-lihat etalase di LOFT atau Seibu, ke arah syal atau kardigan bagus yang bisa dia beli. Atau berburu cakram musik baru di Tower Records. Namun, kini Rachel berusaha untuk tidak peduli. Sampai dia mendapatkan pekerjaan baru, tabungannya tak boleh berkurang sedikit pun.

Begitu berada di kereta, barulah Rachel sadar betapa bodoh dia akan terlihat nanti: muncul di kantor penerbitan dan bertanya—memohon—tentang lowongan. Belum lagi, dia tidak yakin bagaimana reaksi mereka nantinya. Terlahir sebagai blasteran Kanada-Jepang, Rachel belum terlalu memahami bagaimana orang asli Jepang bersikap, bahkan meski sudah belasan tahun berlalu semenjak dia pindah dari Toronto.

Namun, sudah terlambat. Keretanya bergerak cepat, dan tahu-tahu saja Rachel sudah tiba di stasiun yang ditujunya. Mau tak mau, dia akhirnya memaksakan diri untuk melangkah menuju Shiro Publishing.

Setibanya di gedung penerbitan itu, Rachel langsung meminta resepsionis untuk memanggilkan salah satu supervisor penerbitan. Rachel dulu pernah mengenal Toru Fukada, sang supervisor yang juga merangkap editor, dalam sebuah book fair.

“Maaf, kalau boleh tahu, Anda ada kepentingan apa?”

“Aku sudah membuat janji,” jawab Rachel putus asa. “Namaku Rachel Yumeko Rivière, dia sudah mengenalku.”

“Ah, begitu,” si resepsionis menelepon ruangan Toru Fukada sebelum mengantarkan Rachel ke sana. Melihat Toru Fukada yang tersenyum ramah, Rachel langsung membungkuk dalam. “Maaf mengganggu Anda, Fukada-san.”

“Tidak apa. Silakan duduk.”

Rachel menurut, merasa canggung selama beberapa saat.

“Lama tak berjumpa sejak Tokyo Book Fair tahun kemarin,” kata Toru Fukada.

“Yah… begitulah. Maaf kalau saya terlalu lancang, tapi saya menemui Anda karena ingin tahu apakah ada lowongan di penerbitan ini.”

“Saya benar-benar menyesal. Tapi seperti yang sudah saya katakan lewat telepon tadi, untuk saat ini belum ada lowongan di sini, Rivière-san,” pria itu menjawab dengan sabar. Tadi pria itu memang sudah menjelaskannya lewat telepon, tetapi tentu saja Rachel tidak mau mendengarkan.

“Bahkan untuk paruh waktu?” tanya Rachel, kali ini cukup memohon. “Saya sangat membutuhkan pekerjaan.”

Sekali lagi, pria itu memandangnya dengan raut wajah meminta maaf.

Semua terjadi begitu cepat. Tahu-tahu saja Rachel sudah berada di luar Shiro Publishing lagi, memandang gedung tinggi yang seakan mengejeknya itu.

Pekerjaan paruh waktu pun tak ada. Benar-benar tak ada gunanya dia datang kemari.

Dengan lesu, Rachel melangkah ke stasiun. Dia tak ingat bagaimana dirinya menaiki kereta, dan merasa bingung sesampainya di Distrik Shibuya. Disorientasi tempat dan waktu lagi. Begitu Rachel melihat jam digital besar di atas sebuah gedung, dia sadar hari telah sore.

Rachel tak tahu harus ke mana. Dia tak ingin kembali ke apartemen. Teman-temannya pun sudah tak mau menerimanya. Dia juga tidak bersemangat berbelanja atau membeli baju. Pendeknya, dia sama sekali tak tahu apa yang harus dia lakukan.

Meski demikian, saat seorang gadis lewat sambil meminum segelas bubble tea, sekonyong-konyong Rachel mendapat ide. Barangkali sudah saatnya dia membeli gelas baru. Di daerah Komazawa-dori tempatnya tinggal, ada toko yang menjual berbagai macam barang pecah belah, bernama Cups. Gelas-gelas dan mug di sana bervariasi—bergambar pantai dengan nuansa matahari terbit, berbentuk koala, mungil seperti milik bangsawan Inggris, atau terbuat dari keramik halus. Rachel pun segera melangkah ke sana dan berencana membeli semuanya. Dia nanti akan mengunci gelas-gelas itu rapat-rapat di lemari dapur agar tidak tergoda memecahkannya lagi.

Sesampainya di toko tersebut, Rachel bersiap masuk. Namun, dia berhenti ketika melihat papan cantik bernuansa kayu yang tergantung di halaman kedai di sebelah Cups.

Evergreen.

***