cover landing

Eternal Sin

By Alfarin


Agustus 2015

Dengkuran pelan di sampingnya membuat Gendis mengerjap perlahan dan membuka mata. Punggung polos tanpa busana yang terpampang di depan matanya membuat gadis berambut panjang itu meringis. Menyadari apa yang mereka lakukan semalam bukan hanya ilusi dan kembang tidur semata.

Sekelebat kilasan adegan panas yang mereka lakukan membuat wajah Gendis mendadak memanas sekaligus pias. Rasa nyeri di bagian inti tubuhnya makin menegaskan apa yang terjadi semalam sudah terlampau jauh melewati batas. Gendis meringis. Tak pernah terbayangkan olehnya akan bertindak senekat itu. Melepaskan kesuciannya pada laki-laki yang bahkan hubungan mereka pun tak jelas.

Gendis perlahan bangkit. Ringisan pelan lepas dari bibirnya. Si pemilik punggung berbalik saat menyadari gerakan di belakangnya. Kemudian menarik gadis yang tengah bergulat dengan penyesalan itu ke dalam rengkuhannya.

"Pagi," ucap lelaki itu parau dan senyumnya yang selalu memukau. Kemudian mendaratkan kecupan pada ceruk leher Gendis.

Hal itu sontak membuat seluruh sel di tubuh Gendis seakan diprovokasi kembali oleh rasa asing yang semalam menguasainya. Hingga tanpa perlawanan, ia membiarkan Arga menguasai dirinya. Gendis tau, semua itu salah. Akan tetapi tubuhnya seolah tak mampu menolak setiap sentuhan yang diberikan Arga yang terasa begitu memabukkan.

***

"Kok ga makan?" Suara Arga sontak membuyarkan lamunan Gendis yang sedari tadi hanya mengacak-acak semangkuk bubur yang ada di hadapannya. Mendadak ia kehilangan selera makan. Apa yang ia lakukan dengan Arga benar-benar sudah jauh melampaui batas. Gendis menyesali itu. Dan saat menatap wajah Arga yang terlihat biasa saja, membuat batin Gendis seolah teriris.

 Arganta Daniswara, lelaki yang beberapa bulan terakhir selalu menempel ke mana pun Gendis berada. Kedekatan yang bermula semenjak Gendis terlambat mengikuti perkuliahan akibat bertengkar hebat dengan kekasihnya yang tengah menjalin hubungan jarak jauh. Kondisi emosi yang tengah labil, perhatian yang diberikan Arga, serta merta membuat kedekatan emosi itu tercipta.

"Masih mikirin yang semalam?" Lagi-lagi suara Arga memecah kebungkaman Gendis. Suaranya terdengar begitu santai. Gadis itu mengerjap, menahan air mata yang hendak luruh.

"Gue minta maaf, nggak bisa nahan diri." Kalimat itu terucap pelan dari bibir Arga, meski lagi-lagi Gendis tak merasakan nada menyesal dari suara laki-laki itu.

Gendis menggigit bibir bawahnya agar rasa sesak di dada mampu ia redam, tetapi sia-sia. Bulir bening lolos dari kedua netranya. Selama berpacaran dengan Denis, ia tak pernah melewati batas seperti yang ia lakukan dengan Arga semalam. Entah bagaimana nanti dia akan bereaksi ketika bertemu nanti dengan Denis, lelaki yang telah menjalin hubungan jarak jauh dengannya selama dua tahun ini. Semua terasa begitu rumit bagi Gendis saat ini.

"Gue takut, Ga," lirih Gendis, kembali menggigit kuat bibirnya hingga terasa kebas. "Gue udah mengkhianati cowok gue," lanjutnya sedikit terisak.

Arga bungkam. Dia kembali menyantap sarapannya seolah membiarkan Gendis menikmati penyesalan dari ulah mereka semalam.

***

"Hayo lo! Semalam Arga nginep di tempat lo, kan!" Arini menepuk keras punggung Gendis ketika gadis itu hendak membuka pintu kamarnya setelah Arga mengantarnya kembali ke kosan.

Seakan tertangkap basah, wajah Gendis mendadak pias. Dia berusaha memutar otak dengan cepat untuk memberikan alasan agar tak menimbulkan kecurigaan Arini.

"I-iya ... semalam Arga pusing banget katanya, jadi gue biarin tidur dulu ... nggak taunya gue juga ketiduran."

"Yakin lo tidur?" Arini kembali mengkonfrontasi sambil cengengesan.

"Ngapain lo rese amat, sih? Lagian pacar lo sering nginep aja gue nggak rese!" balas Gendis defensif, merasa terpojok oleh kalimat yang dilontarkan Arini.

"Ah elah, lo! Gue becanda juga. Apa jangan-jangan emang lo nggak tidur semalaman? Ngapain aja sama Arga?" goda Arini kembali dengan cengiran lebar.

"Bawel lo kutu!" maki Gendis seraya meninggalkan Arini yang masih terkekeh melihat reaksi Gendis yang salah tingkah.

Selama ini Gendis terkenal sebagai gadis lurus. Tidak pernah membawa teman pria ke kamar. Di saat penghuni kos yang lain sudah terbiasa mengajak teman pria mereka menginap, hanya Gendis yang bertahan tidak melakukan hal tersebut.

Bahkan di saat Denis—kekasihnya—mengunjungi pun, Gendis tidak pernah mengizinkan lelaki itu untuk menginap di tempatnya. Dia selalu menyuruh Denis untuk menginap di hotel. Meski berkali-kali Denis mengeluh akibat budget lebih yang harus ia keluarkan setiap kali mengunjungi Gendis.

Denis dan Gendis memulai hubungan mereka akibat campur tangan ibu Gendis. Denis merupakan salah seorang rekan kerja ibu Gendis yang langsung jatuh hati saat bertemu pertama kali ketika gadis itu menemui ibunya di kantor. Pertemuan tak sengaja itu membuat Denis nekat mendekati Gendis melalui ibunya.

Gayung bersambut, Miranda—ibu Gendis—memberi Denis akses untuk mendekati putrinya. Denis yang menurut Miranda merupakan sosok pribadi laki-laki yang bertanggung jawab dan mempunyai etos kerja yang baik, cocok bersanding dengan Gendis yang sedikit manja dan suka bergantung dengan orang lain.

Pendekatan pun Denis lakukan dengan gencar, meski setelah mendapatkan hati Gendis, Denis harus rela menjalani hubungan jarak jauh karena Gendis harus menyelesaikan studinya di kota lain.

 Menjalani hubungan jarak jauh ternyata tak semudah yang mereka bayangkan. Terkadang rasa cemburu Denis yang tinggi, menyulut pertengkaran di antara mereka. Pertengkaran terakhir mereka lah yang akhirnya menciptakan kedekatan antara Gendis dan Arga. Kedekatan yang tak seharusnya ada dan tak pernah Gendis terima.

Gendis membeku di balik pintu setelah berhasil lolos dari interogasi Arini yang membuatnya merasa terpojok. Ia memukul keras sisi kepalanya saat menoleh ke arah kasur pegas di samping pintu. Selimut dan penutup kasur berantakan, kemudian matanya terpaku pada setitik noda samar berwarna kecoklatan yang terlihat kontras dengan warna kain yang membungkus tempat tidurnya.

"Kak Denis ... aku harus gimana?" lirihnya seraya meluruh dengan tubuh lemas di belakang pintu.

Suara lengkingan dan getaran ponsel dari kantong celananya membuat Gendis tersentak. Nama lelaki yang baru saja membuatnya merasa bersalah tertera di layar. Segera gadis itu menghapus dengan kasar kedua belah matanya. Berdehem sekilas sebelum menjawab panggilan Denis.

"Kamu kenapa?" Kentara sekali suara khawatir Denis terdengar dari seberang sambungan saat mendengar suara Gendis yang menjawab teleponnya.

"Cuma pusing. Semalam aku kurang tidur," kilah Gendis. Dia tidak berbohong mengenai hal itu. Kegiatan panasnya bersama Arga semalam, membuatnya baru bisa tertidur menjelang pagi. Gendis mengernyit, menepiskan kelebat kejadian semalam. Sebelah tangan terkepal memukul-mukul sisi kepalanya. Mengingat kejadian semalam membuatnya merasa berdosa dan bodoh dalam satu waktu.

"Bagaimana bimbingan skripsimu?" Kali ini nada suara Denis berganti penuh perhatian.

 "Ya ... gitu, deh. Masih banyak revisi sana-sini. Kadang berasa mau nyerah aja," sungut Gendis saat mengingat tugas akhirnya tersebut. Salah satu masalah yang membuat pikirannya kacau akhir-akhir ini. Hal itu pula lah yang menyulut hasrat gilanya saat Arga semalam tiba-tiba memeluknya saat menenangkan Gendis yang terlihat stres dengan hasil bimbingan yang penuh coretan instruksi revisi dari dosen pembimbing.

"Banyak revisian, ya?" Kembali suara penuh perhatian Denis menyela di antara lamunan Gendis.

"Bisa ngomongin hal lain nggak, Kak? Aku pusing kalau harus bahas skripsi terus," sergah Gendis dengan nada memberengut. Bukan masalah revisi yang begitu banyak yang membuat pikirannya menjadi kusut, tetapi kejadian setelah bimbingan tersebut terus berpendar di benaknya yang membuat Gendis tak ingin membahas masalah tugas akhirnya tersebut.

Terdengar helaan napas panjang dari seberang. "Apa perlu lusa aku ke sana?"

Pertanyaan Denis sontak membuat Gendis gelagapan. Bagaimana ekspresinya nanti ketika bertemu Denis di saat dia telah melakukan kesalahan terbesar.

"Nggak usah!" tolaknya cepat.

"Aku kangen," gumam Denis.

"Yang ada nanti aku malah nemenin Kakak aja, nggak konsen ngerjain revisian."

Lagi-lagi suara helaan napas berat di ujung sana yang terdengar.

"Ya sudah kalau kamu mau fokus ngerjain revisian. Aku sudah nggak sabar pengen ketemu lagi," ungkap Denis.

"Ya, nanti kalau skripsiku cepat beres kan bisa ketemu."

"Hari ini mau ke mana?"

 "Perpus. Ada banyak teori pendukung yang harus aku cari untuk bab dua. Yang kemarin di coret habis-habisan sama dosbing." Gendis mendengkus keras. Hasil kerjanya berhari-hari di perpustakaan berakhir dengan coretan panjang dari dosen pembimbingnya.

Kembali ia memukul-mukul kepala dengan kepalan tangan. Masalah seakan bertubi-tubi menggerogotinya. Gendis merasa ingin lari dari hidupnya saat ini. Lari dari kenyataan yang membuatnya tak percaya telah melakukan hal terbodoh dalam hidup. Antara Arga, Denis dan tugas akhir, membuat kepala Gendis seakan hendak meledak.